Laman

Rabu, 12 Juni 2019

Stress, Mbah Jenggot Mojokerto Solusinya


Situasi sedang gawat. Saya melihat tahun 2017 adalah waktu di mana semua persoalan sampai di titik klimaks; baik urusan di sekala nasional, daerah, kecamatan dan bahkan sampai ke bilik kamar. Tentu saja sebagai seorang penulis, saya ingin menulis semua kerumitan itu. Memetakan persoalan yang ada lantas menawarkan solusi. Meski kaliber saya di bidang penulisan hanya sekelas coro, tapi sebagai seseorang yang berupaya baik, saya ingin memberikan kontribusi positif bagi anda semua. Terutama bagi pembaca Kabar Mojokerto yang budiman. Namun, apalah daya saya. Nafsu besar tenaga kurang. Maafkan saya.   
Ketika hendak merenungi lebih dalam bahan yang akan saya tulis, mendadak tangan saya jadi kaku. Tidak biasanya saya jadi seperti ini. Terlebih ketika menyadari dampak tulisan-tulisan saya ibarat sebutir pasir di Gurun Sahara. Hal ini sangat menyiksa batin saya. Duh, Gusti, betapa sombong dan angkuhnya manusia macam saya ini karena tidak mau belajar dari pengalaman.
Sudah jelas-jelas tahu bila masalah-masalah di segala lapisan tidak mungkin diselesaikan tanpa bantuan Allah, tetapi masih saja ngeyel dan sok ikut-ikut menyelesaikan. Saya ini tidak punya modal kewaskitaan dan kejelian mripat untuk melihat dan memetakan persoalan-persoalan yang ada. Punggawa pemerintah di segala lapisan pun bisa dipastikan akan gagal membenahi situasi saat ini. Bahkan teori-teori sosial paling canggih yang dipercaya jadi obat mujarab membenahi Indonesia tidak akan mempan mengatasi persoalan yang sedemikian kompleks ini. Kalau presiden, gubernur, bupati, akademisi, dan budayawan saja tak mampu, apalagi saya.

Batin saya sebagai seorang yang sok jadi penulis ini masih harus disiksa dengan permintaan orang-orang terdekat untuk tidak usah bikin tulisan yang berat-berat. Itu kan menyiksa eksistensi saya sebagai seseorang yang sok ngilmiah. Tujuan saya diminta membuat tulisan yang ringan dan mudah dicerna ini dikarenakan pembaca Kabar Mojokerto umumnya adalah generasi muda. Big bos Kabar Mojokerto kerap mengeluhkan kemalasan muda-mudinya untuk mencerna sesuatu yang berat. Waktu muda-mudi Mojokerto sangat mahal harganya, sehingga kalau sempat mampir, ya, minimal baca satu tulisan sampai rampung.
Permintaan itu diam-diam saya sanggupi sambil sedikit ngedumel. Dalam hati, saya membatin, betapa kempong gigi generasi muda hari ini. Sehingga untuk memahami sesuatu pun mereka butuh dibantu mengunyah. Betapa lembek calon garda depan penerus bangsa di semua daerah, terutama Mojokerto. Bahkan untuk sedikit mau tahu dan mengidentifikasi persoalan di kampung mereka sendiri pun enggan.
Namun porsi kejengkelan yang menyala di kedalaman saya ini lebih banyak untuk diri saya sendiri. Saya menyadari bila sudah setua ini masih saja bodoh untuk menyusun kata-kata. Betapa saya masih kurang mampu “mengerem” diri saya sendiri untuk tidak terlampau meledak dalam menyusun argumen. Rasa eman saya pada gen-gen unggul muda-mudi Mojokerto begitu besar sehingga membuat saya gagal mengambil jarak pandang yang tepat untuk memahami, menuangkan gagasan saya di dalam tulisan.
