Laman

Senin, 16 Desember 2013

Nihilisme dan ”Tuhan Baru”

”Sebaiknya kita memang harus percaya. Segala hal yang hari ini ’dituhankan’ akan bangkrut dengan sendirinya; habis tanpa sisa. Termasuk dalam urusan ketimpangan hidup, penindasan di dunia kerja, dan segala bentuk nilai yang membelenggu pada akhirnya akan habis. Kita hanya musti percaya bila nihilisme itu real. Sekali lagi hanya soal waktu,” kataku pada mahasiswa-mahasiswi ababil, di suatu sore, pada jaman masih doyan omong.

Waktu itu mahasiswa yang aku kuliahi hanya manggut-manggut (sepertinya mereka percaya), atau mungkin diam-diam mengomel dalam dirinya: orang ini sudah gila, jadi sebaiknya saya manggut-manggut biar dia senang ketimbang dia ngamuk, mengomel dan segera usai ceramahnya.

Tidak terbesit untuk berpikir: adakah diantara orang yang aku ceramahi ini termasuk orang-orang yang bosan menunggu nasib baik berpihak. Bosan miskin, atau orang-orang yang sedang terpinggirkan, atau orang yang sudah terlanjur frustasi.

Kepada mahasiswa-mahasiswa yang pernah mendengar bualan saya soal hidup, maafkan saya.

Mungkin waktu itu saya sedang mengigau, kalap, yang tanpa sengaja membuat kalian masih harus dijejali mimpi-mimpi manis soal hidup akan berubah di tengah jaman yang wow ini dan lupa menunjukkan cara agar hidup segera berubah. Dan kalau di akhirat mahasiswa  yang aku ceramahi menagih bagaimana caranya, terus terang saya belum menemukan jawaban pastinya kecuali sekedar (mungkin).

Apa yang kusampaikan hanya konsepsi klise yang barbar? Tanpa sengaja, secara tersirat waktu itu aku hanya menyuruh mereka menunggu nasib baik yang mungkin berarti: hidup seperti yang kita harapkan. Padahal ditengah masa sulit ini, seseorang harus berinisiatif untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik apapun caranya.

Kalau hari ini kita menemukan diri kita adalah seorang mahasiswa, maka hal yang perlu kita tempuh adalah belajar, berdoa, rajin memberi bingkisan pada dosen, sering-sering bertanya dan berdiskusi  dengan teman atau ke dosen  agar dikira pintar. Atau kalau perlu, melacurkan diri untuk mendongkrak nilai.

Kalau menemukan diri kita sebagai buruh di sebuah perusahaan, maka untuk merubah hidup, kita perlu menjilat pada pemilik perusahaan agar terus diingat dan menyenangkan mereka. Cara-cara menjijikkan inilah yang sekarang jadi lumrah dan pantas. Kalau perlu merubah settingan mulut kita agar sebisa mungkin mengeluarkan kata-kata menyenangkan saja ke telinga bos, pujian ke bos,  dan pantang bilang tidak. Terlepas apakah perilaku menjilat yang kita lakukan semakin melanggengkan penghisapan yang tidak manusiawi pada pekerja dan menghalangi pemodal untuk bisa mengevaluasi dirinya. Percayalah! Ini sah. Dan tinggal inilah kesanggupan yang kita punya.

Semua itu kita lakukan demi ”menjemput nasib baik,” bukan ”menunggu nasib baik”.

Nihilisme Aktif

Memperbincangkan relevansi nihilisme Nietzsche sebagai sesuatu yang mutlak (bakal terjadi), membuat energi kita habis, senewen, dan pusing sendiri. Kalau kita hari ini menganggap dunia telah dipenuhi berbagai macam penyelewengan—karena percaya pada nihilisme yang digaungkan Nietzsche—sehingga kita ujug-ujug berpikir penyelewengan yang pada puncaknya bakal bangkrut dengan sendirinya adalah pandangan yang salah, tapi tidak sepenuhnya salah.

Bangkrutnya segala nilai dan apa yang dianggap mapan hanya berada di luar kesadaran manusia. Artinya, runtuhnya nilai di luar kesadaran dan kuasa manusia. Sehingga manusia disadari atau tidak hanya menjadi objek dan sistem serta pola perputaran jaman, sekalipun dalam praktiknya, manusia berperan sebagai subjek atau pelaku.

Pada praktiknya, perubahan sosial hanya mungkin terjadi pada wilayah kolektiva, bukan individu. Meski, tidak bisa disangkal bila peran individu sangat mungkin merubah kolektiva meskipun perubahan karena individu ini sangat kasuistik.

Kita tentu ingat, dunia pernah ”aman” untuk sejenak, pasca lepas dari abad pertengahan. Namun, pada masa modern ini ide-ide mengenai ”polisi dunia” bergema sejak runtuhnya dua menara kembar pada sebelas September, yang (mungkin) didalangi Osama. Karena waktu itu muncur berbagai spekulasi bila gedung yang hancur itu bukan karena terjangan pesawat, melainkan karena sengaja diledakkan. Tapi, bukan itu yang penting, tapi setelahnya. Opresi dan invasi ke negara lain menjadi sah dan mendapat legalitasnya dengan ide mengenai polisi dunia.
Apa anda muak dengan itu semua? Tapi, anda muak atau tidak pada berbagai macam kekejaman yang terjadi, itu bukan masalah utama. Yang jelas, dunia tetap bekerja dengan caranya.

Seperti halnya rasa muak kita pada iklim di sekitar kita; di sekolah, di mesjid, di sekitar rumah, di tempat kerja, atau dimanapun kita berada, hal-hal tidak menyenangkan tetap terjadi. Suka atau tidak, kita tetap dipaksa harus menelan pil pahit kenyataan bahwasannya dunia berjalan dengan caranya. Tapi, yang lebih penting adalah kita suka atau tidak, setiap orang akan bertahan dengan caranya masing-masing. Termasuk menjilat dan menjual diri pada apa saja yang bisa membuat mereka tetap hidup dan bertahan.

Nihilisme akan terjadi dan sulit kita bendung. Sesulit kita yang menasihati anak perempuan kita memakai kebaya, sewek, rok dan sejenisnya untuk menjaga keluhuran nilai budaya. Biar pun banyak orang tua mengelus dada, kita akan menyaksikan anak perempuan kita tumbuh dengan dengan celana lelaki; dengan rok mini; dengan apa yang menjadi ”Tuhan baru” di masa kini.
Mungkin di masa-masa aku senang mendongengi mahasiswa-mahasiswa labil untuk menyambut nihilisme dan percaya bila dunia akan berubah menjadi lebih baik, pada saat itu pula aku melupakan sesuatu. Ternyata, dunia sudah mulai menampik kebijaksanaan-kebijaksanaan lama dalam teks. Dunia akan menampik nasihat-nasihat kering tokoh-tokoh agama dan menjadikannya sebagai dagelan tak lucu di jaman modern.

Tiba-tiba aku rindu sekumpulan mahasiswa yang dulu pernah aku kuliahi soal hidup. Bagaimana kabar mereka sekarang?

Surabaya, 15 Desember 2013
cdvt


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.