![]() |
Gambare Pakde Dalbo |
“Apa jadinya
kehidupan ini bila tidak ada yang berani mencoba melakukan sesuatu yang
baru?”—Vincent Van Gogh.
Sekitar tahun 2009, waktu tersesat di Bali, tanpa sengaja saya tertarik
dengan sebuah banner pameran lukisan “Nuansa Alam”. Karya-karya yang dipameran
di sana adalah hasil karya mahasiswa semester II ISI Bali. Meski acara ini
sederhana, tapi lukisan yang dipamerkan
cukup membuatku berdecak.
Usai melihat pemeran, pikiran saya terus melayang pada di seputar lukisan:
cat, kuas dan kanfas. Saya berpikir, apa pameran serupa bisa diadakan di kampus
saya? Tentu saya tak akan melewatkan acara itu, meski saya hanya seorang
penikmat karya seni rupa, tidak lebih.
Entah kenapa bau cat kering di kanfas selalu membuat saya
menerka-nerka cerita apa yang coba disajikan si pelukis dalam karyanya. Selain
itu, pada setiap lukisan yang dipamerkan secara serius selalu menerbitkan rasa
merinding yang asik dan magis. Dan kalau dalam hal ini saya termakan mitos dan
label yang dibangun di setiap pameran lukisan, itu lain soal. Karena, pameran
adalah pameran, dan tiap pameran selalu saja bicara karya.
Tahun demi tahun penantian saya akan terselenggaranya pameran
lukis di kampus UTM masih belum terealisasi. Selalu ada rasa kesal ketika
beragam pertanyaan muncul di kepala: apa benar dari ribuan mahasiswa UTM tidak
ada satu pun pelukis serius yang hendak memamerkan karyanya? Lalu, apa saja
kerja organisasi kesenian selama ini?
Sejak awal kuliah di UTM, saya punya sejenis apologi pamungkas
untuk meredam sakit hati atas segala keajaiban-keajaiban menjengkelkan yang
terjadi di kampus saya.
“Sudahlah.
Ini memang ‘kampus pelampiasan’, jadi wajar kalau pameran lukisan yang saya
inginkan harus menunggu lebaran monyet.”
Namun, ternyata apologi saya tidak cukup ampuh untuk meredam
angan-angan saya hingga pertanyaan terus bergulir. Apa benar di “kampus
pelampiasan” ini karya seni rupa, terutama lukisan adalah barang mahal dan
langka? Apa benar mahasiswa kampus pelampiasan ini hanya berisi sekumpulan
mahasiswa yang rasa inveriornya melebihi dosis? Apa mungkin jalan keluar untuk
mencurahkan gairah muda, mahasiswa di kampus saya merayakannya dengan cara nyelempit di kamar kos dan sibuk
ber-onani-ria, tapa bisu, atau bermain dokter-dokteran dengan pacar?
Mungkin saya terlalu hiperbol ketika menilai dunia kesenian
beserta produknya selama ini. Tapi nyatanya selama beberapa waktu terakhir
belum ada satu gebrakan yang berarti dalam sejarah kesenian.
Di tengah kejengkelan saya soal dekadensi kesenian di kampus ini,
tiba-tiba saya dikejutkan oleh seorang kawan yang ingin membuat pameran “sketsa
1000 wajah UTM” di Coffee With Art (Alm). Meski acara semacam ini sudah sering
di lakukan di tempat lain, acara yang
dimotori oleh Nazarudin (UKMF Daun), mahasiswa Fakultas Pertanian UTM ini cukup
menarik perhatian massa.
Meski acara ini tidak benar-benar menghadirkan 1000 sketsa wajah,
tapi terus terang saya cukup bangga karena denyut nadi kesenian, khususnya seni
rupa di UTM bisa berdetak. Yang membahagiakan, ternyata tak hanya berhenti
sampai di situ. Gairah kesenian di UTM kembali berdetak ketika Ardiansyah
dengan beberapa rekannya membuka industri seni lukis sepatu. Meski gebrakan ini
sifatnya market oriented, tapi untuk
ukuran UTM, gebrakan ini cukup saya perhitungkan. Karena dengan modal pinjaman
sebesar satu juta rupiah, ia menyulap sepatu biasa menjadi sebuah barang
bernilai seni tinggi dan bahkan diminati hingga luar negeri.
