Laman

Kamis, 11 Oktober 2012

Sombong itu semacam dancuk kali, ya?


Segalanya pasti berubah. Berubah...
Saya selalu jengkel dengan seseorang yang sombong dengan nasib orang lain, kesanggupan seseorang yang tinggal sisa-sia.
Selepas penat berurusan dengan dosen dan skripsi. Saya memutuskan untuk jalan-jalan ke dunia maya. Lelah tubuhku bertambah panas ketika membacai sebuah blog yang di salah satu tulisannya membahas soal kopi. Penulisnya mengambil prolog tentang pengamen yang menyanyikan lagu-lagu milik Iwan Fals. Awalnya aku masih tidak ngeh dengan jalan tulisannya yang banyak bicara soal prestasi Iwan Fals di masa muda, terutama sikapnya yang garang dengan syair lagunya yang memberikan kritikan keras bagi pemerintah Orba.
Apa hubungannya dengan kopi, pikirku.
Lambat laun aku faham kemana arahnya. Penulis blog itu akhirnya membicarakan soal iklan Top Coffee. Ia menulis: Iwan sudah berubah. Dari penampilan, lagu, sampai pendapatnya mengenai iklan komersial. Yang paling menyedihkan tentu nasib lagu "Bongkar". Dari semula menjadi lagu yang sangat politis dan garang, berakhir menjadi slogan iklan kopi. 
Tak ada yang bisa menduga nasib kita. Hari ini jadi pahlawan, esok sudah jadi bahan gurauan. Juga Iwan Fals. Hanya karena sudi menjadi bintang iklan, ia menjadi begitu tanpa harga sekarang. Saya percaya, hanya Tuhan yang tidak pernah malas untuk menghitung kebaikan dan kejahatan. Tapi apa Iwan Fals melakukan kejahatan dengan sudi menjadi iklan Top Coffee? Kalau dia disesalkan menjadi iklan Top Coffee hanya karena masa lalunya yang garang dengan lagu “bongkar”, alangkah sedih Iwan Fals karena harus terbatasi. Kalau pun dulu Iwan Fals menolak melibatkan diri dalam iklan, kita juga tak tau apa yang dipikirkannya. Kalau sekarang Iwan sudah jadi bintang iklan dan lagu-lagunya mulai melunak dan lebih banyak bicara soal perenungan diri, apa itu salah? Dan sebuah pertanyaan yang menyesakkan di akhir tulisan itu: Apakah kedua pengamen itu minum Top Coffee?
Ah, manusia sekarang, semakin tinggi ilmu, kesempatan dan kesanggupannya, semakin menjadi pula pikirannya. Memang nasib sial kau, Iwan. Harus menjadi terkenal dan sekarang jadi korban “infotaimen intelektual”.
Tak ada yang tau apa yang terjadi dalam kehidupan Iwan kecuali dirinya sendiri. Soal apa yang melatar belakangi ia mau jadi bintang iklan kupikir bukan tanpa sebab. Betapa sombong orang-orang pintar sekarang. Hal ini mengingatkan aku pada seorang aktivis yang memperjuangkan nasib masyarakat di Kulon Progo. Setelah terbukti “gagal” memperjuangkan nasib masyarakat Kulon Progo, ia mengata-ngatai masyarakat KP dengan sebutan kompromistis dengan pemerintah, sudah enak. Awalnya aku salut dengan perjuangannya, tapi mendadak kekagumanku runtuh dengan komentarnya atas masyarakat KP. Bukankah memperjuangkan itu bukan urusan pamrih? Apakah perjuangan harus selalu menuntut orang yang diperjuangkan tau bila sedang diperjuangkan? Sudahlah, mengapa jadi kemana-mana.
Siang ini pun, saya ditelfon kawan lama dan menanyakan kabar. Ia menanyakan apa aku masih jadi orang terminal dll. Ia turut senang karena aku sudah tidak lagi jadi orang terminal. Katanya: syukurlah kamu sudah mengakhiri pekerjaan itu. Jadilah orang benar. Bekerjalah yang baik setelah lulus ini. Dan kamu harus.....
