Laman

Jumat, 17 Oktober 2014

Inverioritas Penggiat Seni Lukis dan Ritual Potong Kuping

Gambare Pakde Dalbo

“Apa jadinya kehidupan ini bila tidak ada yang berani mencoba melakukan sesuatu yang baru?”—Vincent Van Gogh.

Sekitar tahun 2009, waktu tersesat di Bali, tanpa sengaja saya tertarik dengan sebuah banner pameran lukisan “Nuansa Alam”. Karya-karya yang dipameran di sana adalah hasil karya mahasiswa semester II ISI Bali. Meski acara ini sederhana, tapi lukisan yang dipamerkan  cukup membuatku berdecak.
Usai melihat pemeran, pikiran saya terus melayang pada di seputar lukisan: cat, kuas dan kanfas. Saya berpikir, apa pameran serupa bisa diadakan di kampus saya? Tentu saya tak akan melewatkan acara itu, meski saya hanya seorang penikmat karya seni rupa, tidak lebih.
Entah kenapa bau cat kering di kanfas selalu membuat saya menerka-nerka cerita apa yang coba disajikan si pelukis dalam karyanya. Selain itu, pada setiap lukisan yang dipamerkan secara serius selalu menerbitkan rasa merinding yang asik dan magis. Dan kalau dalam hal ini saya termakan mitos dan label yang dibangun di setiap pameran lukisan, itu lain soal. Karena, pameran adalah pameran, dan tiap pameran selalu saja bicara karya.
Tahun demi tahun penantian saya akan terselenggaranya pameran lukis di kampus UTM masih belum terealisasi. Selalu ada rasa kesal ketika beragam pertanyaan muncul di kepala: apa benar dari ribuan mahasiswa UTM tidak ada satu pun pelukis serius yang hendak memamerkan karyanya? Lalu, apa saja kerja organisasi kesenian selama ini?
Sejak awal kuliah di UTM, saya punya sejenis apologi pamungkas untuk meredam sakit hati atas segala keajaiban-keajaiban menjengkelkan yang terjadi di kampus saya.
“Sudahlah. Ini memang ‘kampus pelampiasan’, jadi wajar kalau pameran lukisan yang saya inginkan harus menunggu lebaran monyet.”
Namun, ternyata apologi saya tidak cukup ampuh untuk meredam angan-angan saya hingga pertanyaan terus bergulir. Apa benar di “kampus pelampiasan” ini karya seni rupa, terutama lukisan adalah barang mahal dan langka? Apa benar mahasiswa kampus pelampiasan ini hanya berisi sekumpulan mahasiswa yang rasa inveriornya melebihi dosis? Apa mungkin jalan keluar untuk mencurahkan gairah muda, mahasiswa di kampus saya merayakannya dengan cara nyelempit di kamar kos dan sibuk ber-onani-ria, tapa bisu, atau bermain dokter-dokteran dengan pacar?
Mungkin saya terlalu hiperbol ketika menilai dunia kesenian beserta produknya selama ini. Tapi nyatanya selama beberapa waktu terakhir belum ada satu gebrakan yang berarti dalam sejarah kesenian.
Di tengah kejengkelan saya soal dekadensi kesenian di kampus ini, tiba-tiba saya dikejutkan oleh seorang kawan yang ingin membuat pameran “sketsa 1000 wajah UTM” di Coffee With Art (Alm). Meski acara semacam ini sudah sering di lakukan di tempat lain,  acara yang dimotori oleh Nazarudin (UKMF Daun), mahasiswa Fakultas Pertanian UTM ini cukup menarik perhatian massa.
Meski acara ini tidak benar-benar menghadirkan 1000 sketsa wajah, tapi terus terang saya cukup bangga karena denyut nadi kesenian, khususnya seni rupa di UTM bisa berdetak. Yang membahagiakan, ternyata tak hanya berhenti sampai di situ. Gairah kesenian di UTM kembali berdetak ketika Ardiansyah dengan beberapa rekannya membuka industri seni lukis sepatu. Meski gebrakan ini sifatnya market oriented, tapi untuk ukuran UTM, gebrakan ini cukup saya perhitungkan. Karena dengan modal pinjaman sebesar satu juta rupiah, ia menyulap sepatu biasa menjadi sebuah barang bernilai seni tinggi dan bahkan diminati hingga luar negeri.
