Laman

Kamis, 21 November 2013

Berlibur ke Rumah Nenek dan Membantu Nenek ke Sawah

Mungkin dunia pernah dihitamkan dengan kengerian kamp konsentrasi, tapi itu bisa kita rasakan dan sangat materi. Tapi, hitamnya dunia serta puncak kengerian adalah ketika kita terbelenggu oleh penjara ketakutan pada ”ketaatan” yang sebenarnya perlu kita kaji dan pikirkan: untuk apa? Mungkin dalam hal ini aku ingin menyebut satu kata yang sejak dulu hidup dalam pikiranku: kiyai.
Ya, sosok kiai di Madura ini didewakan, tapi, bukan itu yang penting. Karena ketika kesadaran berpikir bila oknum kiai saat ini tidak lebih dari seorang bandit yang nyata dan kita sadari, tapi tak berani untuk beranjak dan melawan adalah sebenar-benarnya sakit yang perlu dibawa ke puskesmas. Tapi, kita tetap harus sadar bila manusia hidup dari sebuah kolektivitas yang membuat kita “serupa” dan “tuli” dan kolektivitas itu membuat mitos-mitos menjadi hidup, dan mungkin mitos yang membisus pikiranku adalah: surga.
    *
Saya jadi ingat satu bait lagu yang selalu kunyanyikan ketika aku masih jadi bandit terminal:
Tunjukkan aku jalan lurus-Mu
/Untuk menggapai Surga-Mu/Terangiku dalam setiap langkah hidupku..."
Lagu itu adalah senjata utama buat mencari uang ketika momen Ramadhan tiba. Untung waktu itu saya adalah berandal, yang memposisikan menyanyi seperti buang air. Menyanyi, ya, menyanyi, lalu lupakan. Meminjam istilah mas penyair, ”Ah, itu cuma lagu, dik.” Saat itu posisi saya adalah seorang artis jalanan yang menyanyi untuk penumpang; ”pasar,” (kalau artis beneran, ya, penggemar dan penyesuaian momentum yang ada demi uang gede).
Tapi, saya bayangkan bila seandainya saya dulu itu bandit religius beneran, saya akan menangis saat menyanyikannya, dan di akhir bait lagu itu akan kupekikkan dalam puisi:
Tuhan, tunjukkan aku jalan kebenaran untuk kenikmatan surga
Beri aku petunjuk untuk surga. Karena hidupku, sholatku, puasaku, ibadahku
adalah murni untuk surga-Mu
Tapi bukan Kau.
Tuhan, maafkan aku. Sekalipun saya ini ciptaanmu yang mbalelo, tapi, boleh kan saya membicarakanmu seperti layaknya ustad di tipi-tipi? Bukankah Kau pemaaf, maka maafkan aku dengan cara tidak mengambil hati kata-kata saya.
Yang jelas, sebandel-bandelnya saya, tapi saya percaya Kau ada. Saya percaya Kau Maha Agung; Kau Maha Suci. Maka maafkanlah aku, terutama pada rasa rikuh dan kikuknya aku menghadapi-Mu. Saya ini kotor, maka takut dan pekewuh mendekat-dekat pada Kau yang suci. Saya takut umat macam saya ini hanya membuat kotor Islam. Meski pun kau tak pernah berurusan dengan Islam kecuali untuk urusan yang admisnistratif.
Saya ini manusia yang takut untuk pamrih, meski sebagai manusia ini adalah wajar. Dan Kau sudah mengerti potongan orang macam aku ini. Kau sudah tau bagaimana dapuranku ini.

Lelaki itu tergopoh-gopoh membawa obor dan marah-marah di pinggir jalan: ”Mana sorga! Mana sorga! Biar kubakar agar tidak jadi inspirasi bagi orang-orang yang pernah memaksaku memakai sarung, membuat perempuan jadi berang dan diam-diam sombong pada pemakai rok mini, membuat orang-orang rela dikencingi anak kiai dengan mitos berkah; mitos sorga, membuat sekumpulan orang menajiskan orang lain hingga dia jadi OB yang patuh mengepel rumahmu, yang membuat orang terinspirasi jadi pandai menangis untuk merayu-rayu-Mu agar ia dimasukkan sendiri ke dalam sorga, yang membuat orang seseorang merasa paling, yang membuat seseorang perlu melirik kiri-kanan untuk ngecek sudah khusyuk atau belum, yang membuat seseorang perlu mengingatkan dan menanyai anak, istri, pacar, keponakan, pegawai, babu, sudah sholat atau belum? Yang membuat seseorang melihat jijik orang yang lalai.”Tapi mendadak ia murung sendirian di pinggir selokan dan memainkan air selokan dengan tangannya sembari mengusap air mata. Tapi, sejurus kemudian, ia bangkit dan menyalami salah seorang yang ada di dalam kerumunan itu dan bertanya, ”Apa kau rindu kamp konsentrasi? Apa kau rindu komunis benar-benar bangkit lagi dan mencuci matamu; ulamamu? Apa kau ingin debu kotor di agama Tuhan dibersihkan?”Setelah ia meniup obornya, ia pergi begitu saja. Dan kerumun pentas gratis pun usai.

(malam-malam ndak ada rokok itu fatal)
cdvt

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Mana sawahnya? Mana neneknya? Mana kondekturnya? mana tuhannya?

Anonim mengatakan...

sabar ya, mungkin penulisnya lupa

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.