Laman

Sabtu, 10 Agustus 2013

#5 Big bos, begawan, kiyai sastra: ampuni saya

Ngawulo

Saya ini malu kalau harus menggurui bos besar sastra. Tapi, rasa sayang saya pada big bos melebihi cinta saya pada sastra; puisi; cerpen dan segala taik kucingnya. Karena saya yakin cinta saya pada big bos akan membuat sastra yang ‘sastra’; tidak palsu, seperti perkancutan sastra yang sering sampean bilang.
Saya ini ngawulo, patuh, setia pada sodara, pada persahabatan saya dengan big bos. Apalagi saya hanya anak bawang yang selalu gagal untuk tulus pada apa yang saya tulis dan tidak sesuci tujuan big bog di dunia sastra. Terlebih lagi saya bukan pertapa dalam urusan sastra. Big bos sudah malang melintang di dunia sastra jauh ketika saya masih getol main play station perang-perangan.
Jujur saja, saya ini masih bandit. Kalau meminjam istilah Si Tahu, saya ini ‘pengusaha’ (semua-semua diusahakan), termasuk dalam menulis. Saya masih terlalu dungu untuk menahan hasrat ngopi, ngudut, dolan, yang mana semuanya itu butuh uang. Ini terang-terangan saja, lho. Saya itu bisa saja menulis dengan hati datar sesuai keinginan koran agar dapat duit. Dan setelah dapat uang, larinya ndak ke sastra, ndak buat ongkos bikin komunitas seperti yang big bos lakukan.
Saya pernah dengar tentang Umbu, seorang begawan yang pernah jadi presiden Malioboro. Dia adalah guru yang pernah membesarkan orang-orang wow sekarang. Katakanlah Linus Suryadi dengan ‘pengakuan pariyem’, atau Cak Nun dengan sepak terjangnya di dunia sastra dan kemanusiaan. Tapi, kalau saya boleh memberikan nilai pada Umbu dan big bos, saya akan memberi nilai 9 pada big bos dan 5 pada Umbu. Alasannya simpel: lha, yang saya kenal big bos. Yang sering nraktir kopi dan saya miskinkan urusan rokok adalah big bos, bukan Umbu. Mungkin, Umbu tidak akan sebegitu dekat dengan murid-muridnya seperti big bos pada saya. Dan yang lebih ekstrim, mungkin murid-murid Umbu tidak ada yang se bandit saya: yang berani kurang ajar dan bicara sembarangan tanpa aturan pada gurunya. Tapi, justru di situlah kelebihan big bos: mampu menahan diri dengan barbarnya orang macam saya. Kurangnya rasa hormat saya mungkin karena saya masih terlalu liar dan belum siap dengan segunung beban dan tanggung jawab di dunia sastra seperti yang njenengan alami. Saya ini masih belepotan dan belum kuat menahan budrek belum ngopi dan ngudut seharian dan segala sesuatu yang fana. Sementara big bos telah melampaui itu semua. Bahkan big bos pun sangat tahan dihantam kritik, meski sekali waktu saya kerap menjumpai big bos merengut dan ngambek karena kritik orang yang tak sekaliber big bos.
Aduh, bos. Kejam nian dunia memperlakukan big bos sebagai seorang maestro. Kadang saya ndak tega dengan banyak keresahan big bos yang dihantam ngalor ngidul soal karya big bos. Tapi dengan berat hati saya katakan: begitulah cara dunia bekerja. Sekarang siapa saja berhak memaki dan numpang tenar dengan cara barbar: memaki. Saya pikir mereka tak tau berhadapan dengan siapa. Hidup mereka pasti tak dapat pencerahan dan ilham dalam urusan sastra. Salah satunya ya saya ini.
Sekali waktu, big bos ini perlu refresh sejenak biar tidak terlalu kaku urat lehernya menyikapi orang-orang awam tukang kritik yang keblinger dan tak tau diuntung. Sesekali  big bos perlu pergi ke mall untuk membeli jeans, makan siang di restoran cina untuk beli fu yung hai dan minum Tras (air minum berteknologi RO), serta pencuci mulutnya bandrek panas. Menjelang sore, big bos bisa mampir ke lapak buku bekas dan mencari-cari stensilan dan membacanya di cafe pinggir pantai sembari menikmati coklat panas. Menjelang malam, adalah yang paling ditunggu, yakni karaokean. Big bos bisa menyewa purel paling bahenol di karaokean. Dan semuanya saya yang urus, asalkan uangnya dari big bos. Ini semua tidak berlebihan. Tuhan pasti tahu kelelahan big bos ketika siang malam menjalani tanggung jawab moral untuk memperjuangkan dunia sastra  tanpa berharap imbalan apa-apa. Semuanya tulus ikhlas. Soal materi, menurut saya, adalah soal nomor 357 bagi begawan sastra sekaliber big bos. Jadi Tuhan akan welas asih pada titik nadir kesanggupan big bos dalam mengarungi perjuangan di dunia sastra.
