Laman

Minggu, 16 Maret 2014

Hantu


Setelah menikmati bakso pedas, tiga orang kuli yang sedang laut itu mulai cerita kepada dua orang temannya. ”Dulunya tempat ini semak-semak. Aku pernah lewat sini sepulang dari pasar. Lalu aku lihat pocong,” ujar salah seorang kuli.
Lalu, ketiganya saling menimpali dengan cerita tentang hantu-hantu yang berbeda. Ada genderuwo, wewegombel, ada orang berkaki kuda, ada katak mengangkut berambang, ada orang dengan mata selebar piring, dll.
Apa benar hantu itu ada? Atau itu kah sesuatu yang mengerikan dalam versi mereka?
Mungkin, dalam kacamata intelektualitas, sekumpulan kuli tadi bisa jadi dekaden; merosot dan kuno. Dunia akademik dan modernitas menganggap mereka bagian dari kompleksitas irrasional. Tapi, bukankah setiap orang punya ketakutannya sendiri. Sesuatu yang membuat mereka harus mengambil jarak dari ketakutan.
Waktu itu, jujur, dalam hatiku, ada sedikit kesombongan yang berangkat dari kelas sosial. Meski, aku sepenuhnya sadar bila aku juga memiliki ketakutan-ketakutan tak masuk akal, dan itu hidup dalam diriku. Misalnya, ketakutan tak bisa menyelenggarakan beberapa batang rokok dan segelas kopi saat pagi tiba. Atau ketakutan ditolak calon meretua, dll.
Saat itu, datang satu orang lagi tergopoh-gopoh berlari ke arah kami berteduh. Ia tersenyum ke arah kami dan menawari kami untuk memesan bakso. Karena tak ada yang mau ditawari, akhirnya ia makan sendiri.
Dari penampilannya, dia nampaknya seorang konservatif Islam. Sambil menghisap rokok, aku bertanya pada diriku. Apa orang ini tak punya ketakutan? Atau orang ini tak percaya dengan cerita-cerita hantu para kuli? Aku tak percaya, aku tetap berpikir bila si konservatif tadi punya ketakutan yang dia sembunyikan; sesuatu yang dianggapnya hantu.
Aku bayangkan bila ketakutan dan hantu ia takuti berupa perputaran hidup yang yang tak lagi berjalan ke arah konservatif. Atau semakin majunya perusahaan milik korporasi Rockfeller yang menurut mereka ”merusak peradaban” Islam. Dan bagi kaum konservatif Islam, hantu-hantu itu mungkin lebih mengerikan ketimbang hantu pocong dan hantu lainnya.
Ya, semua orang memiliki ketakutan-ketakutan yang butuh untuk dilawan dengan cara apapun. Seorang bos, misalnya, ia tak takut dengan tuyul, ia lebih takut dengan hantu-hantu dunia kerja: perlawanan-perlawanan sitem oleh pegawai. Juga gerakan-gerakan buruh yang terorganisir dalam kantor mereka. Karena segalanya (dianggap) menghalangi otoritas pemilik modal dalam menuntaskan psikologi kekuasaan. Sehingga mereka menempuh jalan pintas paling tengik: memberi makan satu orang untuk dijadikan anjing dan membiarkan lainnya kelaparan agar ketika terdesak, anjing itulah yang menyalak untuk menggigit karyawan lainnya yang lapar; untuk mengusir hantu di kantornya.
Lalu, di dunia akademik, momok paling menakutkan adalah inverioritas untuk tunduk pada jerat pemikiran yang epistemik. Sehingga sampai kapanpun, pendidikan kita hanya membeo, tidak berani mengambil langkah untuk maju sejengkal. Dan yang lebih tragis adalah, menghardik mahasiswa-mahasiswa yang dianggap berbeda dan memiliki pemikiran di luar lingkaran kekakuan akademik.
Di pemerintahan pun, hantu itu bisa menjelma dengan garakan sparatis yang didomplengi kepentingan negara lain untuk berdagang senjata. Karena ada hantu semacam itulah, militer di Indonesia dibayar dengan harga mahal.
Berbahagialah mereka yang memilih takut genderuwo, pocong, kuntilanak. Sebab, hantu-hantu itu tak menyakiti siapapun. Hantu-hantu itu tidak perlu menyusun agenda jahat untuk melenyapkan kepercayaan tertentu. Hantu itu tidak perlu menjadikan pemilik modal hilang akal dan menempuh cara-cara licik. Mereka juga tidak membuat dunia akademis jadi kian mandul dengan kepiawaian kita membeo pada buku, pada kata-kata orang-orang yang telah busuk di kuburan. Hantu milik para kuli itu tidak perlu membuat istri-istri serdadu menangis karena jadi janda dan melahirkan ratusan anak yatim per tahunnya.
Meski sayang, setiap orang telah ditentukan akan berurusan dengan hantu yang mana.

Malang, 2014
Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.