Laman

Rabu, 12 Juni 2019

Pertanyaan Mbah Ripul untuk Pendukung Jokowi dan Prabowo

Usai tarawih, di depan mimbar mesjid, suara Mbah Ripul melengking tinggi.
”Saudara-saudara, apakah anda di antara kalian yang pernah jadi pendukung salah satu capres? Kalau ada, silahkan angkat tangan,” Tanya Mbah Ripul.
Tak seorang pun warga yang mengangkat tangan. Tidak puas karena masih juga tidak ada yang angkat tangan, ia mengerahkan kekuatannya. Kali ini suaranya lebih melengking lagi dan menembusi isi hati warga dan menanyai para warga dengan pertanyaan yang sama. Nihil! Lagi-lagi tidak ada yang mengangkat tangan.
Belum juga menemukan sesuatu di kedalaman hati warganya, Mbah Ripul mencoba masuk lebih dalam lagi. Suaranya yang kasat mata terbang sampai jauh dan didengar mahluk-mahluk lainnya. Dedaun hijau yang merasa ikut ditanyai bergetar hebat lantas menguning dan runtuh ke tanah. Angin yang semula berhembus lembut kini berhembus kencang sebagai tanda ia abstain oleh pertanyaan Mbah Ripul. Kalau batu-batu gunung yang jadi pondasi mesjid di Dudakarta itu tidak sayang pada para warga, tentu saja ia ikut menunjukkan sikap dengan menolak dituduh kampret dan cebong. Mungkin cara batu-batu itu menunjukkan sikap adalah dengan menggeliat hingga mesjid rubuh.
”Ayo, silahkan ada yang berani jawab dan angkat tangan!” Mbah Ripul mengulang pertanyaan yang sama. Kali ini getaran suaranya sampai ke luar dari Dudakarta dan masuk ke Jakarta. Tak berselang lama Mbah Ripul kaget karena hampir seluruh warga Jakarta bersuara dengan mantab. Suara warga Jakarta itu membuatnya sampai terpental mundur tiga langkah dari mimbar.

