Laman

Selasa, 04 Februari 2014

Jadi Pendendam yang Baik

Mimpi main perang-perangan dengan Hitler membuat saya jadi pakewuh dengan pimpinan Jerman yang memiliki kumis unik dan rambut klimis ini. Pikiran saya jadi kemana-mana. Terutama soal kebencian masyarakat dan pemuda kita pada Nazi.
Sebenarnya saya agak tidak sreg dengan ramai-ramai soal aksi beberapa aktivis dan masyarakat yang mempermasalahkan berdirinya sebuah kafe di Bandung — kalau tidak salah namanya Soldantenkaffe — yang kebetulan di dalamnya berisikan segala pernak pernik pada masa Nazi pada perang dunia II. Menurut mereka, keberadaan kafe tersebut dianggap mengganggu ketentraman; mengagumi kekejaman dll. Selain itu, keberadaan kafe tersebut dianggap ”aneh” karena kagum dengan simbol-simbol yang pernah memerahkan dunia dengan perang dan kekejaman seperti suastika, pakaian serdadu Jerman.
Mungkin hingga kini Hitler masih dianggap iblis yang mencemaskan. Tapi, bukankah ini Indonesia? Apa urusan Indonesia dengan Hitler; dengan Jerman? Pernahkah Hitler menginjakkan kakinya di Indonesia, atau menyakiti dan bikin onar di Indonesia?
Akan lain ceritanya kalau yang dulu dimusnahkan Hitler di kamar gas dan dikurung dalam kamp konsentrasi saat holoclaust itu bukan orang Yahudi, tapi Indonesia. Tiba-tiba saja kita lupa diri bila (sebenarnya) Indonesia adalah bangsa pemaaf.
Kalau iseng-iseng kita mau berpikir: apa yang tidak dimaafkan dan ditolelir di indonesia? Kalau seandainya kita ingin belajar jadi bangsa pendendam yang serius, mengapa tidak kita tolak ekspor rongsokan-rongsokan Jepang yang sekarang bikin kemacetan di jalan? Cobalah sekali waktu kita baca, ”Perawan dalam cengkraman mileter,” milik Pram. Mungkin dalam buku itu kita akan menemukan potongan sejarah nenek kita yang tiba-tiba raib karena jadi budak seks militer Jepang? Mungkin juga kau akan tau bila sebenarnya kalian juga keturunan Jepang, atau punya saudara lain kakek di pulau-pulau pembuangan sana. Dan mungkin yang lebih ekstrim lagi, kita ramai-ramai bikin gerakan tolak produksi Jepang di Indonesia. Menarik, bukan?
Agar lebih serius dalam menuntaskan dendam, saya pikir tidak ada salahnya bila kita berhenti bermanis-manis muka dengan Walanda? Atau kita perlu menempeleng remaja-remaja kita yang ingin belajar sejarah di Leiden. Coba kita ingat kembali, berapa ratus tahun Belanda melakukan penghisapan di sini? Atau mungkin agar dendam kita bisa sedikit lebih puitik,  perlu kiranya kita hancurkan bendungan dan segala konstruksi bangunan peninggalan Belanda di sekitar kita? Atau bangunan di Belanda yang dibangun dengan kekayaan yang mereka rampok dari kita dihancukan lewat invasi?
Kalau tidak puas, bagaimana kalau sekarang pecinta bola kita berhenti mengidolakan Ronaldo si pemain bola dari Portugal karena ingat VOC.
Bisakah kita jadi bangsa yang sanggup dewasa dengan melakukan permusuhan dan pertentangan yang sedikit mendongkrak harga diri? Bisakah kita ini tidak jadi seorang yang puritan? Mengapa kita perlu memusingkan segerombolan anak-anak muda yang mengidolakan Nazi beserta simbol-simbolnya? Mengapa kita harus kesal dengan hal-hal yang berada di kulit luar tanpa berpikir bila ada peperangan yang lebih prinsipil: membunuh macan dan ketololan kita dengan belajar sebanyak-banyaknya pada sejarah. Atau berbuat sesuatu yang real untuk menyangkal statement sejarah pasti berulang.
Bukankah sebaiknya kita menunjukkan totalitas kita dalam sesuatu. Apapun itu. Kalau kita merasa masih perlu menuntaskan dendam, maka tuntaskan dengan serius. Kalau mau menolak, ya, saya harap jangan tanggung-tanggung. Jangan hanya menolak, membenci, dendam, tapi masih membeli barang-barang buatannya. Kalau kita serius anti Amerika, kesal dengan Amerika, atau mentasbihkan diri menjadi kaum kiri, mengapa tidak rame-rame menolak demokrasi yang jelas-jelas bikin penyakit akhir-akhir ini. Kalau kita mengaku gagah, mengapa kita harus berperang dengan sesuatu yang remeh-temeh. Kecuali kelamin kita sudah tak berfungsi, dan itu lain soal.
Kalau ada ribut-ribut soal pro kontra Hitler pernah meninggalkan jejak di Indonesia — kabur dan melarikan diri ke Indonesia, menikahi gadis Sunda dan dimakamkan di Ngagel, Surabaya atas nama dr. Eco — itu lain soal. Tetap saja kita tidak menemukan bukti penguat agar kita bisa sah menaruh dendam pada Hitler.
Dosa apa Hitler pada orang Indonesia? Kita riuh rendah memamerkan semangat perdamaian dan anti pembersihan etnis tapi mendiamkan Nederland berada di puncak kejayaan menduduki nusantara pondasi mayat-mayat pejuang yang mati dalam perjuangan. Apa kebencian kita pada Hitler merupakan imbas dari kebencian global sehingga kita turut memeriahkan dengan ikut memusuhi Hitler atas nama solidaritas?
Berapa banyak waktu kita habis karena gerogoti dendam dan mengurusi persoalan yang sama sekali jauh dari kata prinsipil. Kalau diantara kita takut kecintaan berlebih pada sesuatu yang jahat akan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan berbangsa kita, maka pertanyaan saya sederhana: apakah selama ini kita tidur dan melupakan bila baik sebelum dan sesudah demokrasi dibuka, kita telah menjadi pelanggan dan pengonsumsi macam-macam ideologi dari dunia antahbrantah.
Pemikiran mana yang tidak masuk dan dicintai di sini? Produk asing mana yang tidak diberi tempat untuk dicintai secara serius di sini? Kita tentu tak bisa melupakan berapa banyak pemuda-pemuda bikin wadah organisasi dengan pakaian berupa-rupa: pemuda demokrasi, new komunis, anarkit, dll. Kita juga jangan tidur bila berapa banyak pemuda pecinta vespa dan klub-klub motor Jepang yang mangkal setiap malam minggunya.
Apa kita lupa bila kita terlampau banyak memaafkan banyak hal menyakitkan? Bisakah itu kita sebut sebagai kemuliaan? Bila ada banyak cinta dalam hidup kita, mengapa pula harus di isi dendam?
Sampang, 4 Februari 2014 

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.