Laman

Senin, 26 September 2011

Menyesal Kuliah

Untuk apa aku kuliah? Muak aku dengan perkulihan ini, kalau saja ada pilihan lain yang bisa aku ambil – dengan menggelandang saja, belajar hidup – tidak memberikan pengaruh dan dampak bagi kebahagiaan orangtuaku di rumah: aku sudah pergi sejak dulu. Meninggalkan segala parodi tentang hidup: berkuliah, sarjana, status sosial, dan segala sesuatu yang dikatakan modern. Tak ada pilihan. Mau tak mau aku harus mengambil jalan kuliah ini, selain itu aku juga sudah tua di kampus ini. Terlambat: aku harus menyelesaikannya. Demi kebahagiaan dan kebanggaan yang sama sekali bukan untukku.

Semua kesadaran dimulai ketika aku menginjak semester tiga. Kegelisahan soal kehidupan perkuliahan yang tengik, dimana menjadi sarjana adalah sebusuk-busuknya cita-cita. Memang pendapat seseorang itu berbeda dalam memaknai sesuatu, tapi bagiku demikian. Di sini, aku tak ingin mengajak orang lain untuk menjadi seperti aku. Orang yang menolak keharusan dan kebutuhan pasar – mau kerja, harus punya ijazah. Kalau kau ayam, tak perlu menjadi kambing di kandang kambing. Juga sebaliknya.
Rasa muak dengan kehidupan perkuliahan hanya ku rasakan samar-samar. Seperti selentingan bau busuk dari bangkai yang dikubur di galian yang tak dalam. Soal kebusukan dunia perkuliahan, rasanya seperti sesuatu yang tidak beres menimpa diri, tapi kita tidak tau: apa itu sebenarnya?
Menyadari rasa-rasanya banyak orang berkuliah, banyak sarjana-sarjana S1 mengejar ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi setelah mereka berhasil, gelar intelektual di tangan, ijazah, persoalan kebangsaan tak kunjung selesai. Kekagumanku pada sejumlah orang yang kukenal luntur perlahan karena setelah mereka mengenyam pendidikan, tak urung mereka juga tak bisa memberikan sumbangsih apapun kepada hidup. Mereka berjuang untuk selingkup keluarganya saja: istri, anak, dan orang tuanya. Lalau bangaimana dengan masyarakat dan orang-orang yang terpinggirkan? Mereka tetap tak tersentuh.
Kemudian, persoalan kebangsaan akan lenyap di tangan mereka-mereka yang cerdas, nyatanya juga kosong. Tidak ada orang cerdas dan militan yang sanggup menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan. Soal-soal korupsi tetap berjalan, ditambah kebusukan konflik-konflik juga tidak terselesaikan. Juga dengan video yang pernah aku kagumi – soal gerakan mahasiswa menggulingkan Soeharto – ku pikir, dari merekalah harapan diletakkan. Tapi yang kudapati, mereka para pelaku sejarah, hanya menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah dan tak kunjung menyelesaikan persoalan kebangsaan.
Apa yang salah sebenarnya? Kegagalan dari Universitas untuk mentransformasikan nilai-nilai luhur tidak lagi bisa ditutup-tutupi.
Bersambung... 

Citra D. Vresti Trisna

7 komentar:

Edin Bonaparte mengatakan...

great..

Maskhana Febri mengatakan...

Utami Maskhana Febrianti Menyukai Postingan Pakde *hehehe
sambungannya mana?

Gedek mengatakan...

Kuliah? Saya rasa jaman sekarang tidak hanya dengan kuliah untuk bisa sukses :) tapi walaupun begitu, setidaknya ada perbedaan antara org yg kuliah dan tidak seperti cara menghadapi orang, menghadapi masalah, dll :)

m. faidurrahman mengatakan...

jadi penjilat yg paling tepat... yg bicara kesuksesan, hanya bagi anjing yg diperkuda kesombongan...

Sebatangpohon mengatakan...

cara berpikir bisa diolah,dilatih dengan banyak banyak membaca bukan? Berdiskusi di forum soc media,tanpa wajib harus kuliah :) . Saya sepaham sama artikelnya mba citra

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

Aduh. Saya ini berjakun kok dipanggil mba... nasib

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

waduh, saya ini berjakun kok dipanggil "mba"

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.