![]() |
Spirit Mahasiswa |
Kami adalah generasi rumah sakit jiwa.
Mungkin karena itu kita (hampir) tak pernah kepikiran untuk menyerahkan hidup
kami pada rumah-rumah gila. ‘Kemapanan’ pun—output pasar manusia (Trunojoyo)—kami masuki dengan malu-malu.
Selamat ulang tahun Universitas LPM Spirit
Mahasiswa, Fakultas Trunojoyo.
Kampus Spirit
Mahasiswa, ‘Rumah’ kami itu tak sebesar dapur kuno rumah nenekku di Kabupaten
Nganjuk.
Oya, tahun ini
saya tidak wisata lebaran di Nganjuk karena nenekku yang akan kemari. Aneh
rasanya, di sini aku merasa seperti tidak ikut-ikutan pesta orang-orang
lebaran. Rasa-rasanya pulang ke Nganjuk itu seperti naik haji. Mungkin rasanya
tak jauh berbeda dengan beberapa orang-orang di lereng Gunung Bawakaraeng yang
merasa telah naik haji bila telah mendaki
Gunung ini. Dan setiap orang bebas ingin naik haji ke mana. Atau saya
sebut saja perjalanan spiritual karena takut saya digebukin ‘preman berpeci’.
Karena, menurutku, kita bebas akan berjalan ke mana untuk kembali bertemu
puncak paling suwung dalam batin kita, dan itu bisa ke Kremil, Dolly, di dalam
rok gadis korek api, atau ke mana saja tempat engkau bersunyi-sunyi. Maka
seperti ada yang kurang bila dalam satu tahun saya tak ke sana untuk menyepi,
di tempat yang sebenarnya telah jauh ramai lima belas tahun terakhir ini.
Bingung
bagaimana saya harus bersunyi-sunyi, maka saya teringat salah satu rumah sunyi
saya di Madura sana: universitas SM. Saya juga hampir terlupa kalau tidak di
ingatkan oleh si pipit, pacarnya Ghinand Salman (sekarang salah satu staf dosen di
universitas SM), bila di tanggal 8 Agustus adalah ulang tahun kampus. Mungkin
hanya saya saja yang pikun, atau yang lainnya juga. Karena melupakan ultah
kampus adalah hal yang wajar bagi sekumpulan warga RSJ.
Tidak peduli
SBY, Anas Urbaningrum atau bahkan anak dari iblis paling tenar pun akan lupa
diri bila berada di dalam ruang utama kampus kami. Waktu akan berjalan labih
cepat dari biasanya. Bila kau masuk selama lima menit (waktu dunia nyata), kau
akan merasa berada di sana lima tahun. Ini nyata, lho. Sumpah (nipu)!
Dulu, sewaktu
saya menjadi dosen di kampus itu, hobi saya adalah nyempil di pojokan, di samping rak buku. Bila jam-jam kuliah tiba,
mahasiswa saya akan datang membawa kopi dan beberapa rokok eceran sebagai mahar
untuk satu mata kuliah. Maklum, kampus ini tidak kecipratan dana besar seperti
halnya Fakultas Trunojoyo. Selain itu, setahu saya, rata-rata mahasiswa kami
adalah warga yang nama bapaknya terdaftar sebagai penerima raskin, karena tidak
pernah terbukti membayar uang kuliah pada kami para pengelola universitas.
Mereka memboros-boroskan uangnya untuk jadi kambing congek Fakultas Trunojoyo.
Apa itu ndak gila?
Tapi, saya dan
beberapa kawan: bunga boid, bunga JR dan bunga Firman (bukan nama sebenarnya)
adalah guru tamatan sekolah rakyat yang hidupnya senin kamis karena tak
menerima gaji. Bahkan gembel-gembel yang menumpang tinggal di kampus pun tak
pernah membayar se sen pun. Saya pribadi sudah menganggap orang-orang di kampus
ini sudah seperti keluarga. Tidak ada lagi privasi untuk kami kecuali hutang
makan, kopi, rokok, dan ongkos pacaran yang harus ditanggung masing-masing.
Setiap
harinya, kalau kami benar-benar menganggur dan tidak ada kerjaan, kami buat
buletin gratis untuk jadi lap tangan di kantin sehabis makan gorengan ketimbang
sisa minyaknya harus mengotori jeans atau baju. Tak banyak yang tau isi buletin
itu adalah informasi, isu terkini dunia waras Fakultas Trunojoyo. Warga Fakutas
Trunojoyo dan para dosennya tidak seberapa tau soal apa itu media alternatif. Tapi,
yang paling mereka tau SM adalah sebentuk aliran sesat mambu Nasakom; organisasi bandit yang bikin humas Fakultas
Trunojoyo sulit cari mahasiswa.
Mungkin karena
sudah terlanjur terasing dan menerima dengan pasrah bongkokan labeling yang mereka sematkan pada kita. Ya, kita—baik
warga Spirit Mahasiswa atau Fakultas Trunojoyo—adalah produk gagal dan korban
ukuran hidup masyarakat dunia ketiga. Maka, sebagai tindakan eskapis kongkrit,
Fakultas Trunojoyo membuat penelitian-penelitian yang menggarami lautan dan
menumpuknya sebagai sesuatu yang lebih keramat dari tanah kuburan dalam dompet.