Iya. Iya, kawan. Aku tau kau sudah cukup mapan, sekarang. Aku rela kamu kuliahi, tapi tidak untuk soal menghina pekerjaan mengamen. Ah, apa kau hendak menjadi orang-orang yang sombong dengan nasib orang lain seperti di blog yang siang ini aku baca? Apa kau hendak menjadi aktivis KP yang memaki orang yang dulunya diperjuangkan. Aku kecewa dengan pembicaraan kita siang ini, batinku. Sayang tidak sempat terlontar keluar.
Lukaku berjalin-jalin. Dan keparatnya, pikiranku dipenuhi pertanyaan penulis blog itu:  Apakah kedua pengamen itu minum Top Coffee? Apa dipikirnya hanya dia yang bisa menganalisa soal iklan, harga diri, masa lalu, dan pamer kebijaksanaan? Apa dipikir para pengamen itu adalah kaum papa yang tak bisa menentukan sikap? Apa para pengamen itu hanya bebodoran yang selamanya jadi olok-olok mereka yang bisa mengelola hidupnya dengan rasional.
Baiklah kalau kau mau jawaban. Aku akan jawab. Aku juga akan paksa kau melongok kedalam terminal. Untuk kawanku, apa kau pikir kau sudah merasa lebih baik ketimbang para pengamen. Tidak semua pengamen itu buruk, cuk.  
*
Sekitar tahun 2005, sewaktu saya masih jadi pengamen Terminal Purabaya, saya selalu kesal dengan situasi seperti ini: dimaki tetangga sebagai orang yang tidak terdidik dan rusak; bila penumpang memandang saya dengan tatapan sinis sewaktu saya menyanyi; Lalu saat kena razia, diceramahi aparat dan diperlakukan seperti babi.
Sepertinya pekerjaan mengamen adalah dosa turunan yang lebih rendah dari bromocorah. Kalau mengamen dianggap sebagai peminta, it’s ok. Tapi, aku ingin bertanya: lebih baik mana meminta dengan baik-baik atau mengkorupsi? Apa saya meminta uang ratusan ribu dari para penumpang itu? Cuma sesungging senyum, menghormati, dan receh. Receh...
Dari dulu aku memang selalu tidak sabaran dengan banyak hal. Kalau ada yang tidak cocok, bawaannya selalu protes saja.
Pada suatu ketika, saat saya usai mengamen dan menadahkan kolekan (bungkus permen untuk menadahi receh ke penumpang), seseorang penumpang memakiku menepis keras-keras  tanganku hingga kolekanku jatuh dan uang receh di dalamnya semburat berantakan.
Darahku langsung mendesir ke ubun-ubun. Waktu itu semua pandangan tertuju ke arahku dan kawanku yang masih memainkan gitar.
Saya membisu menahan amarah dan meminta penumpang itu memungut kembali kolekanku dan memungut receh yang terlanjur tercecer. Penumpang itu diam. Ia hanya mendengus dan memalingkan wajahnya ke jendela. Kemudian, bag.. bug... bag.. bug.. ngek... jeding #@**7&% dan eurekaaaa, penumpang itu babak belur kuhajar. Tak satu pun penumpang lainnya protes. Mereka hanya menyaksikan dengan jijik, begidik melihat kami berdua.
Tak satu pun membantu penumpang itu. Juga kondektur, yang mungkin akan berpikir ribuan kali bila hendak membantu melerai. Setelah temanku memunguti uang receh yang terlanjur jatuh, di pemberhentian berikutnya, kami turun.
Di warung makan, seleraku mendadak hilang. Aku terus saja mengomel sambil sesekali ingat wajah lelaki yang baru saja kupukuli. Wajahnya jadi memelas tak berdaya dan menghiba seperti anak kecil. Hilang wajahnya yang semula angkuh sewaktu menepis tanganku.  
Rasa menyesal memang selalu menyesak dan begitu ganjil. Mengapa harus terjadi pemukulan itu? Mengapa ia bersikap seperti itu padaku, apa salahku? Kalau ia tak mau memberi, mengapa pula harus seperti itu? Seakan-akan tidak ada cara lain untuk memperlakukan pengamen kecuali menistakannya.
