Laman

Selasa, 11 Maret 2014

Wartawan dan (mitos) Orang Besar


Di sebuah warung kopi di dekat Perempatan Jepun, Tulungagung, sembari menunggu kawan yang datang menjemput, saya dikejutkan dengan tampang seorang yang lagaknya mirip saya zaman dulu. Seutas tali dengan ID pers menggantung di lehernya. Saat itu juga saya dikembalikan pada ingatan masa lalu. Sebuah iklan neon dari buku yang pernah saya baca, ”percayalah! Tidak ada orang besar yang tidak memulai karir sebagai wartawan.”
Awalnya, kata-kata itu manjur dan langsung punya tempat dalam diri saya. Jadi wartawan, ya, ah pokoknya waktu itu pekerjaan wartawan begitu menyilaukan mata. Meski bukan soal finansial, tapi, terkadang mitos tentang ideal-ideal, standar nilai dan jargon berbicara banyak dalam merebut kesadaran.
Mungkin pada awalnya korelasi antara menjadi orang besar dengan provesi wartawan bisa ditelusuri rujukannya: menjadi wartawan itu banyak informasi, relasi dan (kembali lagi sebuah jargon) ”Informasi adalah power!”
Korelasi antara menjadi wartawan dan menjadi ”orang besar” bisa jadi masuk akal karena dulu banyak orang besar yang berprofesi sebagai wartawan. Meski kita tau, sejarah yang tak dipahami sebagai masa silam akan membawa tulah pada hidup.
Tapi, bisakah hal-hal serupa bisa kembali terjadi di hari ini?
Dulu, situasi sosial di Indonesia memang sedang kalut. Tak ada toleransi bagi suara-suara sumbang untuk mengkritik pemerintah. Masyarakat tak diberikan ruang untuk jadi cerdas dan mengerti persoalan-persoalan kebangsaan, atau lebih tepatnya: boleh paham persoalan terkini tanpa perlu bangkit dan melawan. Sehingga semua aparat dikerahkan untuk membatasi ruang gerak koran dan wartawan. 
Represi rezim adalah obat mujarab untuk memupuk militansi, kematangan sikap, kedewasaan akal dan nurani. Mungkin, istilah ”mantan wartawan” dan ”orang besar” bisa jadi masuk akal. Dan kala itu, modal bukan sesuatu yang mutlak, karena sesuatu yang diperjuangkan benar-benar real (meski tak sepenuhnya benar) dan bisa dirasakan geloranya.
Tapi, setelah kran demokrasi dibuka, segalanya dijungkir balikkan. Segala sesuatu jadi lebih mudah diakses. Informasi tumpang tindih dan berkelindan. Saat itu, fakta adalah sesuatu yang bopeng dan tak dapat ditemukan lagi bentuk aslinya.
Fakta dikonstruksi sesuai kepentingan media---dalam hal ini bisa modal, kedekatan dan posisi strategis---sehingga yang datang di hadapan khalayak hanya kepingan-kepingan kenyataan yang subhat. Sehingga pada akhirnya masyarakat perlahan-lahan mulai memaklumi dan tersublimkan karena mereka yakin: segala sesuatu yang lahir dari media tidak perlu ditanggapi serius.
Lalu, bagaimana dengan wartawan? Ya, mereka tersudut di pojok dan tak dapat melakukan sesuatu kecuali ikut arus. Karena sejak awal kedatangan mereka di media, mimpi dan idealisme mereka diperkosa, dicabik-cabik hingga hancur berkeping-keping.
Media tak butuh cita-cita kudus. Media tak butuh kemurnian fakta. Media tak butuh nurani. Karena media hari ini tak lebih dari industri; pabrik kata-kata dan ilusi yang ditransformasikan ke masyarakat lewat pengulangan sesuatu yang di klaim sebagai fakta.
Pada situasi seperti ini, secara tidak sadar, wartawan pun berubah haluan. Mereka digerakkan perusahaan untuk jadi zombie pemuja tragedi demi rating; demi sebuah alibi keberlangsungan napas perusahaan. Dan ketika eksistensi dan arogansi ideologi mereka tak tersalurkan, maka aspirin pengobat luka para wartawan adalah amplop.
Ketika berbicara soal amplop, ada cerita menarik yang perlu kuceritakan. Seorang tukang becak di Sampang, Madura yang setiap harinya bergaul dengan wartawan tiba-tiba berhenti dari profesinya dan lantas menjadi wartawan Cuma Nanya-Nanya (CNN). Ia tak punya media, tapi dia mengikuti perkembangan isu untuk menodong instansi dengan pertanyaan seputar keburukan dinas-dinas untuk mendapat amplop.
Begitu menariknya profesi wartawan. Profesi yang cukup menjanjikan bagi siapa saja yang piawai menganalisa dan pandai meraba-raba kasus. Serta sebuah pedoman yang mutlak: tidak ada institusi pemerintah yang bersih. Mungkin karena itu setiap institusi selalu mempersiapkan amplop untuk para tamunya yang kebetulan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit. Dan pada puncaknya, wartawan di Kota Sampang pernah dijuluki sebagai ATM berjalan oleh dinas yang kesal.
Tapi, menurut saya, dinas-dinas pemerintah tak perlu berlebihan seperti itu. Kalau yang mereka takutkan dari wartawan adalah aib institusi mereka sampai ke masyarakat, itu salah besar. Karena masyarakat hanya pembaca yang tak peduli. Dinas-dinas itu hanya perlu takut pada Kejari, polisi dan Tuhan. Kalau pada wartawan, mereka hanya perlu menyiapkan uang bensin, rokok, dan mentraktir sarapan.
Dan melihat situasi ini, jalan panjang antara ”menjadi orang besar” dan ”provesi wartawan” tak dapat bertemu. Karena wartawan adalah wartawan. Sebuah baut kecil di sebuah mesin besar industri. Ketika si baut punya cita-cita dan kekaguman pada idealisme, dan perlawanan, maka ia boleh dicopot dan bisa diganti dengan cepat, murah dan yang penting lebih produktif.
Tinggal mendatangi toko baut murah (baca: universitas) terdekat, sebuah baut bisa didapatkan.
*

Kepada adek-adek mahasiswa yang pernah tanpa sengaja saya tipu soal impian menjadi orang besar dengan jadi wartawan, maafkan saya. Setiap manusia tentu boleh kalap, bukan? Juga kepada wartawan-wartawan yang pernah saya kemplang dan saya maki-maki di meja redaksi. Maafkan saya, harusnya saya memahami kemiskinan anda, ketidakberdayaan anda. Memang tidak enak kuliah mahal-mahal hanya untuk dimaki dan dibayar murah. Hehehe maaf, yah :* 

Sampang, 11 Maret 2014
Citra D Vresti Trisna

1 komentar:

Dian Meiningtias mengatakan...

Pengakuan dosa

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.