Laman

Minggu, 24 November 2013

Berterimakasih Pada Pendidikan Kita

Suatu hari, seorang kawan yang agak terganggu kejiwaannya pernah berkata pada saya, ”Pendidikan hari ini itu seperti barang antik pecah belah di etalase ruang tamu. Tidak berguna, tapi sayang kalau dibuang dan tidak digeluti,” ujarnya dengan cengengesan.
”Lalu, bagaimana dengan para penjaga dan punggawa-punggawa pendidikan dari kelas UPT sampai mentri. Mereka itu apa?” tanyaku.
”Dungu, kamu! Kalau begitu mereka adalah orang sepertimu yang setiap harinya mengelap dan membersihkan debu-debunya. Agar tidak kelihatan usang dan tetap baru. Meski tidak jelas kapan barang yang dijaganya (sambil mengantuk) itu bisa berguna.”
Menanggapi apa yang dikatakan kawan saya, pertama saya tidak mengambil hati karena ia ”sakit”. Kedua, bila berpatokan pada pendapatterkadang apa yang dikatakan orang gila, itu bisa jadi adalah hal-hal yang ingin Tuhan katakan pada kitamaka, boleh jadi teman saya ada benarnya. Tapi, dimana benarnya?
*
Dalam sekali hidup, saat-saat saya merasa begitu bodoh adalah ketika menginjak bangku kuliah. Mungkin ini pendapat yang sangat subjektif, atau mungkin sekarang saya sudah ketularan sudrun kawan saya.
Diperkuliahan, saya merasa ditelanjangi, direbus, diberi tepung dan digoreng, lalu dijajakan di pasar dengan bandrol murah. Saya merasa diseragamkan dan sulit berpikir sebagaimana manusia merdeka yang punya cakrawala luas. Entah mengapa waktu itu saya merasa menjadi orang yang begitu fakultatif dan sangat bergantung pada candu teori-teori sosial yang mau tidak mau harus dituhankan.
Di dalam kelas, saya merasa tidak ada bedanya dengan kawan-kawan yang lain; tiba-tiba kena sindrom dan dilingkupi iklim yang memaksa saya untuk membeo. Dari A-Z saya hanya mengulang apa yang telah saya baca. Bahkan menulis pun tidak sah rasanya kalau tidak mengutip kata-kata sarjana-sarjana barat yang telah lama busuk di kuburan.
Waktu itu saya merasa pendapat saya jadi semacam daging mentah hampir busuk, yang kalau tidak diberi tepung bumbu dari kata-kata sarjana barat, pendapat saya jadi menjijikkan dan tak enak dimakan.
Pada momen-momen itu, saya merasa tercerabut dari akar kebudayaan. Saya kehilangan jati diri dan menjadi kopian-kopian manusia tanpa karakter. Saya merasa gagal jadi manusiayang memanusiakan manusia dengan jalan melihat sesuatu dari perspektif dan pendekatan yang humaniskarena selama di bangku kuliah saya memandang kemanusiaan tak lebih dari pendekatan, rumus, teori dan angka-angka mati. 
Saya kesal dengan diri saya. Awalnya saya marah dengan dosen sebagai bentuk pemberontakan dan perlawanan pada sistem yang membuat kemanusiaan saya lenyap. Suatu kali dalam sebuah mata kuliah teknik presentasi yang mengharuskan saya setiap harinya memakai baju berjas dan berdasi. Tapi waktu itu saya menolak dan datang ke kelas dengan kemeja biasa. Waktu itu, si dosen pengampu bertanya mengapa saya tak pakai dasi.
”Kamu kenapa tidak memakai dasi? Kamu tau dasi itu untuk apa dan bagaimana sejarahnya,” kata pak dosen.
”Ya, pak. Saya tau. Dasi adalah alat pencekik leher,” tukasku.
Rasa kesal yang ada di ubun-ubun tiba-tiba meluap begitu saja karena merasa dibedakan hanya karena dasi. Saya merasa betapa dungunya modernitas memaknai selembar kain di leher dan menghubung-hubungkannya dengan wibawa dan status sosial. Bukankah bajingan paling tengik (koruptor) ini hampir semua berdasi. Dalam hati saya menjerit, ”Saya ini mau dididik jadi orang macam apa?”
