Laman

Senin, 15 Juni 2015

Defy dan Tulah


Dukun Bejat
Sampai sekarang saya masih ingat betul dengan kata-kata Dukun Bejat, saat saya mengantarnya ke Probolinggo H+3 lebaran tahun 2013 lalu: salah sijine dalan kesaktian iku teko roso “teraniaya”, “gak berdaya”, seng pancene diniati dilakoni utowo akibat nasib’e (Salah satu jalan kesaktian itu dari rasa “teraniaya”, “ketidakberdayaan”, yang memang benar-benar diniati atau dilakukan atau karena sudah nasib).

Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di sepanjang perjalanan kami ke Probolinggo.
*
Setelah usai bergulat dengan kerumitan para MG swasta, saya dan Dukun Bejat memutuskan bertemu dengan Defy yang kebetulan juga ada di Probolinggo. Kita berjanji bertemu di sebuah warung bakso pinggir jalan. Singkat kata, saya mendapati Defy bersama I*&^^6$%. Kami saling bersalam-salaman karena memang masih dalam suasana lebaran.
Waktu itu, ceritanya si Defy diantar oleh I*&^^6$%, karena kebetulan usai bersilaturahmi dengan keluarga I*&^^6$%. Usai bicara ngalor-ngidul, Dukun Bejat mengajakku menemui kawannya di Kemangsan, Probolinggo. Karena sedang menganggur, jadi saya iyakan saja ajakan Dukun Bejat dan mengajak Defy turut serta di perjalanan kami.
Sebenarnya, si I*&^^6$% tidak mengijinkan Defy untuk turut serta. Tapi, seperti biasanya, Defy itu (mungkin) ditakdirkan Tuhan untuk tidak bisa menolak ajakan orang lain dan hampir selalu oke. Alhasil, dengan sedikit perdebatan, peluk cium, sedikit tangis-tangisan antara Defy dan I*&^^6$%, berangkatlah kami bertiga.
Pemandangan tangis-tangisan pinggir embong waktu itu memang rada wagu dan menerbitkan naluri iseng saya untuk mengolok-oloknya. Tapi, karena Defy berkenan ikut perjalanan kami, maka saya batalkan niat saya.
Selama perjalanan mencari bis, Defy bercerita panjang lebar soal keluarga besar I*&^^6$% yang, menurut dia, keberatan dengannya lantaran tidak pas hitung-hitungan Jawa.   
Probolinggo
Meski saya dan Dukun Bejat sudah menasihati banyak hal soal tersebut, tapi, nampaknya itu tidak mempan. Dia tetap resah lantaran “teraniaya” nasib dan status sosial yang tidak sesuai ekspektasi keluarga I*&^^6$%. Namun, seperti biasa, se kalut apapun keadaannya, Defy selalu bersedia menghibur saya dan berusaha tidak merusak suasana dengan cemberut seperti yang biasa saya lakukan padanya.
Inilah yang saya salutkan dari Defy. Cara dia mengelola emosi, “menekan arogansi” dan “bunuh diri” untuk menyenangkan orang lain yang dia hormati benar-benar luar biasa. Saya pun sering menjumpai dia melakukan hal itu ke beberapa orang, sekali pun dia direndahkan, disalahpahami, diremehkan, diludahi, dan dicurangi.
Oke, Def, saya catat hal itu.
Malam itu, salah satu pelajaran yang saya dapat selama perjalanan ke Probolinggo adalah kata “aniaya” dan “menahan diri”. Dua kata ini memiliki kedekatan dimana keduanya sama-sama tidak enak, menerbitkan rasa “sakit” dan melewati semak berduri dari proses panjang untuk to be some one.
Proses (laku) yang sedang dialami Defy saat itu adalah berusaha tidak menjadi apapun. Semacam niat untuk menjadi “seseorang” yang boleh untuk tidak dianggap, ditepikan, tidak disapa status sosialnya, dan dikesampingkan kebanggaan personal dan strukturalnya.
“Menahan diri” juga bisa berarti bentuk lain dari proses seperti yang diungkapkan Dukun Bejat: penganiayaan diri sebagai laku jiwa, meski Defy sendiri tidak berharap untuk jadi orang ”sakti”.
*
Aktivitas irrasional “melebur diri”, tidak menjadi siapa-siapa, membuat laku itu tidak sejalan dengan posisinya sebagai Sekjen PPMI. Karena PPMI adalah wilayah perjuangan yang butuh”eksis” — tampil, demonstrasi wacana melalui kata, transformasi kesadaran kritis lewat bahasa — sehingga Defy bisa dibilang tidak seirama dengan perjuangan aktivis PPMI. Perbedaan mendasar ini menjadi masalah yang rancu: ketika semua berlomba-lomba untuk ”di depan”, Defy ingin kembali ke belakang.