Mungkin saya terlalu tegang dengan gejala-gejala; terlalu lebay dalam melihat persoalan. Padahal generasi muda yang jadi sasaran saya pun tidak mau ambil pusing. Lalu untuk apa saya terlalu bersemangat. Bukankah hari ini generasi muda Mojokerto tetap tak bergeming meski badai persoalan sudah nempel di depan hidungnya. Mungkin saya butuh piknik agar kembali normal. Kembali menjadi manusia Indonesia yang mampu menertawai masalah-masalah yang ada dan menyikapinya dengan santai.  Dan bahkan mungkin mampu menertawakan masalah-masalah tersebut. Ya, saya butuh guyon agar tetap menginjak bumi dan tidak GR untuk merasa menjadi sesuatu.
Guru Besar Ilmu Guyon
Ngomong-ngomong soal guyonan, saya jadi ingat seorang kawan dari Mojokerto yang sudah S3 dalam hal guyon. Sebut saja dia Mbah Jenggot. Kekhusyukannya menertawai hidup sudah sampai ke tingkat nabi. Kalau kebetulan anda sedang putus asa dalam hidup, temuilah Mbah Jenggot dan ajak dia ngopi. Kalau kebetulan anda ingin menemui Nabi Khidir, konon kita bisa menjumpainya di pertemuan dua arus air, di tempat ikan-ikan berkumpul.
Mbah Jenggot Mojokerto relatif lebih mudah ditemui ketimbang Nabi Khidir. Kita bisa menemukannya di pertemuan dua arus hidup: pertemuan antara warung elit dan warung murah. Ia juga biasa terlihat di tempat bertemunya ibu-ibu muda, para janda muda, dan ABG. Terkadang ia kerap terlihat di tempat-tempat ngopi yang jadi pertemuan antara sekumpulan pekerja keras dan penganggur; juga di pertemuan arus masa silam dan masa kini; di pertemuan intelektual kampus dan pengagum budaya atau dupa-kemenyan.
Mbah Jenggot adalah sosok yang unik. Tubuhnya pendek dengan jenggot lebat macam Gatholoco. Konon usia jenggotnya lebih tua dari Gunung Arjuna.
Hidup Mbah Jenggot bisa dibilang tak teratur. Di tengah orang-orang sibuk mencari uang, dia tetap bisa santai. Jelas-jelas ia punya banyak beban hidup yang harus dibayar dengan uang, tapi ia bisa tetap santai. Dalam soal hidup, ia adalah sosok yang cukup lungit, terutama dalam hal gembelengan. Sudah jelas-jelas tidak bisa dagang, tapi ngotot berdagang hingga sangat akrab dengan kebangkrutan.
Cobalah dekat dengannya barang sehari, lalu pinjamlah modal dagang usahanya, tentu ia akan dengan suka rela memberikan modal dagangnya padamu. Apa ndak lungit kalau bisa seperti itu? Atau kalau kebetulan sedang jenuh di rumah, anda bisa mengajak Mbah Jenggot jalan-jalan meski ia akan berangkat berdagang. Kalau perlu, anda bisa mengajaknya mbambung dan bersenang-senang seminggu lamanya ke luar kota, pasti akan ia turuti dengan sepenuh hati.
Kalau pada umumnya seseorang bersedia menjadi contoh yang baik bagi orang lain, Mbah Jenggot menempuh jalan sunyi yang berbeda. Ia rela berlagak seperti orang kurang waras, berlagak seperti penganggur, untuk dijadikan contoh dan teladan buruk agar orang lain bisa lebih baik dan tidak meniru dirinya. Kalau kebetulan anda adalah tipe pria yang kerap ditolak perempuan, maka ajaklah Mbah Jenggot main bertiga ke rumah calon pasangan anda, insyaallah ia bersedia menjadi “monyet” agar perempuan yang anda taksir merasa jijik, lalu melihat anda seperti malaikat.
