Laman

Senin, 14 November 2016

Gembelengan Kolektif

Gundul-gundul pacul, gembelengan. Nyunggi-nyungi wakul, gembelengan. Wakul glimpang segane dadi sak latar (--seorang bocah—kepalanya gundul sembrono. Membawa bakul nasi di atas kepala dan sembrono. Bakul nasinya jatuh nasinya berserakan ke mana-mana).
*
Teman sekamar kos saya kelimpungan. Mukanya merah padam menahan amarah mendapati saudara jauhnya (yang juga tinggal sekamar dengan kami) resign kerja. ”Teman saya yang juga baru juga resign, saya ndak mau sendirian. Kerja di sana juga ndak enak,” ujar si bocah. Teman saya marah karena merasa disepelehkan; tidak dihargai perjuangannya mencarikan kerja kemana-mana. Teman saya merasa rugi korban waktu sampai harus izin cuti demi mengantar saudaranya ini cari kerja. Meski (mungkin) teman saya juga sadar bila upayanya menolong saudaranya itu bukan dalam rangka dagang yang harus terlibat untung-rugi.  
Teman sekamar saya sempat tidak mau bertegur sapa dengan saudara jauhnya. Tapi, setelah mengungkapkan kekesalan dalam hatinya, teman saya melunak. Padahal sebelumnya saudara jauh teman saya ini mau diusir, lantaran sudah beberapa kali dicarikan kerja tapi tetap saja keluar karena tak nyaman di tempat kerjanya yang baru. Saya sendiri hanya diam, tak berani ikut campur. Hanya kalau kebetulan kami hanya berdua di kamar, saya nasihati dia dan memberinya semangat dan mengingatkan agar tidak terlalu menuruti enak dan tidak enak kalau hidup di Jakarta. Terlebih jika hanya lulusan SMA tanpa ada daya tawar.  
Bagi saya, alasan saudara teman saya itu gembelengan. Saya sempat heran juga: kok, ya, makin modern hidup itu makin banyak anak-anak muda pemalas. Dulu, hiburan tak sebanyak sekarang, tapi kenapa banyak orang jadi pemalas. Harusnya, karena hiburan makin banyak, mereka semakin giat bekerja karena hiburan juga tidak ada yang gratis. Saya berani bilang seperti ini lantaran, saudara teman saya ini juga senang ditraktir nggaya, senang-senang di tempat hiburan.
Awalnya saya agak gregeten juga dengan bocah ini. Padahal di Jakarta, sebagian besar orang berlomba-lomba membeli hidup. Kerja siang-malam, sikut kanan-kiri, cari peluang dan jilat sana-sini agar bisa membeli hidup. Kepedulian satu sama lain itu seperti suara merdu yang terdengar menjauh. Tapi, setelah saya pikir lagi, bocah ini adalah tamparan buat saya. Bocah ini mengingatkan bila mripat saya masih rabun untuk melihat apa yang ada dibalik semangat kerja dan ketidakpedulian genderuwo-genderuwo Jakarta.
Bocah ini memang gembelengan dalam bekerja. Gembelengan sebagai pria dewasa yang sudah semestinya bertanggungjawab pada dirinya, orang tuanya dan adiknya. Kemalasan bocah ini juga dipicu oleh kemalasan atasannya yang menganggap dengan adanya bocah ini untuk bermalas-malasan. Meski tugasnya adalah membimbing bocah ini kerja karena masih baru, tapi tidak dilakukan dan justru seenaknya cari keuntungan lain di luar. Tapi, di balik itu, atasan si bocah ini juga didorong oleh big bosnya lagi yang juga malas memperhatikan kesejahteraan karyawan; malas untuk sama-sama bekerja keras untuk memajukan perusahaan. Padahal, si bos geng juga pengen untung besar. Alhasil, untung besar itu diwujudkan dengan memanipulasi hak karyawan. Biar bawahan kerja setengah mati asal bos geng untung besar itu bukan soal.
Sementara pemerintah, yang seharusnya mengurus kesejahteraan juga gembelengan. Namanya saja kabinet kerja, tapi kerjaannya, ya, jual negara ke sana-sini. Tidak ada kemandirian membangun sendiri negara dengan segala sumberdaya dan tenaga yang ada. Kemalasan yang tersamarkan dengan kerja keras itu akhirnya diwujudkan dengan mengundang investasi asing masuk. Investasi jadi satu-satunya solusi paling masuk akal. Akibatnya, demi menjaga agar tamu yang diundang datang mengeruk kekayaan Indonesia ini betah, maka pemerintah harus buat sistem yang baik bagi mereka. Semua kekumuhan harus direlokasi (baca: GUSUR) demi kenyamanan para tamu. Setelah lahan-lahan digurur, dibangunlah tempat yang nyaman dan mahal untuk para tamu.
Pemerintah juga dituntut melancarkan pekerjaan para tamunya dengan membangun infrastruktur di sana-sini agar mereka bisa bekerja dengan enak. Agar tamunya betah, matane pemerintah harus sedikit picek ke hak-hak buruh yang sejatinya merupakan warga negara. Kalau buruh minta upah terlalu tinggi, bisa bikin tamunya tidak betah. Kalau buruh banyak menuntut hak, produktivitas rendah dan itu tidak baik bagi tamu. Karena memang sejak dulu tuan rumah itu harus memperlakukan tamunya seperti raja.
*
Subhanallah sekali kemalasan-kemalasan di kampung yang bernama Indonesia ini.
Nanti kalau si bocah ini pulang ke Kuningan, kampung orang tuanya, para tetangga akan kasak-kusuk ngerumpi. ”Eh, si anu pulang dari kota, tetap kere...” Kalau sudah sukses bawa tipi-kulkas-kredit motor: ”eh si anu pasti kerjanya gak bener di kota. Masa begitu kerja udah bisa beli macam-macam. Kerja apaan memangnya bisa kaya gitu?”
Malang benar nasibmu, bocah. Pulang gagal dimaki; pulang berhasil orang pada dengki. Kadang saya juga rada gimana gitu dengan hal-hal semacam ini. Kalau tidak bisa membantu, ya, mbok ndak usah memaki, mengkuliahi, menyalah-nyalahkan. Saya pun demikian. Tidak seberapa membantu bocah ini juga akhirnya tergelincir untuk sempat menyalahkan si bocah tanpa mau berpikir lebih jauh, melihat lebih jauh, dan berempati lebih dalam. Maafkan saya, ya, bocah. Kalau nanti kamu dapat pekerjaan lagi, jangan gembelengan. Memang tidak enak rasanya jadi gedibal, bolodupak-an di kampung sendiri.
Kalau kau dengan segala gembelengan yang ada dalam dirimu adalah cerminan dari wajah kami. Maka seharusnya kami bisa maafkanmu dengan menerapkan ilmu orang tua: merasa seakan-akan menjadi orang tuamu yang bisa menerima kenakalanmu, kesalahanmu. Marah bila kau disakiti dan ikut merasakan segala luka yang kau sembunyikan tanpa sempat kami pahami. Tapi, berapa biji orang yang mau seperti itu?
Ya, Gusti. Maafkan sikap gembelengan kami.

Citra D. Vresti Trisna

Kosan Lantai Dua Yang Ada Sofanya, Senin Pon, 14 November 2016


Selamat tidur, jangan gembelengan lagi, ya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.