Ajakan berbenah membuatnya nampak jadi badut olok-olok. Keinginannya untuk mengajak menakar kaliber PPMI — melalui upaya mengukur sampai sejauh mana kemampuan dan peran LPM mentransformasikan isu untuk menjadi kesadaran kolektif dan modal perjuangan di masing-masing kampus — membuat dia jadi sasaran tembak. Karena saat itu seakan-akan yang menjadi prioritas adalah segera tampil ke muka untuk force demonstration.
Waktu itu, hampir di tiap kota kurang menyadari bila kaliber LPM di masing-masing kampus sangat mempengaruhi keberhasilan perjuangan di tiap kota, bahkan nasional. Keinginan untuk force demonstration tentu sangat kontra produktif bila ujung tombak PPMI — LPM di masing-masing kampus — tidak di dengar di kampungnya sendiri dan menjadi rujukan perjuangan. Jangankan menjadi garda terdepan di sekala nasional, di sekala kota, di sekala kampus pun tidak.
Sebenarnya hal ini sangat lumrah. Tak satu pun waktu itu berpikir berdasarkan pertimbangan pranotomongso. Keinginan berjuang di tiap-tiap kota dan LPM tidak sebanding dengan kemerosotan kualitas personal dan kolektif generasi PPMI. Sehingga tawaran untuk ”berhenti sejenak” tak ubahnya hanya semacam suara bising ribut di luar jendela yang tak membangunkan kawan-kawan PPMI dari ”mengantuk massal” dan gejala tidak tahu diri.
Kegagalan membaca psikologi massa generasi PPMI membuat Defy tak digubris. Padahal, aktivis PPMI di tiap kota (diam-diam) sadar bila generasinya mengalami penurunan kaliber dan daya juang hingga di titik terendah. Sejak munculnya mitos dan perasaan (jadi tumbal) pada setiap orang yang terpilih jadi Sekjen di tiap kota atau pun nasional, sebenarnya bisa jadi indikator atas krisis kepemimpinan di tubuh PPMI.
Tidak banyak yang menyadari bila di dalam tubuh PPMI terdapat dua macam tipe orang: pertama, orang yang ”murni” berjiwa persma; kedua, demit dari organ traffic light yang menyaru persma. Kalau untuk tipe kedua ini hampir bisa dipastikan selalu ready bila disuruh menjadi sekjen, baik di tataran kota atau pun nasional. Tipe kedua ini berpikir bila jabatan struktural di PPMI mampu memberi keuntungan personal, baik itu jaringan, proyek, dll. Setelah tahu, PPMI adalah organisasi duafa yang kere-nya bukan main, dan top alumninya 99% masih cerongoan cari posisi dan mengikhlaskan diri cium bokong kotor partai, alhasil minggatlah sekjen tipe kedua ini. Untuk contohnya, saya pikir tak perlu disebutkan.
Tidak perlu dipikir untuk tipe kedua ini. Karena krisis kepemimpinan di golongan ”murni” PPMI ini lah yang perlu dicemaskan. Ketika orang dari golongan pertama ini ”merasa dikorbankan menjadi sekjen” saat itu PPMI ”tamat”.
Saya sebenarnya kasihan dengan Dedi (sekjen setelah defy) yang diganyang macam kebo ketulub. Dedi dijebak sekumpulan pengecut PPMI di golongan murni — yang enggan PPMI bubar tapi tak mau jadi sekjen; enggan merubah PPMI secara mendasar dan suka mengorbankan orang lain — sehingga jadilah Dedi sekjen PPMI dengan kepala kosong dan berpikir bisa jadi tokoh dan orang kaya. Meski di sisi lain Dedi adalah keparat tengik berpikiran oportunis.
Awan mendung PPMI yang sudah terjadi sejak beberapa waktu sebelum Defy ini tak kunjung dipahami sebagai kegagalan. Narsisme overdosis dari aktivis PPMI membuat orang-orang di dalamnya merasa enggan berbenah dan berani untuk memutuskan ”berhenti sejenak”, evaluasi dan pembenahan untuk kemudian berjuang kembali. Sehingga perjuangan di era sebelum Defy — termasuk di periode saya — adalah pepesan kosong yang berjuang di alam peseudo. Mereka berjuang sambil memeluk bantal guling dan leyeh-leyeh di zona nyaman.
Ada perasaan teramat sayang pada sesuatu yang akrab disebut ”kultural”, tapi enggan berpikir bila kedekatan hanya jadi sekedar kedekatan. Tidak lebih. Mandek. Tidak beranjak kemana-mana. Sebuah ilusi perjuangan yang tidak tampak namun melenakan. Membuat, semuanya seperti dalam melankoli, layak diperjuangkan.
