Laman

Senin, 23 Februari 2015

Konspirasi Gopar Melip

dari Kaskus
Orang-orang kampung memanggilnya Gopar atau Wak Gopar. Kadang orang-orang kampung yang iseng memanggilnya dengan sebutan “Gopar melip (melangit)”. Panggilan itu dia dapatkan karena kegemarannya bicara soal politik dan persoalan-persoalan dan wacana-wacana terkini yang umumnya jarang orang kampung tau. Ia juga kerap membahas banyak kasus-kasus besar, seperti penembakan John F. Kennedy, bom Bali, peristiwa 9/11, dan banyak hal lainnya.
Gopar melip biasa mangkal di warung kopi dekat Pasar Sukodono, Sidoarjo. Kalau kalian bertemu dengan Gopar dan kebetulan tidak benar-benar menganggur, sebaiknya jangan berbasa-basi dengannya atau ia akan mendongengimu tentang isu-isu politik dari jaman ke jaman. Gopar adalah tipe orang yang betah omong, apalagi dengan orang baru (baca: ketiban sial) mendengarkannya sepenuh takzim. Gopar pernah nggedabrus (membual; omong kosong) ke anak muda dari pagi sampai malam. Mas-mas warung yang bercerita pada saya bisa memastikan bila pemuda yang jadi “korban” Gopar adalah mahasiswa.

Orang-orang yang biasa ngopi di dekat Pasar paham betul dengan kebiasaan Gopar. Sehingga mereka hanya bicara sekedarnya. Dan apabila omongan Gopar sudah merambah ke hal-hal lain, mereka akan segera stop. Saya sendiri pernah jadi objek pemuas hobi Gopar dalam bercerita. Awalnya saya tertarik dengan apa yang disampaikan Gopar tentang konspirasi di balik serangan 9/11. Meski di sana-sini masih banyak hal-hal yang salah atau tak masuk akal tapi tetap kubiarkan ia mendongengiku.
Setelah dua kali ngobrol panjang dengan Gopar melip, aku baru menangkap bila semua hal yang keluar dari mulut Gopar adalah fobia akut pada konspirasi-konspirasi dunia. Hal ini nampak dari apa yang kerap ia katakan: sebuah peristiwa tidak pernah berdiri sendiri dan selalu ada maksud jangka pendek dan jangka panjang. Meski ia tak paham apa itu konspirasi. Tapi dia begitu yakin bila banyak hal buruk yang terjadi berantai dan mempengaruhi stabilitas dunia tak lepas dari maksud jahat sekelompok orang yang menginginkan dunia jadi lebih buruk.
Dari caranya bercerita, nampak jelas bila ia sangat ketakutan apabila konspirasi itu berhasil dan berjalan menimpa ia dan keluarganya, terutama keyakinannya soal agama. Gopar yakin bila dengan bercerita pada banyak orang dapat meminimalisasi dampak konspirasi dunia. Ia juga yakin bila ada kelompok tertentu ingin menghancurkan Islam dengan berbagai cara.
Rasa takut berlebih seseorang yang bermula dari keyakinan pada teori konspirasi tidak hanya dialami Gopar. Banyak orang-orang yang bahkan memiliki segudang titel akademis pun mengamini teori konspirasi hingga sampai taraf akut: merasa terancam. Goenawan Mohammad memandang realitas percaya pada teori konspirasi sebagai penderita paranoia laten. Tapi, saya pribadi kurang sependapat dengan GM. Karena apa yang dikatakan GM dapat dikategorikan sebagai “kesombongan kelas”. Meski saya tak memungkiri bila banyak orang terpelajar percaya pada konspirasi. Namun, diantara mereka yang percaya, kita dapat menghitung dalam angka pasti, terutama menyangkut kelas sosial mereka. Dan saya yakin bila orang semacam Gopar melip itu sangat banyak jumlahnya.
Bagi saya, benar-salah teori konspirasi itu tidak penting. Yang paling penting buat saya adalah akar masalah dari keyakinan pada konspirasi itu sendiri. Karena kepercayaan pada konspirasi itu tidak sertamerta terjadi tanpa adanya sesuatu yang prinsipil. Pertama dasar keyakinan pada konspirasi selalu berangkat dari “rasa aman yang terkoyak”. Karena sampai saat ini negara masih gagal memberikan rasa aman, terutama keselamatan harta benda dan kejelasan penghidupan sehari-hari pada rakyat. Sehingga paranoia di masyarakat kecil menjadi sesuatu yang logis.
Kedua, konspirasi hampir selalu berangkat dari “kepedulian berlebih pada sesuatu”. Tapi, dalam hal ini, kepedulian berlebih seseorang pada sesuatu—misalnya agama, keutuhan negara, dan sandang-pangan—ini bertepuk sebelah tangan. Artinya, kepedulian pada sesuatu inilah yang menggerakkan seseorang untuk berbuat sesuatu. Tapi, seketia mereka patah hati karena menemui kenyataan di sekitarnya tidak memungkinkan untuk berbuat sesuatu. Alhasil, mereka yang pada awalnya ingin melakukan sesuatu berubah menjadi penggerutu  yang kawatir berlebih pada banyak hal. Ia juga menjadi seseorang yang memandang dunia di sekitarnya bukan lagi tempat aman karena dipenuhi oleh sesuatu yang jahat.
Terlepas baik-buruk paranoia, kita tetap harus melihatnya sebagai sesuatu yang harus diselesaikan atau paling tidak disikapi dengan lebih arif. Sebab, sampai kapan pun dunia tetap akan menyajikan peristiwa-peristiwa besar. Begitu juga dengan manusia di dalamnya yang tak akan pernah berhenti untuk menafsirkan dan menghubung-hubungkan peristiwa besar tadi dengan masa depan, dengan kejahatan.
Saya sendiri sangat yakin bila hidup orang-orang semacam Gopar melip itu tidak pernah tenang. Sampai kapan pun dia akan terus menafsirkan dan menghubung-hubungkan banyak hal. Dan memang tak enak menjadi seperti Gopar: hidup seperti dikejar sesuatu yang kasat mata dan seakan-akan membunuh.
Yang sebenarnya harus dilakukan untuk menolong Gopar adalah dengan sedikit demi sedikit mengurangi “polusi media” dalam hal: sosialisasi kengerian demi ratting. Karena media memiliki andil besar dalam mensosialisasikan kejadian yang tak lupa diiringi oleh narasi yang kerap menyesatkan. Karena ada mahluk bernama Gopar yang dilahirkan kembali dari limbah ini.
Dari sekian lama berbincang dengan Gopar, ada hal yang terlewat untuk kutanyakan: dari mana ia dapat bahan untuk cerita-ceritanya?
”Hehehe, aku dapat dari internet dan liat televisi,” jawab Gopar, polos. Saat itu, aku langsung mengelus dada.


Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.