Laman

Minggu, 22 Desember 2013

Sufi Gang Dolly dan Satpam

Keimanan yang telah mencapai puncaknya perlu kehadiran setan; gatholoco; bandit; jin; atau segala hal yang menjadi antitesis keimanan. Sebab, keimanan yang tumbuh tanpa penguji adalah hambar; bisa jadi barbar. Mungkin karena itu seorang sufi perlu tinggal di Dolly. Mungkin yang bukan sufi salon harus bermukim di Kremil dan punya kegemaran ngopi di warung remang-remang dan warung pangku.

Konon, sepengetahuan saya, sufi itu tidak bikin lembaga atau organisasi  agama yang melakukan penarikan dana pada anggota agar bisa hidup dan eksis. Kabarnya juga, organisasi adalah strategi setan  pasca kelahiran Yesus untuk menyesatkan dan membuat kastanisasi keimanan sebagai akibat dari hierarki yang jadi konsekwensi logis sebuah organisasi.

Konon sufi itu tidak berada di satu tempat untuk pamer kebijaksanaan serta diam-diam menikmati dirinya dikeramatkan di pondok-pondok. Atau yang lebih ekstrim, sufi tidak takut beceknya pasar, tidak perlu diantar keliling naik mobil dan tidak menunggu amplop setelah berceramah.

Tapi, saya tidak setuju kalau sufi itu harus nyelempit atau sembunyi di gunung-gunung dengan alasan klise: menghindari hal-hal yang sifatnya keduniawian.

Karena, kalau mereka menolak keduniawian, mengapa mereka tidak protes saja pada Tuhan? Kalau perlu mereka harus mengagendakan berdemo pada Tuhan dan melakukan penolakan pada dunia serta menuntut dikembalikan dalam kandungan. Kalau perlu, mereka menyarankan Tuhan untuk merevisi takdir dan memilih tidak usah dilahirkan.

Mungkin di dalam hati para sufi itu bertanya: apa menariknya hidup di dunia yang bergelimang dosa? Bukankah kekasih sejati itu hanya Tuhan?! Lain tidak. Tapi, kalau hal ini benar, maka aku ingin balik bertanya: mengapa Tuhan perlu menciptakan setan kalau Dia mentakdirkan semua orang bisa hidup lurus? 
Kalau Tuhan itu mencintai kebaikan, mengapa Dia tak melenyapkan saja para bromocorah di terminal dan senayan.

Saya tidak mengatakan kesalahan dan segala hal yang menjadi antitesis keimanan itu sah dan wajar. Tapi, kalau pada akhirnya keimanan tidak dapat mentolelir, memahami, segala sesuatu di luar ’kebaikan’, bisakah kita simpulkan bila keimanan itu sedang lupa diri.

Bukankah ’kehidupan’ tidak dibentuk dari sesuatu yang baik dan positif saja, tetapi juga dengan yang buruk dan negatif. Selain itu, bukankah keimanan adalah sesuatu yang relatif, dimana kita tak tau bagaimana mesti menentukan garis batas dan indikator serta kadar tinggi-rendah iman.

Tiba-tiba saya jadi ingat dengan Narcisius yang tidak sekonyong-konyong menemukan ketampanannya ketika bercermin di sebuah sungai yang mengalir karena air bergolak. Waktu ia bercermin ikan-ikan ikan sedang berkecipak membuat riak-riak air sehingga ia tak kunjung melihat ketampanannya.

Terus terang saya takut membayangkan upaya pencarian keimanan seseorang itu sebagaimana apa yang dilakukan Narcisius ketika bercermin dalam air. Saya takut kesalehan dan keimanan dalam konteks tertentu bisa jadi sebentuk narsisme yang intoleran. Seperti ketika bersorak gembira melihat bom meledak dan menghanguskan beberapa orang asing yang kita beri label kafir.

Kata seorang yang sering mentraktir saya minum kopi pernah berkata, ”Dua tahun saya berpura-pura gila hanya untuk memastikan bila kemanusiaan hari ini benar-benar terletak di baju. Jadi ketika saya tidak berpakaian selembar pun. Lalu keluar ke halaman, saat itu orang lain menertawakan saya; saat itu Tuhan bersama saya,” ujarnya.

Mungkin teman saya terlalu hiperbol. Tapi, mungkin ia bisa jadi benar karena saat seseorang merendahkan kita, saat itu kita bisa jadi lebih tinggi satu tingkat dari yang sedang meremehkan kita. Dan hal lain yang bisa kupetik dari apa yang dikatakan kawan saya: narsisme keimanan adalah penyakit umat beragama negeri ini.

Saya ingat betul tentang kisah tragis seorang kawan satu tim KKN yang kebetulan beragama Nasrani. Ia tidak dianggap di dalam sebuah masyarakat tempat kita ber KKN. Saya juga ingat betul ketika seorang pemuka agama di tempat KKN menyindir dan mengaitkan agama dan keimanan saya hanya karena sarung. Bah! Apa-apaan pula itu.

Akhirnya karena kesal, saya katakan padanya, ”Setahuku Muhammad tidak pernah memakai sarung.” Ujarku. Saat itu ia emosi dan berbalik menyerang, ”Ulama dan budaya dalam Islam di sini menyarankan  kita memakai sarung.”

Karena tak mau kalah, saya katakan padanya, ”Kalau begitu, saya ikut nabi saja.”

Ya, cara manusia-manusia modern memang unik untuk merasa baik. Cukup lihat seorang penjudi dan pemabuk, penjudi dan penggemar moh limo, insyaAllah kita sudah jadi lebih baik dan berasa masuk sorga sendiri. Tapi, kebaikan dan keimanan semacam itu kah yang selalu terlahir dari manusia modern? Sebuah iman yang menjadikan kita memiliki kecenderungan untuk menjadi pengganti Tuhan; hakim moral yang menjaga keimanan dan mengurusi orang akhlak orang lain; menjadi maha satpam bagi hidup orang lain.

Bukankah keimanan terlepas dari ruang waktu dan sangat vertikal. Sedangkan dunia tak pernah jengah menyaksikan banjir darah akibat keimanan yang dikait-kaitkan dengan hierarki organisasi, politik dan matematika kepentingan individu untuk kebutuhan pengakuan iman yang irrasional.

Lalu, apa ketika para sufi itu menyepi, mereka sedang menghindarkan keimanan mereka dari rupa-rupa pelembagaan dan politik agama di dunia? Atau mereka sedang bersunyi-sunyi untuk senantiasa memelihara keimanan dan melupakan kemanusiaannya?

Siapa saja mungkin sanggup memelihara keimanan di mesjid, pondok pesantren—tempat dimana sewajarnya iman bisa hidup. Tapi, siapa yang masih sanggup memelihara keimanan di Dolly, Moroseneng, Sarkem—tempat yang rajin kita maki-maki sebagai lingkungan maksiat tak kenal Tuhan.

Kalau yang dikatakan teman saya benar. Maka bisa jadi pelacur dolly lebih baik ketimbang orang yang rajin memaki dan melihat keimanan di kulit luar.

Malang, 21 Desember 2013

2 komentar:

M. Rozikul Wijaya mengatakan...

semoga bermanfaat

muhammadkristanto mengatakan...

mantab bro itu benar banyak manusia mengatas namakan agama hanya untuk kepuasan nafsunya saja kepuasan akal dan pikirannya untuk melaksanakan propaganda tai kucing berlebel agama...accchh ironis sekali negeri ini

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.