Yang paling klasik namun tengik dari tiap detik-detik kebangkrutan di sebuah jaman adalah generasi mudanya. Ketika ada momentum yang tepat bagi pimpinan last generation untuk membubarkan organisasi, akan selalu muncul pertanyaan dari kader dibawahnya: ”Kalau ini bubar, bagaimana dengan kami? Bukankah seharusnya setelah ini kami yang berperan. Kau enak saja membubarkan, bagaimana dengan kami yang juga butuh mencatat sejarah?”
Ya, selalu seperti itu. Hari ini eksistensi jauh lebih penting dari apapun, bahkan dari substansi.
Waktu itu Defy memang kalah. Setelah dia resmi turun, tak ada perubahan apapun di tubuh PPMI. Bahkan, PPMI diteruskan oleh seorang yang tak becus yang jadi tumbal dari kepicikan berpikir.
Sejarah berganti.
*
 Sepulang dari Lombok, dia mendatangiku dengan senyum kecut. Ada sumpah serapah dari matanya. Dia menyayangkan kebebalan semua orang yang tidak suka padanya. Dan sebagaimana rumus hidup, tulah dari kesempitan berpikir bekerja secara alamiah. Pelan namun pasti, PPMI berjalan dengan yang semestinya terjadi: terseok-seok hingga akhirnya benar-benar berhenti.
Saya tidak ingin berkata bila kemandekan yang hingga kini terjadi benar-benar akibat dari tulah dan sumpah serapah Defy. Tapi begitulah zaman. Begitulah nasihat orang tua: segala sesuatu yang dituhankan secara irrasional hanya akan jadi sampah. Tapi, di sisi lain, saya harus angkat topi dengan keyakinan Defy pada PPMI sewaktu awal-awal dia terpilih menjadi sekjen.
Dia benar-benar yakin dengan apa yang dijalaninya. Dia melakukan segala hal yang dia anggap benar dengan hati, meski waktu itu dia tak paham dengan apa yang dia hadapi. Tapi, bukan itu yang penting. Saya hanya ingin mencatat ketulusan dan rasa cintanya pada PPMI, orang-orang di dalamnya yang peduli dengan dia, dan pada mereka yang memusuhinya.
Rasa cinta berlebih pada organisasi yang dia pimpin dan banyak orang di dalamnya membuat dia terus berjuang tanpa berpikir untung-rugi. Sehingga ketika dia berkali-kali ditikam orang yang kepercayaannya, dia tetap punya stok maaf. Dan di akhir perjalanannya, penipuan tetap berjalan. Dia tetap saja ditipu dan percaya.
Pelan namun pasti, orang-orang yang menipunya hidupnya berantakan. Mereka hancur tanpa sisa. Tidak dipercaya. Dibuang. Dan itu semua tetap berlanjut hingga kini. Pelajaran berharga yang sejak dulu kupegang sekali lagi menemukan pembuktiannya di sini.
”Jangan sekali-kali berhianat dan menyakiti orang yang peduli denganmu, memperjuangkanmu, dan orang yang hidupnya teraniaya. Ada kuwalat di situ.”
Meski kata-kata saya tidak ada gunanya, saya menyimpan terimakasih kepada Dukun Bejat atas nasihatnya. Dengan Defy, orang yang setia menghibur saya dan merelakan dirinya berkorban demi menyenangkan saya. Seandainya saya tidak bekerja jauh di Jakarta, saya ingin minum kopi bertiga saja di warung 18. Atau bahkan melakukan perjalanan lagi yang entah kemana. Membicarakan tentang esok dengan sinis. Membicarakan apa saja yang mengukir senyum kita.

Perjalanan ke Gunung Arjuno

Jakarta, 15 Juni 2015

Dalbo

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Perjalanan keren nih mas... menikmati pemandangan pegunungan, merenung dan menemukan banyak bacaan dari alam...

Anonim mengatakan...

hahaha banyak sekali kecacatan logika dalam tulisan ini. Kentara kalau penulisnya hanya bisa rasan-rasan di belakang, tanpa ada basis logika yang jelas. Selain rasan-rasan sepertinya juga pintar memutarbalik fakta. hahahahaha

seen88 mengatakan...

aktif di PPMI tahun berapa mas....? LPMnya apa? kampus mana? pernah ke tulungagung....? kenal andi bule....? di jakarta kerja di mana....? :-)

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.