Hidup Mbah Jenggot itu kelewat guyon, hingga bisa kalian sewa untuk mendongkrak kebanggaan orang tua anda kepada anda. Dengan mengajaknya ke rumah anda, otomatis akan membuat dia berperan untuk menjadi badut bebodoran yang tidak berguna. Sehingga saking rendah Mbah Jenggot di mata orang tua anda, maka semakin bersyukur mereka punya anak seperti anda.
Tapi awas saja, jangan berpikir bila dia adalah orang bodoh. Ia mengerti betul apa yang dilakukannya. Ia mampu menakar seberapa kadar akting, guyon dan cara menginjak-injak dirinya sendiri.
Jurus Mabuk
Hidup manusia modern hari ini sedang didikte keinginan-keinginan yang tak prinsipil. Hal ini membuat mereka setengah mati mengejar hidup, kebanggaan, pencapaian dan kemapanan untuk memenangkan persaingan hidup. Tapi, hal ini tidak berlaku di mata Mbah Jenggot, karena segunung beban hidup hanya sebesar bulatan upilnya yang hitam. Kerumitan dunia tak serumit jenggotnya.
Kalau anda tidak percaya, cobalah sekali waktu mendatanginya ketika ia sedang bangkrut dan perhatikan air mukanya. Mata anda akan dikejutkan dengan air danau yang luas, tenang, dalam dan tanpa riak air. Begitu tenang dan bening air danau di wajahnya sehingga kita dapat berkaca dari sana. Kita akan dikejutkan karena di wajahnya kita menemukan diri kita menangis meraung-raung karena urusan kelas tempe goreng. Atau mungkin sekali waktu lihatlah wajah Mbah Jenggot ketika sedang tidur, ia akan nampak seperti bayi yang tak punya beban. Tidurnya yang pulas akan mengingatkan kita semua yang kerap tergagap-gagap bangun karena mimpi buruk dan masalah yang belum terselesaikan.
Kadang saya merasa miris dengan hidup Mbah Jenggot. Saya tahu persis bila selama ini kawan-kawan yang mengaku teman baik juga kerap menjegal Mbah Jenggot baik secara terang-terangan atau pun secara licik. Namun ia kerap melarang saya membenci orang yang sudah menyakitinya. Ini adalah jurus mabuk Mbah Jenggot. Ini adalah laku sabar yang ia tempuh.
Dari delapan tahun lebih mengenalnya, saya bisa mengambil kesimpulan bila Mbah Jenggot adalah tetenger. Ia adalah salah satu bagian dari “alam” yang menunjukkan kepada kita sebuah kebaikan, setia kawan dan rela berkorban di titik ekstrim. Umumnya, sebelum anda menolong orang lain, maka tolonglah diri anda dulu, terutama mereka yang masih berpegang ditataran syariat. Kalau ada lebihnya, baru kita bisa menolong orang. Saya tahu persis, Mbah Jenggot bukan orang sembarangan. Mbah Jenggot bisa saja kaya kalau dia mau, tapi ia menolak halus semua itu. Atau mungkin ada saatnya ia mengambil kesempatan itu di lain hari.
Mbah Jenggot hanya manusia biasa sebagaimana kita semua. Mustahil apabila ia tidak kelimpungan mengembalikan modal dagang dan bangkit setiap kali jatuh. Ia pun juga bisa pusing sebagaimana kita semua. Kalau pada umumnya orang, keterpurukan akan membuatnya berubah lebih baik, atau setidaknya punya keinginan berubah. Tapi yang dilakukan Mbah Jenggot adalah istiqomah dengna kerumitan-kerumitan itu. Ia begitu akrab dengan kerumitan, masalah-masalah, baik di dalam atau di luar dirinya. Ya, Gusti, betapa beraneka ragam dan teramat guyon ciptaanMu yang satu ini.
