Laman

Kamis, 17 November 2016

Kebijaksanaan Dalahok Sang Gubernur Dudakarta

Dalahok (Gubernur Dudakarta)
Nama saya Dalahok! Profesi saya adalah Gubernur Dudakarta. Di kota ini saya memimpin para duda kapiran yang kabur dari negara tetangga karena bangkrut. Meski saya seorang gubernur, saya tetap kacung setia dan martir para bos geng pabrik plastik. Saya adik ke 430 dari Kak Dalbo. Mungkin Kak Dalbo sendiri tidak terlalu mengenal saya karena adik Kak Dalbo bukan hanya saya. Kak Dalbo mengudang saya untuk ngopi karena saya sedang bermasalah dengan guru saya, yang juga warga kota saya. Guru saya ini Ketua Kelompok Gatholocoli yang kerjanya adalah menguji kesabaran para muridnya, termasuk saya. 
Awalnya saya emoh memilih guru yang kerjanya hanya memprotes kebijakan yang saya buat. Namun, karena Pakde Dalbo atau Kak Dalbo menginstruksikan saya menerapkan ilmu belajar langsung pada sesuatu yang kita benci, alhasil bergurulah saya dengan Kelompok Gatholocoli. Ternyata berguru pada orang yang kita benci adalah sebaik-baik kebijaksanaan. 
Saya lahir di Mojoagun*. Sebuah daerah yang memiliki budaya lambe turah, nganggur, dan jahiliah. Mulut saya ini ndak enak kalau tidak ngeledek. Sejak kecil saya berlatih kungfu. Tapi seiring waktu, saya mengembangkan jurus kungfu paling sakti dan saya namai lambekungfu, atau seni bela diri kungfu yang mengandalkan bibir untuk memukul. Atau dalam bahasa inggris biasa disebut: cangkemanYou know cangkeman?  
Saya punya keunikan tersendiri yang jadi bawaan sejak lahir. Keunikan ini kerap mengantarkan saya pada petaka-petaka tidak penting tapi fatal. Keunikan tersebut adalah ketika badan saya tidak bisa diam dan akan terasa pegal-pegal kalau tidak ngisengin orang. Siapa saja bisa jadi korban keisengan saya kecuali Kakak Dalbo dan pimpinan Geng Pabrik Plastik Yang Doyan Impor Barang Gak Penting Ke Seluruh Dunia Ya Ya Ya (GPPYDIBGPKSD3Y). Selain dua orang itu, saya tidak takut menjahili siapapun. Bahkan guru saya pun akan saya jahili kalau saya sedang suntuk. 
Salah satu keisengan saya yang populer adalah menukar rumah warga dengan rumah burung dara. Membersihkan Kota Dudakarta dari para mbambung pengotor jalan. Memenuhi kota dengan manusia impor, dan banyak lagi. Kalau orang menyebut Soekarno sebagai bapak proklamasi, saya terkenal sebagai bapak reklamasi.
Tapi, di sisi lain, Ketua Kelompok Gatholocoli ini juga setali tiga uang dengan saya. Guru saya dan kelompoknya adalah garda terdepan pendemo segala kebijakan yang saya buat. Di mata guru saya, segala hal yang saya lakukan itu salah. Bahkan, mungkin menurut dia, saya lahir ke dunia pun juga salah. Tapi, di sebalik itu sebenarnya saya tahu persis kedalaman guru saya. Ia sangat menyayangi saya dan berusaha membuat saya tahu diri. Karena cara guru mendidik muridnya itu macam-macam: ada yang membimbing dengan menjadi sahabat, ada juga yang musuh kita. Dan adanya guru saya ini membuat saya tidak perlu repot-repot membeli kaca benggala di Glodok hanya untuk melihat siapa sejatinya saya. 
Meski saya sangat takzim dengan guru saya, tapi sebagai manusia yang normal, saya memiliki kadar kejengkelan tersendiri dengan guru saya. Meski kejengkelan dalam diri saya itu sifatnya fluktuatif, tapi yang jelas jengkel tetap saja ada meski kadarnya bisa berbeda-beda setiap saat. Terkadang, rasa jengkel yang secara otomatis tersimpan dalam diri saya ini kerap meledak sewaktu-waktu. Sehingga ketika saya ngomong baik-baik pun terkadang masih kerap keceplosan kata-kata yang menyinggung perasaan guru saya.