Meski apa yang dilakukan Nazar (panggilan akrab Nazarudin) dan Ardiansyah tidak seheroik dan sedramatis sebagaimana Vicent Van Gogh yang berani keluar dari kebiasaan pelukis di jamannya. Tapi, keberanian untuk memulai adalah sesuatu yang patut diacungi jempol.
Suatu ketika seorang kawan pernah menegur saya. Dia mengatakan saya terlalu berlebihan dalam membandingkan bibit-bibit perupa di kampus dengan Van Gogh. Menurut dia, Van Gogh memiliki jaman dan iklim kreatifnya sendiri. Begitu juga dengan seniman di UTM.
Mungkin apa yang dikemukakan kawan saya ada benarnya. Meski, waktu itu saya pun berhak menolak pandangan kawan saya yang terkesan menyudutkan dan meremehkan seniman UTM. Karena saya pikir meledaknya sebuah karya (hampir selalu) terjadi karena dua hal: kualitas karya yang orisinil dan kontroversi.
Saya tak bermaksud menyarankan seniman UTM untuk bikin parade memotong sebelah kuping, sebagaimana Van Gogh, untuk mencari sensasi sehingga karya mereka dilirik. Tapi, menurut saya, seniman UTM perlu memiliki kemauan untuk keluar dari setereotipe “seniman kelas dua” dengan terus berproses. Soal baik-buruk, diterima atau tidak itu biar orang lain yang menilai.
Seperti halnya Van Gogh yang berani keluar dari kebiasaan pelukis di jamannya serta sedikit kontroversi membuat dia disebut-sebut sebagai penggerak aliran posimpresionisme. Karena, bagi saya, tidak jadi soal gebrakan atau kebaruan yang ditawarkan. Tapi, dapat eksis di kalangan mahasiswa dan masyarakat sekitar adalah sebuah prestasi yang gilang-gemilang. Dan sekali lagi saya tekankan: seniman lukis di UTM hanya perlu sedikit kebranian untuk mencoba.
Namun, kebahagiaan saya tidak berlangsung lama. Pasca Nazar lulus, tidak ada lagi gebrakan seni rupa lainnya yang patut dicatat. Saya kembali berpikir bila inverioritas adalah penyakit bawaan kampus suasta kecil atau kampus negeri yang tidak bonafit, seperti halnya UTM. Mahasiswa yang datang ke kampus ini tak ubahnya seperti “orang-orang buangan yang (terpaksa) kuliah ketimbang menganggur”.
Tapi, yang patut disesalkan adalah ketika inverioritas berbicara lebih jauh dalam merebut gairah mahasiswa untuk berani unjuk gigi. Kalau pada awalnya, saya pikir inverioritas mahasiswa hanya olok-olok yang memaafkan dekadensi, tapi sekarang saya berpikir sebaliknya.
Sebagaimana yang Iwan Fals katakan: “hidup memang harus ada besar dan kecil”. Mungkin juga ada benarnya bila di dunia kesenian, terutama seni lukis, harus ada yang inverior dan superior. Sebagaimana mahasiswa ISI Bali yang terus menyelenggarakan pameran, dan mahasiswa UTM terus saja sibuk menekuri diktat kuliah sambil sesekali terus main “dokter-dokteran” di kamar kos.
Mungkin saya terlalu pesimis karena terlalu bosan menunggu hari depan kehidupan kesenian UTM bisa gilang-gemilang. Semoga Iwan Fals salah dan tidak ada lagi “besar-kecil”, “inverior-superior”. Semoga kalau mahasiswa ISI Bali terus bikin pameran, seniman UTM juga melakukan hal yang sama. Semoga seniman lukis UTM tidak hanya menghayati ritus potong kuping dan mengesampingkan kualitas. Dan semoga asumsi saya salah. Semoga…!

DAni L BOndan

SM, 15 Oktober 2014

1 komentar:

paket outbound mengatakan...

thanks gan atas infonya salam semangat dari kami

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.