Mbah Ripul diam beberapa saat dan menunggu gelombang suara itu reda. Setelah reda, barulah ia kembali ke mimbar dan melanjutkan kata-katanya. ”Baiklah, kalau kalian adalah salah satu pendukung capres, silahkan saja. Itu hak kalian. Saya tak akan menghakimi kalian dengan apa yang sudah kalian pilih. Toh, kalian juga sudah dewasa dan tahu risiko pilihan-pilihan anda. Tapi, di balik kukuhnya pilihan anda pada salah satu calon, saya ingin bertanya…”
Meski suaranya mulai gemetar lantaran ingin menangis, tapi ia tetap lanjutkan kata-katanya. ”Berapa persen pengetahuan anda atas Jokowi dan Prabowo? Apakah pengetahuan atas dua orang itu sudah sampai 100 persen hingga kalian siap tarung sampai mati dan ikhlas untuk perang saudara? Dari mana sumber pengetahuan anda itu? Berapa persen pengetahuan otentik kalian atas dua orang itu, berapa persen dari medsos, berapa persen dari media massa yang gembelengan memberikan pendidikan politik pada rakyat?”
Tidak ada jawaban. ”Apakah kalian tahu siapa sebenarnya Jokowi? Apakah anda tahu mengapa ia begitu ngeyel dan berjuang mati-matian demi menjadi presiden? Apa iya kalau tidak jadi presiden maka Indonesia akan tamat? Wahyu macam apa yang memenuhi isi kepalanya hingga ia tahan dan tak malu diteriaki orang-orang sebagai pihak yang curang? Apa yang harus ia tuntaskan atau selesaikan dalam satu periode mendatang hingga dia bisa acuh pada kenyataan: keterpilihannya dalam pemilu ini akan melukai separuh rakyat Indonesia?”
Warga dudakarta hanya plonga-plongo menyaksikan Mbah Ripul bicara tanpa arah. Di antara mereka saling menoleh kiri-kanan, barangkali ada salah seorang warga yang angkat tangan. Kosong! Tak seorang pun angkat tangan.
”Apakah anda semua para pendukung tahu apa yang ada di kedalaman hati Kiyai Makruf hingga ia bisa senyum-senyum ketika diwawancara, meski tentu saja Kiyai Makruf tahu bila rasa tidak ridha rakyat padanya akan sampai ke langit dan turun kembali padanya tidak hanya sebagai mimpi buruk, tapi juga sebagai tulah di dunia dan akhirat. Mengapa saya terus bertanya? Baiklah, saya mengaku! Mungkin kadar keimanan dan kaliber Kiyai Makruf lebih tinggi dan mripat kejeliannya lebih tajam dibandingkan saya. Kalau saya kebetulan tidak tahu, tolong anda semua yang sudah memutuskan untuk jadi pendukung garis keras jelas punya bocoran dan pertimbangan matang. Tolong beri tahu saya, apa yang jadi pertimbangan Jokowi dan Kyai Makruf nampak tenang saja. Siapakah yang melantik dan memilih mereka? Gusti Allah atau demit pasar atau KPU? Siapa yang membisikkan keyakinan pada mereka: Gusti Allah atau sudut tergelap di dalam hati mereka? Apakah mereka berdua merasa sedang dibimbing Allah atau sedang disesatkan? Hey, para pendukung, apakah kalian para pendukung bisa memberi saya sedikit informasi mengenai hal ini? Apakah mantan tukang kayu itu pernah memberitahukan pada anda dasar keyakinan sehingga mereka berdua berani mencalonkan diri? Tolonglah berikan saya jawaban, saya sedang kepo ini.”
Pendukung Jokowi mendiamkan pertanyaan Mbah Ripul. Ia menunggu beberapa menit. Lalu ia berganti bertanya ke pendukung Prabowo.
”Jangan merasa enak-enakan kalian. Tolong jawab saya,” pinta Mbah Ripul, ”mengapa anda begitu yakin bila Prabowo menang, Indonesia akan jadi lebih baik? Apa kalian tahu motivasinya hingga ia kembali mencalonkan diri setelah sebelumnya kalah? Baiklah, anggap saja Prabowo punya jurus jitu membenahi Indonesia yang sedang luluh lantak ini, dari mana dia dapat formula itu? Dari Gusti Allah, dari para ahli, dari analisa rasionalnya saja atau justru dari setan yang mengipas-ngipas hatinya? Adakah di antara kalian tahu soal ini? Sudahkah kalian menghitung manfaat dan mudharat dari keputusan memilih dia di pemilu kali ini?”
Pendukung Prabowo juga mendiamkan Mbah Ripul. ”Kenapa kalian diam! Saya juga heran dengan anda semua. Mengapa setelah keputusan KPU keluar, kalian tetap tidak peduli dan memutuskan turun ke jalan? Mengapa anda begitu yakin dengan mantan prajurit itu? Sebenarnya siapa yang kalian bela usai keputusan KPU keluar: Prabowo, dugaan praktik kecurangan, atau rasa tidak terima kalian dibully kubu sebelah? Seandainya dia yang jadi presiden, dan Indonesia jadi lebih buruk, apakah kalian akan tetap mendukungnya seperti sekarang? Oh, iya, apa Sandiaga Uno memberikan kalian penjelasan: belum tuntas di Jakarta kok sudah ke capres? Apakah Prabowo pernah membisiki kalian apa yang membuatnnya merasa pantas jadi presiden hingga membiarkan rakyat berdemo hingga jatuh korban? Sudahkah kalian diberitahu?”
Nihil. Tak satu pun dari mereka buka suara. Agar tidak dikira stres, Mbah Ripul menyapa warga Dudakarta. ”Apa kalian sudah menganggap saya stres?”
”Alhamdulillah hampir, mbah!”
”Baiklah, mungkin kalian benar. Kalau saya stres karena Allah insyaallah saya terima…”
”Kalau misal Gusti Allah milih sampean jadi capres bagaimana, mbah?” Tanya Pakde Dalbo.
Warga Dudakarta kembali melongo. Belum selesai pertanyaan itu dilontarkan, Mbah Ripul sudah lenyap. Warga kembali ribut ketika Mbah Ripul lenyap. Warga yang membubarkan diri kasak-kusuk sambil mencari sendal.
”Kemana, ya, Mbah Ripul?”
”Mungkin lari ke kali dan mancing di sana.” Kata Mas Rombong sambil tertawa kecil.

Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.