*
Bukan guru yang bijak namanya kalau dia tidak bisa memafkan saya. Biasanya rasa maafnya muncul tatkala dia sudah bisa memahami kekhilafan saya dan mengkalkulasi dengan cermat alasan dia marah; mengkalkulasi saldo kesalahan saya padanya. Guru saya ini tipikal seorang yang dianugrahi alam semesta kejelian mripat. Kejeliannya ini ia manfaatkan untuk mengkalkulasi—meski tidak 100 persen benar—setepat-tepatnya kesalahan saya. Setelah ia mampu mengkalkulasi kesalahan saya, biasanya ia akan menghukum saya sesuai dengan kadar kesalahan saya. Yang bikin saya salut padanya adalah kemampuannya dalam mengukur dan menentukan kesalahan mana yang patut dihukum dan mana yang tidak. Dalam hal ini, dia jagonya. 
Untuk orang sekaliber guru saya ini, tentu memahami bila kata-kata saya yang menyinggung hatinya adalah akumulasi dari kejengkelan saya padanya yang suka menyuruh seenaknya, terlalu menuntut, dan menghina hasil perenungan saya. Yang hebat dari guru saya adalah, ia tidak pernah menghukum saya untuk kesalahan yang mungkin bisa dibilang manusiawi ini. Sedangkan hukuman yang sedang saya terima darinya adalah karena akumulasi dari kesalahan saya yang lain, seperti: membuang tikar tempat dia tidur dan menggantinya kertas koran. Atau terkadang ketika kamar kos yang dia sewa, saya sewakan lagi ke teman-teman saya dari kelompok GPPYDIBGPKSD3Y yang kebetulan butuh tempat mesum darurat dengan harga murah hingga guru saya sendiri terkadang sampai duduk jongkok menunggu kawan saya selesai main.
Jadi, kalau pada suatu hari dia menghukum saya, tentu itu bukan berasal dari kata-kata saya, tapi akumulasi dari kesalahan-kesalahan saya selama ini padanya. Mestinya, dia tidak perlu menunggu saya berkata sesuatu yang menyinggung perasaannya untuk dapat menghukum. Bagi saya, ia berhak menghukumku karena: dia guruku; saya muridnya; saya rela dihukum; dia mau menghukum. Dan jadilah saya tersangka. Dengan kata lain, guru saya dan para pengikutnya yang lain itu tidak kehilangan fokus dan marah hanya perkara kata-kata saya, melainkan menghukum karena kesalahan-kesalahan yang lebih fatal yang menyangkut kemanusiaan, perut orang banyak serta tempat tinggalnya.
Ya, bila ada dua pihak yang terlibat persoalan pastilah masing-masing pihak punya andil salah. Tinggal masing-masing pihak ini mau memahami dan memaafkan atau tidak. Meski demikian, saya sadar bila maaf hanya akan membuat saya bersih di mata tuhan, tapi tidak di mata hukum. Salah dan dihukum itu ”benar”. Kalau salah tidak dihukum itu dobel salah namanya.  
Bagi saya, status tersangka yang baru saja ditetapkan Barbar-Eskrim adalah anugrah luar biasa. Status ini membuat saya sadar bila kata-kata sembrono yang nyeplos adalah sebuah momentum yang datang dari semesta. Seperti ”tangan Tuhan” yang membuat banyak orang kembali ke ”biliknya” untuk bersunyi-sunyi. Mengukur diri. Mengeram. Dan menyesali perpecahan yang sempat terjadi. Dan yang penting mengembalikan persatuan kelompok-kelompok.
Saya senang dialektika cinta antara saya dan guru saya ini hanya terjadi di Dudakarta. Apa jadinya kalau sampai terjadi di Jakarta (baca: tempat genderuwo manak)? Saya ogah tinggal di sana. Semua orang bersikukuh dengan benarnya masing-masing. 

Citra D. Vresti Trisna

Dudakarta, Kamis Legi, 17 November 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.