”Aku benci ketidak-pedulian… Ketidak-pedulian dan apati sama dengan benalu, sikap pengecut.” — Antonio Gramsci.
Membaca penuturan
Gramsci membuatku merinding. Menyadari betapa kerasnya manusia ketika geram,
dendam, dan benci.
Mungkin Gramsci kesal karena
terpenjara dalam sel Regina Coeli, Roma, saat rezim Musolini berkuasa. Sesuatu
yang mungkin ia anggap sebagai pengekangan akal-pikiran—yang (mungkin) dari sana ia
berpikir: saya ingin melakukan sesuatu dengan partai komunis saya, tapi
terpenjara; sementara kau sebaliknya.
Saya tak ingin mengelak
dari tuduhan Gramsci yang mungkin juga dialamatkan pada saya. Tapi, sebagai
seorang Marxis yang mengkritik kelas-kelas sosial sebagai iblis, ia melupakan
bila kelas sosial juga lahir dari kesadaran kelas akibat kesanggupan dari
warisan sejarah setiap orang yang kerap berbeda.
Gramsci sanggup
mengelola hidupnya dengan rasional hingga pernah menjabat sebagai ketua Partai
Komunis Italia dan punya kesempatan melakukan pertentangan dengan Musolini.
Lalu bagaimana dengan
orang yang disebutnya apati? Orang yang dia sebut pengecut karena tidak
melakukan sesuatu. Tunggu! ”Sesuatu” itu apa? Apakah ”sesuatu” itu selalu hal
besar yang berkaitan dengan sejarah? Ah, Gramsci memang pengikut Marxis yang
baik. Ia berpikir ”masa depan” atau kecemerlangan sejarah dibawah panji-panji
komunis adalah tujuan sejarah dan sesuatu yang mutlak bagi setiap orang.
Saya lebih sepakat
dengan Camus untuk beberapa hal. Mungkin, menurutku, Camus lebih arif dalam
memandang kesanggupan seseorang, sehingga bersikap lebih rileks dengan masa
depan. Ia tak mendewakan sejarah sebagai sesuatu yang primer. Karena sejarah
baginya adalah sesuatu yang alamiah atau lebih kausalitas sifatnya.
Meski cara pandang Camus
pada sejarah lebih sublim ketimbang Gramsci, tapi, paling tidak Camus tidak
menyakiti siapapun dan tak mencatat sejarah kelam peradaban dengan banyak
pembantaian sebagaimana yang Gramsci yakini.
Meski banyak orang
mengakui bila dalih ”kesanggupan hidup” pada seseorang adalah sesuatu yang
kontrev dan dekaden, tapi, bagiku, kesanggupan hidup itu real dan menjadi sel alamiah bagi sebagian orang.
Gramsci mungkin lupa
bila setiap orang punya belenggu penjaranya sendiri. Keterbatasan adalah mimpi
buruk sebagian orang, karena pada dasarnya setiap orang punya kehendak untuk
berkuasa dan keinginan melakukan sesuatu. Ia lupa bila sebagian orang terkadang
meski menelan ludah ketika hasrat dan kebutuhan eksistensinya dalam hidup dan kebutuhan
mencatatkan diri pada sejarah harus dibungkam keadaan. Lalu, apa orang yang
hidup dalam belenggu ketidak-pedulian adalah benalu yang barbar?
***
Tiba-tiba aku teringat
kutipan menarik dalam tumblr
seseorang kenalan yang mengatakan: meskipun demokrasi itu bukan obat
mujarab, tapi tidak memiliki pilihan hanya seperti membiarkan luka membusuk.
Mungkin kawan saya sedang demam hingga memilih kutipan itu. Ia
menyalahkan penghardik demokrasi—sebagaimana Gramsci yang menyebut sebagai ketidak-pedulian—sebagai orang yang membiarkan luka
membusuk.
Apa Indonesia sedang sakit, dan kita sadar penyakit itu
berasal dari demokrasi yang memiliki watak mempersilahkan? Apa yang ia kehendaki
adalah tawaran-tawaran logis dan alternatif lain dari sistem demokrasi?
Tapi kembali lagi belenggu penjara kolektif masyarakat adalah
kesanggupan, dimana seandainya demokrasi adalah sesuatu yang kita tuding
sebagai penyakit menular yang mesti dirubah dengan berbagai cara adalah sebuah
jalan panjang beliku. Karena demokrasi adalah sebuah kepentingan kolektif yang
menjadi pintu gerbang kepentingan modal multi nasional dapat mendarat mulus di
kampung yang bernama Indonesia.
Ketidak-pedulian adalah jalan panjang dari berbagai luka dan trauma
sejarah. Sejak kepedulian masyarakat harus terpenjara dan terkotak-kotakkan
pada angka dan status sosial, sejak itu kepedulian jadi momok di Indonesia.
Lalu, pasca kita ”merdeka” tahun 1945, kita mendapatkan obat mujarab
untuk melupakan pahitnya luka sejarah akibat kepedulian yang bertepuk sebelah
tangan. Ya, demokrasi hadir sebagai juru selamat yang kemudian memfasilitasi
eskapisme kita dengan datangnya kontainer-kontainer eropa yang lux.
Kita mengobati luka dengan banyak ”mainan” baru karena demokrasi
merupakan arus pasang yang membawa banyak sampah: teknologi, pemikiran,
kebijaksanaan, dan gelandangan-gelandangan asing yang mencari peruntungan di Indonesia.
Apa ketika tidak punya alternatif lain dari demokrasi merupakan dosa
besar yang patut dihukum?
Sampang, 26 Desember 2013
cdv_t
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.