Setahu saya yang awam ini, di dunia sastra, jumlah kritikus itu lebih banyak dari para penulisnya. Terusterang saya ndak setuju dengan istilah matinya tukang kritik. Siapa yang bilang kita sedang minim kritikus sastra? Karena ‘kritik’ adalah kritik. Berkualitas atau tidak, kritik tetap kritik. Bahkan kalau anjing rajin beli koran minggu dan baca rubrik sastranya, si anjing boleh men-jancuk karya-karya yang dimuat, terlepas berbobot atau tidak dasarnya. Asumsi bila kritik harus berangkat dari orang yang punya kapasitas adalah sebentuk upaya meremehkan kualitas kemanusiaan; tidak menghargai rasa-pirasa dari orang lain. Bukan berarti tukang beca tak boleh men-jancuk karya seorang penyair. Saya rasa penyempitan pengertian kritik inilah salah satu faktor yang membuat memble dunia sastra hari ini. Dan setahu saya yang kemeruh ini, tugas penyair adalah terus belajar, berkarya, dan berbenah diri. Merenunglah dan sesekali berbenah lalu kembali menulis lagi. Memusingkan dan terlalu repot membuat alibi serta serangan balasan pada orang yang mengkritik kita adalah perbuatan dekaden yang merugi.  
Bos, apa yang saya tulis di sini memang menjijikkan dan nampak begitu menjilat. Tapi, ini adalah penebusan dosa saya atas segala tindakan barbar saya sebagai murid; sebagai pemburu materi dari apa yang saya tulis. Terus terang saya sangat terpukul dengan sms yang berisi kata-kata Afrizal soal penulis puisi di koran akhir-akhir ini:
Ribuan puisi antri di belakang meja redaksi media cetak untuk dimuat, bukan sebagai penawaran kreatif, melainkan lebih sebagai ‘setoran karya’. Seakan-akan ada ketakutan bahwa mainstrem akan melupakannya kalau dalam batas waktu tertentu puisinya tidak dimuat di media massa cetak.
Tapi, jujur saja. Sms itu sangat menyinggung saya. Ironisnya, barbarnya saya dalam dunia tulis menulis tiba-tiba membuat saya merasa tidak pantas untuk marah. Sms itu benar adanya, dan saya sangat berterimakasih karena sms itu menjadi aspirin untuk sakit kepala saya soal dunia sastra. Sepertinya, gairah muda saya ingin terus berpacu melawan kanonisasi sastra mainstream yang hanya didominasi penyair tua yang sudah bau kuburan. Sehingga karya yang saya kirim (boleh jadi) semacam branding image pada para redaktur yang juga tak ingin korannya tak laku. Tapi hal itu wajar, karena umur saya tidak lebih tua dari kancut para penyair yang sudah karatan. Sehingga para redaktur akan berpikir jutaan kali untuk memasukkan karya dari penulis muda seperti saya.
Saya ini tidak pernah menaruh dendam pada big bos. Tapi, saya punya sedikit pertanyaan dengan Bang Afrizal: apa dia berani mengungkapkan hal itu ketika dia masih belajar merangkak seperti saya? Sementara saya masih kerap menemukan tulisannya di koran-koran. Itulah kenapa, saya tidak marah dengan big bos. Sebab, sejak awal big bos berani angkat bendera perang terhadap penganut sastra koran dan lebih memilih untuk membesarkan komunitas-komunitas.