Memang selamanya mereka yang masih menginjak tanah harus punya kesadaran dan kebijaksanaan tertentu untuk memahami hukum yang berlaku di masyarakat. Pola-pola aturan yang tak pernah menilik dan mempertanyakan sebab “mengapa”.
Kalau saya mengamen, saya adalah sampah di mata mereka. Mereka tak butuh untuk tanya: mengapa harus mengamen? Saya akui, banyak pengamen yang menjalani pekerjaannya karena malas bekerja dan terlalu dimanjakan receh dan kebebasan. Tapi itu tidak semua. Saya mengakui banyak pengamen lebih rela perutnya kosong ketimbang tidak beli arak dan pil anjing. Tapi ada juga kawanku, Lukman, pengamen yang juga seorang suami dan ayah yang baik bagi lima orang anaknya yang masih kecil. Dari hasil mengamen, ia bisa membeli sepetak tanah dan membuat rumah kecil untuk keluarganya. Meski demikian, Lukman bukan seorang yang pelit dengan. Ia kerap bagi-bagi rokok, mentraktir makan, es, dan bahkan meminjami uang. Ia juga seorang takmir masjid, sehingga sebelum waktu sholat, ia sudah harus di mesjid dan adzan. Ada juga salah seorang pengamen, yang sampai sekarang masih kuanggap sebagai “guru” buatku. Ia mengenalkan aku dengan dunia filsafat dan kehidupan. Ia lebih rela kelaparan ketimbang tidak membeli buku. Bahkan, kalau ia masih hidup, ia boleh di adu dengan mahasiswa filsafat dan aktivis-aktivis kiri.
Tidak selamanya pengamen adalah sampah. Mereka hanya sampah ketika membuat hidup mereka tanpa guna. Tapi bisakah kita memandang Lukman sebagai sampah menjijikkan. Kalau saya saja yang dianggap sampah, tidak masalah. Tapi tidak bagi mereka yang hidup dan berjuang di terminal untuk menghidupi anak dan istrinya. Saya memang mengamen karena ingin uang tambahan dari membeli buku-buku.
Lukman bukan tidak mau kerja jadi buruh pabrik dan kuli bangunan. Ia pernah melakukannya sebelum mengamen dan punya banyak anak. Tapi, ia tidak bisa mengandalkan gajinya yang hanya UMR. Dia rela membenamkan muka dan menjadi penghibur di bis dengan lagu sholawat ketimbang anak dan istrinya kapiran. Kalau, Rori, guru filsafatku yang pertama, ia jadi pengamen lantaran ingin hidup mendekat dengan tanah. Ia ingin merendah untuk mendapat nilai yang lebih tinggi dari Tuhan yang diyakininya. Rori bahkan rela pergi dari kemapanan keluarganya, rela untuk tidak mengurusi usaha bapaknya di Jatinegara. Bahkan memilih mati sunyi kelaparan di rumah kos yang sempit di dekat terminal.
Tapi saya memang tidak memaksa masyarakat untuk mau tau dan cari tau. Mereka tidak perlu nyelempit ke sudut-sudut terminal yang becek untuk tau apa yang sebenarnya terjadi. Juga ke petak-petak kamar kos yang kumuh untuk tau bila masih ada orang baik di terminal.
Sama halnya dengan kami, para pengamen, kesanggupan mereka hanya bisa menilai se-enak perutnya. Dan kesanggupan kami hanya mengelus dada ketika ditikam dengan sorot mata muak dan benci.
Aku bisa terima perlakuan kalian. Memang saya yang gila, sampah. Kau di atas saja, jadi dewa.
Sudahlah, aku muak sendiri bikin lanjutannya.
Oya, ada yang tertinggal. Aku mau minum top coffee. Kau mau apa? Puas!

Okt, 2012
CDVT

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Sabar Pak Dhe. Mudah-mudahan saya orang yang kau makdsud itu.

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.