Kalau pada suatu hari, karena terlampau kesal dengan sikap Mbah Jenggot yang terkesan masokis, kita akan mudah terjebak untuk menceramahinya soal tata cara hidup rasional. Meski ketika ditanya, apakah ia mau gagal lagi dalam usaha, tentu saja ia akan menjawab bila ia akan menggeleng tanda tak mau. Tapi percayalah, itu hanya upayanya untuk menyenangkan dan membuat anda tidak mengasihaninya. Setelah anda usai menceramahinya, dia akan mengangguk penuh kesungguhan dan berkali-kali mengucapkan terimakasih pada anda. Sebenarnya apa yang dia lakukan adalah caranya menyenangkan anda karena sejatinya nasihat untuk orang lain itu seribu kali lebih relevan untuk diri sendiri. Karena ia tahu persis, bila nasihat dan tudingan yang kau lakukan itu lebih pantas untuk anda sendiri ketimbang untuknya.
Kalau pun ada yang menuduhnya tidak rasional dalam hidup, ia akan dengan sabar bahkan mendoakan dengan baik orang yang mencercanya. Sebab, ia sendiri memahami bila rasionalitas suatu hal itu sangat subjektif. Matematika hidup manusia yang masih terkait dengan untung rugi tidak dapat disamakan dengan matematika Allah yang maha teliti. Dan Mbah Jenggot tentu punya matematika sendiri dalam mengkalkulasi hidupnya. Percayalah, Mbah Jenggot adalah indikator cukup tepat untuk menilai apakah hidup anda masih bergantung pada prinsip untung-rugi. Karena, umumnya orang yang terlalu berorientasi pada untung rugi kerap tak cocok dengannya.
Hadirnya Mbah Jenggot adalah ayat dari Allah agar kita sadar betapa rapuh hidup manusia hari ini. Temui, temani dan sapalah ia dengan cinta agar anda segera sadar bila ternyata masih terlalu cengeng menjalani hidup. Ia adalah obat mujarab penghilang rasa sakit karena, selain dia akan menghiburmu dan mengajakmu tertawa dengan tingkah lucunya, ia akan membuatmu sadar bila derita adalah mahluk yang bisa terus hidup bila anda beri ruang di kepala dan hati. Karena di mata saya, Mbah Jenggot adalah kutub yang ekstrem yang membantumu lebih paham siapa diri anda; peran anda di dalam drama hidup; memahami kebahagiaan dan nikmat yang sebelumnya anda dustakan.
Sebenarnya, ditengah kebutuan-kejengkelan saya atas situasi terkini, ada perasaan rindu dengannya. Kalau dulu, saya sedang suntuk menulis, saya akan mendatanginya dan menyanyi tengah malam di karaoke murahan, menikmati kopi pahit di rolak songo, atau sekedar nyelempit ke petilasan sambil guyon akan hidup atau sekedar suit-suit-kampungan ke cewek-cewek kampung. Ya, karena saya sekarang sudah jarang ke Mojokerto, saya hanya mendoakannya saja dari jauh agar batinnya tentram. Sebenarnya banyak sekali yang akan saya tulis mengenai sosok Mbah Jenggot. Namun saya membatasinya sampai saya kembali menemukan kekuatan dalam diri saya sendiri untuk terus semangat menjalani hari. Mungkin bagi saya, menghayati kehidupannya membuat saya sadar akan keterbatasan saya mengelola tekanan hidup.
Dan di akhir tulisan ini saya sadar bila hidup itu bukan untuk berhasil, tapi berjuang sebisa mungkin tanpa mengeluh. Sebagaimana upaya semut yang berusaha membawa setetes air untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim. Memang nampak tidak berguna, tapi bukan itu yang penting. Karena yang penting adalah niat kita akan sesuatu. 
Mungkin dalam hidup kalian, sebenarnya terdapat Mbah Jenggot lainnya yang akan diam-diam menyapamu dan mengajakmu tertawa dan bangkit lagi.
Mbah Jenggot sedunia, Al Fatihah.

Citra D. Vresti Trisna
*Pernah dimuat di Kabar Mojokerto


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.