Laman

Senin, 18 November 2013

Menertawai Kurikulum Ndeso

”Kesopanan adalah konstruksi.”

Kalimat ini saya dapatkan pagi tadi sewaktu membuka facebook. Sebuah komentar yang menurutku masih segar dan khas remaja sekarang yang pintar tapi dungu. Komentar dan spontanitas yang menunjukkan betapa generasi muda hari ini begitu rajin mencari alternatif wacana di luar kurikulum pendidikan kita yang kata orang begitu ndeso.

Senang rasanya melihat remaja-remaja yang gemar mencari hal baru dalam hidupnya. Karena dunia akan menjadi milik siapa saja yang setiap waktunya adalah untuk mencari apa saja: pengetahuan baru, kebijaksanaan-kebijaksanaan impor, gaya beretorika, cita-cita baru, sampai agama baru.
*

Sejak dulu, saya percaya bila nihilisme itu real– segala   yang ”bangkrut” akan ditinggalkan.
Semua ideologi yang bersifat menenggelamkan, diikuti, diyakini, akan ludes tanpa sisa. Sebagaimana komunis yang dianut oleh tiga per empat dunia selama tiga per empat abad, terlepas dianutnya komunis itu setengah memaksa, yang jelas sekarang ideologi itu ditinggalkan.

Saya juga kembali teringat masa-masa ketika sistem pendidikan di Indonesia begitu garang menekan wacana-wacana baru yang mengajak generasi muda untuk melawan, subversiv dan makar. Saat itu kita bisa melihat bila pemerintah sedang cemas. Dan kecemasan itu diwujudkan dengan arogansi pemerintah yang melakukan pembakaran pada buku-buku Pram dan melarang buku-buku kiri di kalangan pelajar dan mahasiswa.

Sehingga untuk membacanya, mahasiswa jaman dulu harus sembuyi-sembunyi bila tidak ingin dituduh komunis. Bahkan akses sejarah perjalanan bangsa disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan Orba. 
Namun, ketika kran demokrasi dibuka lebar, semua hal baru dipersilahkan hidup. Semua orang punya kebebasan untuk melakukan apapun yang mereka inginkan selama tidak mengganggu orang lain.

Maka, mitos-mitos kengerian sistem pendidikan hanya tinggal cerita menggelikan yang tak lucu. Semua orang meninggalkan sistem pendidikan atas nama gengsi dan kemerdekaan berpikir. Termasuk para generasi muda. Sehingga semua hal yang sifatnya ”lokal” selalu punya celah untuk dimaki dan ditertawakan.

Hari ini wacana yang sedang trend akan selalu mengarah pada nihilisme aktif yang mengasumsikan tidak ada yang ”final” sehingga seakan-akan segala kebijaksanaan masa silam, layak dibakar habis, termasuk agama.
Akibatnya, wacana-wacana keilmuan modern memandang norma dan kebijaksanaan masa silam menjadi sesuatu yang debatable. Seperti halnya ”kesopanan” yang saat ini bukan lagi menjadi sesuatu yang keramat. Alih-alih dianggap sebagai simbol penundukan yang dekaden. 

Wajar kiranya bila remaja hari ini menganggap bila ”kesopanan adalah konstruksi”. Sehingga kesopanan dalam kacamata modernitas, nampak sebagai sesuatu yang politis atau sebentuk penundukan pada masing-masing individu yang berdasar pada hierarki.

Dalam wacana-wacana kesetaraan, kesopanan adalah sesuatu yang bertolak belakang. Wacana kesetaraan memimpikan sebuah dunia baru yang tanpa kelas dan menganggap setiap orang memiliki posisi, kesempatan, kebebasan tanpa ada batas yang memenjarakan.

Senang rasanya melihat remaja-remaja hari ini begitu sibuk dan gegap gempita bangkit dan mengejar ketertinggalan. Seperti yang saya lihat beberapa hari lalu di rumah tetangga. Seorang ibu-ibu setengah baya belajar menggunakan facebook ke anakknya dan si anak memaki-maki orang tuannya, ”Waaa, ibuk ndeso, katrok! Facebook-an aja gak bisa.” Waktu itu si ibu hanya bisa nyengir kuda sambil menggaruk rambutnya yang digelung. Alhamdulillah sekali rasanya. Puas dan bangga setengah mati melihat betapa pesatnya kemajuan remaja-remaja sekarang.

Saya pikir kesopanan akan ludes beberapa puluh tahun lagi. Saya pikir kesopanan benar-benar dianggap sebagai sebuah penjajahan akan tiba beberapa puluh tahun lagi. Tapi ternyata saya salah. Remaja-remaja di Indonesia sudah persiapan dan merapatkan barisan seraya melambai pada mitos-mitos pendidikan masa silam.


14 November 2013


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.