Upaya membangun komunitas adalah sebentuk perang paling kongkrit melawan sindrom eksistensi serta sastrawan tua yang sudah turun mesin. Komunitas akan menjadi kawah candradimuka dalam membentuk iklim kreatif dimana di dalamnya ada pembelajaran, pendampingan, serta diskusi. Dan yang paling penting adalah: komunitas adalah wadah dimana KRITIK bisa mewarnai proses perjalanan sastrawan muda. Tapi, saya pikir big bos ini juga awet muda kok, sehingga layak untuk dihujani kritik agar semakin matang.
Bos, betapa taik kucing ya dunia sastra sekarang: berebut duit receh dan ngantri seperti pengungsi. Dan perlu dicatat, bila saya juga termasuk para pengungsi itu. Saya sadar, di mata bos, saya ini termasuk bandit karena ikut-ikut mengantri duit receh. Tapi, lagi-lagi bos pasti kecewa karena tuhan tidak hanya menciptakan para nabi, bromocorah juga. Pernahkah bos pikir bila tanpa saya, kenabian bos tidak akan mengkilat seperti sekarang? Meski demikian, saya tau bila bos tak butuh dinabikan dalam dunia sastra. Namun, kalau semua kata-kata saya ini salah, mengapa bos kerap mengkhawatirkan hal-hal yang sudah tidak lagi lux: orang mengantri dan menghamba pada koran.
Bos, setiap orang punya caranya sendiri dalam memperjuangkan apa yang dia yakini. Terlepas orang yang terus mengirim tulisan ke media ibarat ‘mencuci baju dengan air kencing’, tapi yang jelas dia telah melakukan sesuatu yang dia anggap baik. Kalau bos sedang mencuci dengan air bersih, maka doakan kami agar segera sadar dan mengikuti jalan lurus dari big bos sang begawan agung.
Ada satu hal yang terus saya percaya, bos: jalan menuju kebaikan itu menanjak, terjal, dan berliku. Mungkin penganut sastra mainstream sedang tersesat mencari jalan pulang yang puisi; sastra yang ‘sastra’. Yang tidak palsu. Oleh karena itu besar harapan saya pada sang begawan untuk sesegera mungkin membuat komunitas-komunitas sastra agar jadi pelita dan penunjuk jalan bagi kami yang tersesat ini. Saya teramat yakin bila hanya bos yang tau formula paling tepat untuk membuat sebuah komunitas sastra yang tidak palsu. Dan sekedar saran, bos. Tolong fokus dengan komunitas yang akan bos bangun. Dunia sastra menunggu pencerahan dari big bos. Semagaaaaaaat ya bosss :p
 Bos, sodaraku yang rendah hati. Diantara kita sebenarnya sama-sama mengerti mengapa kita tidak pernah bertemu. Tapi, sejak dulu bos tidak pernah menjawab pertanyaan saya: apa ‘bertemunya’ kita itu ketika saya sepemahaman dengan bos? Selalu mendukung dan ikut mencaci oknum yang membuat panas kuping bos panas lantaran kritik orang yang tak kapabel? Apa ‘bertemunya’ ketika saya mengalah dan meladeni ego bos yang Subhanallah itu? Apa ‘bertemunya’ kita hanya ketika saya tak bisa beli rokok? Apa ‘bertemunya’ kita hanya ketika menganggap musuh bos sebegai musuh bersama kami pula?  
Bos, saya sedikit ingin membagi rahasia kecil tentang diri saya. Jujur, bos adalah orang pertama yang membuat saya kembali percaya pada sastra. Maka maafkanlah bila terkadang mulut saya terlampau bengis dengan karya dan sikap bos sehari-hari. Ini semua hanya agar bos ingat cara menginjak bumi. Sedih rasanya menyaksikan muka bos jadi kian merangsang saat anak-anak kecil memuji-muji karya bos. Dan perih rasanya melihat muka bos jadi berang mendengar dalam sebuah diskusi, karya bos dihakimi. Terusterang saya kawatir bila bos tidak terima kritik, hanya terima pujian.
Eman bos, kalau harus jatuh karena barang sepele. Meskipun njenengan ini begawan, tapi orang-orang sekarang sangat gampang dibunuh dengan pujian. Kuatir saya ini, bos. Ada janji yang saya pengang teguh untuk terus mendampingimu, bos.
Bos, yang rendah hati. Sekian dulu, catatan dari saya. Esok disambung kembali, ya. Bagai mana kalau agenda ngopinya kita pindah di Mataram saja. Saya ingin belajar rendah hati seperti bos J

Cdv_t

Kamar, 10 Agustus 2013

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.