Meski apa yang dilakukan Nazar (panggilan akrab Nazarudin) dan Ardiansyah
tidak seheroik dan sedramatis sebagaimana Vicent Van Gogh yang berani keluar
dari kebiasaan pelukis di jamannya. Tapi, keberanian untuk memulai adalah
sesuatu yang patut diacungi jempol.
Suatu ketika seorang kawan pernah menegur saya. Dia mengatakan
saya terlalu berlebihan dalam membandingkan bibit-bibit perupa di kampus dengan
Van Gogh. Menurut dia, Van Gogh memiliki jaman dan iklim kreatifnya sendiri.
Begitu juga dengan seniman di UTM.
Mungkin apa yang dikemukakan kawan saya ada benarnya. Meski, waktu
itu saya pun berhak menolak pandangan kawan saya yang terkesan menyudutkan dan
meremehkan seniman UTM. Karena saya pikir meledaknya sebuah karya (hampir
selalu) terjadi karena dua hal: kualitas karya yang orisinil dan kontroversi.
Saya tak bermaksud menyarankan seniman UTM untuk bikin parade
memotong sebelah kuping, sebagaimana Van Gogh, untuk mencari sensasi sehingga
karya mereka dilirik. Tapi, menurut saya, seniman UTM perlu memiliki kemauan
untuk keluar dari setereotipe “seniman kelas dua” dengan terus berproses. Soal
baik-buruk, diterima atau tidak itu biar orang lain yang menilai.
Seperti halnya Van Gogh yang berani keluar dari kebiasaan pelukis
di jamannya serta sedikit kontroversi membuat dia disebut-sebut sebagai penggerak
aliran posimpresionisme. Karena, bagi saya, tidak jadi soal gebrakan atau
kebaruan yang ditawarkan. Tapi, dapat eksis di kalangan mahasiswa dan
masyarakat sekitar adalah sebuah prestasi yang gilang-gemilang. Dan sekali lagi
saya tekankan: seniman lukis di UTM hanya perlu sedikit kebranian untuk
mencoba.
Namun, kebahagiaan saya tidak berlangsung lama. Pasca Nazar lulus,
tidak ada lagi gebrakan seni rupa lainnya yang patut dicatat. Saya kembali
berpikir bila inverioritas adalah penyakit bawaan kampus suasta kecil atau
kampus negeri yang tidak bonafit, seperti halnya UTM. Mahasiswa yang datang ke
kampus ini tak ubahnya seperti “orang-orang buangan yang (terpaksa) kuliah
ketimbang menganggur”.
Tapi, yang patut disesalkan adalah ketika inverioritas berbicara
lebih jauh dalam merebut gairah mahasiswa untuk berani unjuk gigi. Kalau pada
awalnya, saya pikir inverioritas mahasiswa hanya olok-olok yang memaafkan
dekadensi, tapi sekarang saya berpikir sebaliknya.
Sebagaimana yang Iwan Fals katakan: “hidup memang harus ada besar
dan kecil”. Mungkin juga ada benarnya bila di dunia kesenian, terutama seni
lukis, harus ada yang inverior dan superior. Sebagaimana mahasiswa ISI Bali
yang terus menyelenggarakan pameran, dan mahasiswa UTM terus saja sibuk
menekuri diktat kuliah sambil sesekali terus main “dokter-dokteran” di kamar
kos.
Mungkin saya terlalu pesimis karena terlalu bosan menunggu hari
depan kehidupan kesenian UTM bisa gilang-gemilang. Semoga Iwan Fals salah dan
tidak ada lagi “besar-kecil”, “inverior-superior”. Semoga kalau mahasiswa ISI
Bali terus bikin pameran, seniman UTM juga melakukan hal yang sama. Semoga
seniman lukis UTM tidak hanya menghayati ritus potong kuping dan
mengesampingkan kualitas. Dan semoga asumsi saya salah. Semoga…!
DAni L BOndan
SM, 15
Oktober 2014
1 komentar:
thanks gan atas infonya salam semangat dari kami
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.