Berbeda dengan kami warga universitas SM. Sebagai warga sakit akal, ketimbang
harus hidup setres macam itu, kami menghabiskannya dengan iseng-iseng belajar
jurnalistik sebagai formalitas, main game, nongkrong ber jam-jam di warkop, berkeliling
kota dan bertemu banyak orang, saling tukar koleksi bokep, joget ndangdut di karaokean
rakyat, dll.
Hidup bagi
orang yang sedang tapa nggendeng
memang berliku, rumit dan tidak masuk di logika kemapanan model manapun. Untuk logika
kewarasan modern, orang-orang macam kami yang berjalan ke titik nol, adalah orang-orang yang perlu untuk dijauhi. Mengingat
mereka sangat membahayakan martabat orang waras. Mungkin diam-diam mereka juga mewanti-wanti
anak cucunya agar jangan sampai memilih menantu orang macam kami.
Tapi,
kehidupan irasional di SM juga kerap menemui protes dari warga dalam kampus
universitas SM. Ada sebagian dari mereka yang menganggap kita menghalangi
cita-cita luhur dari orang tuannya untuk bisa kaya dan punya posisi di PNS. Ada
juga diantara mereka yang tidak kuat dianggap gila hingga akhirnya kabur dan
menjalani kehidupan normalnya sebagai mahasiswa F. Trunojoyo. Ada juga yang
takut nama baiknya hancur, ada yang takut sulit lulus, ada juga yang takut
tidak dapat jodoh, ada yang takut sulit dapat beasiswa. Sangat beragam dan njancuki alasan mereka. Tetapi, bagi
warga dalam yang sangat loyal, hal demikian adalah sikap wajar dan bentuk
pertaubatan yang baik. Kita tidak menyalahkan mereka, hanya terkadang sedikit nggerundel sembari mempertanyakan: siapa
sebenarnya diantara kita ini yang benar-benar sakit, kami atau mereka.
Terkadang,
kalau sedang menemui jalan buntu. Kami memiliki cara masing-masing untuk mencari
‘petunjuk’. Kalau saya, lebih sering berjam-jam duduk di depan sawah, atau yang
lebih greget adalah nongkrong lama di WC dan membuat penghuni sekertariat lain
resah menunggu.
Dulu, kalau
aku sedang di kampus lain, aku kerap berpikir: mengapa aku betah berlama-lama
di ruangan yang tak selebar dapur nenekku? Kalau dilihat dari sejarahnya, aku
ini juga bukan siapa-siapa di SM. Dulu, waktu awal-awal terbentuk dan beberapa
waktu mandek, aku yang sedang tidak ada kerjaan diajak untuk jadi litbang. Waktu
itu, entah demit dari mana yang sedang ikut campur dan akhirnya aku meng-iyakan
tawaran mereka. Saat sedang berkumpul, beberapa kawan mempercayakan (baca: gak onok liyane) jabatan pimpinan redaksi
padaku. Dan saya terima dengan senyum nyengir
geli.
Saya juga ndak tau playgroup SM ini akan bertahan
sampai kapan. Yang jelas, saya yang sudah lulus ini semi-semi pasrah:
kadang-kadang liat, kadang-kadang cuek. Kecintaan pada sesuatu memang irrasional
dan mistis. Meski saat-saat akhir sebelum menjelang lulus ada juga sisi
dramatiknya. Rasa-rasanya ingin kupeluk mahasiswaku seraya berkata: sebenernya
saya ini sayang dengan kalian meski kalian ini barbar dan tengik. Terlalu banyak
cerita di sana.
Kalau hari ini
adalah ulangtahun universitas, saya berterimakasih pada Tuhan bila lebaran
tahun ini harus jatuh tanggal 8 Agustus. Sebuah kondisi yang harus membuat
lebaran tahun ini gagal nyelempit ke
Nganjuk, kampung mami saya :D Dan seharian ini pun saya habiskan dengan
nostalgia melihat foto-foto lama sewaktu saya masih jadi warga. Meski sayangnya
tidak ada yang bisa mengalahkan ‘kesunyian’ WC kampus saya.
Apa kabar
guling saya di SM? Guling itu pasti sudah diperkosa oleh banyak warganya yang
kebelet kawin. Juga ternoda dengan iler
serta daki para warganya yang jarang mandi.
Apa kabar
tulisan-tulisan orang kalah di dinding? Apa kabar papan tulis reot? Apa kabar
komputer? Apa kabar rak buku? Apa kabar WC? Apa demit-demit di sana
merindukanku? Apa mahasiswa pisang goreng F. Trunojoyo merindukanku? Apa kabar dosen-dosen
yang juossssSempakTogogKotoskotos,
semoga cepat kaya, ya? Apa kabar
gang dolly gang texas trunojoyo? Apa kabar preman-preman parkir? Apa kabar
preman kampus? Apa kabar sawah?
Selamat ulang
tahun SM.
Cdv_t
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.