Laman

Kamis, 26 Desember 2013

Demokrasi dan Ketidak-pedulian

”Aku benci ketidak-pedulian… Ketidak-pedulian dan apati sama dengan benalu, sikap pengecut.” — Antonio Gramsci.
Membaca penuturan Gramsci membuatku merinding. Menyadari betapa kerasnya manusia ketika geram, dendam, dan benci.
Mungkin Gramsci kesal karena terpenjara dalam sel Regina Coeli, Roma, saat rezim Musolini berkuasa. Sesuatu yang mungkin ia anggap sebagai pengekangan akal-pikiranyang (mungkin) dari sana ia berpikir: saya ingin melakukan sesuatu dengan partai komunis saya, tapi terpenjara; sementara kau sebaliknya.
Saya tak ingin mengelak dari tuduhan Gramsci yang mungkin juga dialamatkan pada saya. Tapi, sebagai seorang Marxis yang mengkritik kelas-kelas sosial sebagai iblis, ia melupakan bila kelas sosial juga lahir dari kesadaran kelas akibat kesanggupan dari warisan sejarah setiap orang yang kerap berbeda.
Gramsci sanggup mengelola hidupnya dengan rasional hingga pernah menjabat sebagai ketua Partai Komunis Italia dan punya kesempatan melakukan pertentangan dengan Musolini.
Lalu bagaimana dengan orang yang disebutnya apati? Orang yang dia sebut pengecut karena tidak melakukan sesuatu. Tunggu! ”Sesuatu” itu apa? Apakah ”sesuatu” itu selalu hal besar yang berkaitan dengan sejarah? Ah, Gramsci memang pengikut Marxis yang baik. Ia berpikir ”masa depan” atau kecemerlangan sejarah dibawah panji-panji komunis adalah tujuan sejarah dan sesuatu yang mutlak bagi setiap orang.
Saya lebih sepakat dengan Camus untuk beberapa hal. Mungkin, menurutku, Camus lebih arif dalam memandang kesanggupan seseorang, sehingga bersikap lebih rileks dengan masa depan. Ia tak mendewakan sejarah sebagai sesuatu yang primer. Karena sejarah baginya adalah sesuatu yang alamiah atau lebih kausalitas sifatnya.
Meski cara pandang Camus pada sejarah lebih sublim ketimbang Gramsci, tapi, paling tidak Camus tidak menyakiti siapapun dan tak mencatat sejarah kelam peradaban dengan banyak pembantaian sebagaimana yang Gramsci yakini.
Meski banyak orang mengakui bila dalih ”kesanggupan hidup” pada seseorang adalah sesuatu yang kontrev dan dekaden, tapi, bagiku, kesanggupan hidup itu real dan menjadi sel alamiah bagi sebagian orang.
Gramsci mungkin lupa bila setiap orang punya belenggu penjaranya sendiri. Keterbatasan adalah mimpi buruk sebagian orang, karena pada dasarnya setiap orang punya kehendak untuk berkuasa dan keinginan melakukan sesuatu. Ia lupa bila sebagian orang terkadang meski menelan ludah ketika hasrat dan kebutuhan eksistensinya dalam hidup dan kebutuhan mencatatkan diri pada sejarah harus dibungkam keadaan. Lalu, apa orang yang hidup dalam belenggu ketidak-pedulian adalah benalu yang barbar?
***
Tiba-tiba aku teringat kutipan menarik dalam tumblr seseorang kenalan yang mengatakan: meskipun demokrasi itu bukan obat mujarab, tapi tidak memiliki pilihan hanya seperti membiarkan luka membusuk.
Mungkin kawan saya sedang demam hingga memilih kutipan itu. Ia menyalahkan penghardik demokrasisebagaimana Gramsci yang menyebut sebagai ketidak-peduliansebagai orang yang membiarkan luka membusuk.
Apa Indonesia sedang sakit, dan kita sadar penyakit itu berasal dari demokrasi yang memiliki watak mempersilahkan? Apa yang ia kehendaki adalah tawaran-tawaran logis dan alternatif lain dari sistem demokrasi?
Tapi kembali lagi belenggu penjara kolektif masyarakat adalah kesanggupan, dimana seandainya demokrasi adalah sesuatu yang kita tuding sebagai penyakit menular yang mesti dirubah dengan berbagai cara adalah sebuah jalan panjang beliku. Karena demokrasi adalah sebuah kepentingan kolektif yang menjadi pintu gerbang kepentingan modal multi nasional dapat mendarat mulus di kampung yang bernama Indonesia.
Ketidak-pedulian adalah jalan panjang dari berbagai luka dan trauma sejarah. Sejak kepedulian masyarakat harus terpenjara dan terkotak-kotakkan pada angka dan status sosial, sejak itu kepedulian jadi momok di Indonesia.
Lalu, pasca kita ”merdeka” tahun 1945, kita mendapatkan obat mujarab untuk melupakan pahitnya luka sejarah akibat kepedulian yang bertepuk sebelah tangan. Ya, demokrasi hadir sebagai juru selamat yang kemudian memfasilitasi eskapisme kita dengan datangnya kontainer-kontainer  eropa yang lux.
Kita mengobati luka dengan banyak ”mainan” baru karena demokrasi merupakan arus pasang yang membawa banyak sampah: teknologi, pemikiran, kebijaksanaan, dan gelandangan-gelandangan asing yang mencari peruntungan di Indonesia.
Apa ketika tidak punya alternatif lain dari demokrasi merupakan dosa besar yang patut dihukum?
Sampang, 26 Desember 2013
cdv_t

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.