Bagiku, dunia perkuliahan tak lebih dari papan reklame yang tinggi, megah, dan waw. Reklame yang bertuliskan, ”Bergabunglah dengan kami, hidupmu akan dipenuhi mimpi-mimpi: kunci mobil, kursi menejer, dasi, rumah mewah, credit card, panti pijat, stroke, dan kuburan rindang.”
Tapi, waktu itu yang membuat saya kalah duel dengan kampus adalah muka kusut orang tua. Ketakutan-ketakutan pada ketidakberdayaan hidup tanpa perkuliahan dan tak ingin jadi perjaka tua, membuat saya banyak kehabisan darah dan lemas hingga akhirnya kalah bertanding dengan universitas. Akhirnya saya lulus, didandani baju karung, topi aneh, sebagai bukti sah kekalahan dan semacam cap di bokong dengan dua label: telah diseragamkan dan for rent.
Setelah babak belur, lingkungan dan keadaan  memaksa saya menjajakan diri ke lubang-lubang dimana saya akan diperkosa, dan dieksploitasi habis-habisan agar saya sah ”menjadi orang” dan diterima keluarga dan masyarakat. Saya ingin protes sebenarnya, meski akhirnya batal ketika melihat senyum orang tua.
Setelah kalah dua kali dalam pertarungan, saya merasa seperti dilahirkan kembali sebagai manusia berbeda. Manusia baru yang (mau tidak mau) mengabdi menjadi skrup kecil dalam mesin industri. Mengabdi dalam naungan skrup kecil industri yang mengabdi pada sistem dan mesin raksasa di sekala dunia yang diberkati paman dajjal.
*
Kembali soal kawan saya yang sudrun. Mungkin dia ada benarnya, tapi mungkin juga salah. Dalam keadaan yang sekarang, aku katakan pada diriku dengan sangat khusyuk bila pendidikan itu tidak boleh mati. Ia tetap harus mewarnai kehidupan, karena tanpa restu dan cium tangan kotor pendidikan hari ini, kita hanya debu yang mudah saja dihempaskan angin. Tanpa pendidikan, saya tidak mungkin menjadi baut atau mur dalam mesin raksasa kehidupan.
Kalau saya turutkan nafsu duel maut saya dengan pendidikan, mungkin saya hanya akan menemui kedua orang saya mengelus dada sampai stroke. Saya juga berterimakasih pada pendidikan karena berkat pendidikan hari ini, saya bisa nyelempit, bersembunyi untuk mencuri waktu menangisi hidup di warung kopi. Sambil sesekali mengumpat tentunya.
Pendidikan juga membuat saya semakin arif dalam memahami hidup dan persaingan di dalamnya, serta upaya menjilat sebagai bumbu penyedap persaingan yang sebelumnya tidak bisa saya tolelir. Tapi, entahlah! Mungkin yang saya alami sekarang adalah sejenis racun mati rasa, kebijaksanaan, ganjaran, atau kedunguan, yang mungkin tidak bisa disembuhkan dengan sholat biasa. Atau mungkin dari sini istilah Sholat Terus Maksiat Jalan (STMJ) ini lahir.
Lalu, saya juga memaklumi bila keseriusan saya dalam menghisap nikotin pendidikan, membuat saya sedikit beruntung ketimbang sarjana-sarjana yang mengintip di kaca jendela perkantoran untuk memastikan barangkali ada kursi yang masih kosong. Dan syukur alhamdulillah saya pernah merasakan kepahitan seperti yang dialami para toga-toga yang sial. Sehingga kelak saya bisa semakin mantap dalam menjerumuskan anak-anak saya ke bak sampah penuh lalat serta mengajarinya menghisap dalam-dalam racun lem kertas dari kurikulum pendidikan kita yang subhanallah sekali. Selain itu saya bisa dengan bengis memaksa anak saya ikut organisasi-organisasi yang menjanjikan link agar bisa semakin mantap ber-KKN ria. Maka, untuk masa depan saya dan keluarga kelak, angkat topi pada pendidikan hari ini. Sembah sungkemku padanya. Peluk ciumku pada M Nuh.


Kamal, 24 November 2013
Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.