Laman

Minggu, 29 Desember 2013

Media Massa dan Wajah Kita


-Catatan akhir tahun 2013

Apa yang dipikirkan Tagore ketika ia menolak sejarah; penulisaan sejarah — segala sesuatu yang berkaitan dengan representasi masa silam yang baginya hanya omong kosong.
Saya pikir Tagore tidak sedang demam ketika ia menafikkan sejarah. Karena sejarah selalu punya masalah dengan proses represent (menghadirkan kembali) — penggalan kisah-kisah dari penggalian manuskrip, analisa, penafsiran dan spekulasi-spekulasi yang terburu-buru jadi keniscayaan.
Kalau dulu, Tagore boleh kesal dengan sejarah yang menurutnya sebagai upaya representasi yang gagal. Maka hari ini, upaya representasi jadi pekerjaan rumah yang tak selesai bagi media.
Perdebatan mengenai media dari berbagai paradigma — antara positifistik, yang menganggap media sebagai upaya murni untuk menghadirkan fakta ke dalam tulisan sebagai mana aslinya; media dalam paradigma konstruksionis, yang mengasumsikan media sebagai upaya mengkonstruksi fakta berdasarkan kepentingan media — masih belum selesai.
Tapi, bukan itu yang ingin saya bicarakan. Karena setiap orang punya hurufnya sendiri dalam menilai media. Terutama pada fungsinya yang digadang-gadang (masih) sebagai pilar ke empat demokrasi.
Mungkin Tagore boleh menolak sejarah, tapi kita tidak bisa menafikkan media sebagai salah satu alat produksi sejarah yang primer. Media berkuasa atas pikiran dan kesadaran yang diam-diam terkonstruksi sebagaimana kehendak media. Tapi, bisakah konstruksi media pada pembaca bisa adil sebagaimana fakta yang coba dihadirkan kembali oleh media? Ataukah kita selama ini sedang mempercayakan patung wajah kita sendiri pada media; sang seniman pemahat? Kalau kita percaya, sejauh mana ingatan media berhasil merekam wajah kemanusiaan kita.
Pada suatu malam perayaan sumpah pemuda, seorang pembicara yang diundang kawan-kawan LPM Spirit Mahasiswa pernah bertanya: apa yang muncul dalam benak kalian ketika saya katakan sesuatu tentang Indonesia. Lalu para hadirin serempak menjawab bersahut-sahutan: korupsi, kriminal, perkosaan, vandal, barbarisme dll.
Malam itu, diam-diam dadaku bergemuruh. Eureka....! Inikah pesanan dari sang maestro patung yang telah menggambar wajah kolektiva bangsa Indonesia? Kalau saya ingin mengkampak wajah saya dalam cermin, mengapa diam-diam saya pun menjawab pertanyaan pembicara sebagaimana peserta lain?!
Esoknya, saya mencoba mendekati beberapa alumni yang telah berkecimpung di media umum. Saya mengajukan beberapa pertanyaan serius tentang tanggung jawab sosial mereka dan mengkalkulasi dampak media dan . Alasan yang saya terima pun sama: media butuh hidup, iklan adalah nyawa, dll. 
Sejak malam itu, aku tak lagi menghakimi dan menanyakan sekumpulan remaja dengan yang mencoba mencari jatidirinya lewat punk, narkotika sampai pada pentas dangdut kamar remang.
Kalau generasi sekarang mencoba menggambar wajah diri dengan berbagai rupa sajian-sajian yang secara tidak sadar ditanamkan media. Lalu, 30 tahun lagi kita ini siapa?  
Kalau Radar Pancadana pada masa tahun 80-an menganggap orang yang harus bertanggung jawab pada tragedi pembunuh jatidiri dan kemanusian adalah cendekiawan. Maka di penghujung tahun 2013 ini, dia perlu merevisi pandangannya. Dan giliran saya yang jadi ingin bertanya: dimana cendekiawan hari ini? Apakah proyek revolusi sejarah dan jatidiri telah jadi nihil dengan racun dan bisa demokrasi?
Kita tidak perlu marah dengan media. Kita hanya perlu kembali berpikir dengan sesuatu yang membuat media jadi seperti sekarang. Sejak dulu, media adalah jamur yang tumbuh subur. Hanya yang perlu kita pikirkan ia bisa tumbuh dari kayu apa? Bagaimana iklimnya? Apa ia tumbuh di kotoran atau makanan basi. Atau kalau kita tidak ingin berspekulasi dengan jamur apa yang akan tumbuh, kita hanya perlu mencari formula baru pengganti jamur. Serta melupakan Tagore dan berpikir: apa yang bisa menggantikan proyek besar sejarah Indonesia — tentu saja yang membuat kita tidak kehilangan identitas. 
Titik kulminasi era media
Kemelut jati diri bangsa Indonesia produk seniman media memang tidak sebegitu mengerikan sebagaimana pada masa propaganda Hitler di radio. Propaganda yang kemudian dicatat dunia pendidikan sebagai hypodermic needle theory. Pada masa Hitler, propaganda adalah alat untuk legalisasi perang. Sedangkan kali ini, di era cerdas media, kita mendapati kegagalannya dalam mereprensentasikan sejarah membuat kita tak ubahnya generasi mati rasa yang terombang-ambing akibat dajal dari ide demokrasi.
Tapi apakah kita akan selamanya menjadi badut lucu yang dikehendaki?
Sebuah kajian menarik yang berangkat dari riset media oleh Krisna Institut menyebutkan, tahun 2019 – 2024 adalah masa-masa menarik yang penuh kejutan. Menurut mereka, titik balik dan titik kulminasi media akan jatuh pada sekitaran tahun-tahun itu. Sebuah petaka — (konflik horisontal) yang berdampak pada kredibilitas media, membuat perubahan besar pada sistem dan cara-cara media menyapa manusia Indonesia.
Kecerdasan masyarakat akan tumbuh dengan sendirinya. Dikehendaki punya perihnya sendiri yang tersimpan dan terakumulasi dari tahun ke tahun. Dan itu semua akan meledak pada saat isu tentang perut dan kemapanan telah bergulir. Pengulangan sejarah terjadi: orang-orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya akan menjadi sejarah. Saat itu, media hanya mampu mengabarkan. Saat itu kebosanan mendapat bahasa yang tepat untuk dijelaskan. Mungkin ketika masa itu tiba, kebutuhan akan ikut bergeser — bukan lagi kebutuhan informasi, tetapi mengisi perutnya. Dan sesekali mereka butuh informasi yang benar. Apakah informasi itu langsung dari Tuhan; apakah informasi itu bernama wahyu — tak ada penjelasan, tak perlu dijelaskan.

Surabaya, 30 Desember 2013  
cdv_t

1 komentar:

Anonim mengatakan...

yang seharusnya dirubah itu medianya, atau cara bermedianya? sedangkan jaman terus berkembang begitu juga teknologi permediaan.

semakin membingungkan saja.

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.