Usai tarawih, di depan
mimbar mesjid, suara Mbah Ripul melengking tinggi.
”Saudara-saudara,
apakah anda di antara kalian yang pernah jadi pendukung salah satu capres?
Kalau ada, silahkan angkat tangan,” Tanya Mbah Ripul.
Tak seorang pun warga
yang mengangkat tangan. Tidak puas karena masih juga tidak ada yang angkat
tangan, ia mengerahkan kekuatannya. Kali ini suaranya lebih melengking lagi dan
menembusi isi hati warga dan menanyai para warga dengan pertanyaan yang sama.
Nihil! Lagi-lagi tidak ada yang mengangkat tangan.
Belum juga menemukan
sesuatu di kedalaman hati warganya, Mbah Ripul mencoba masuk lebih dalam lagi.
Suaranya yang kasat mata terbang sampai jauh dan didengar mahluk-mahluk
lainnya. Dedaun hijau yang merasa ikut ditanyai bergetar hebat lantas menguning
dan runtuh ke tanah. Angin yang semula berhembus lembut kini berhembus kencang
sebagai tanda ia abstain oleh pertanyaan Mbah Ripul. Kalau batu-batu gunung
yang jadi pondasi mesjid di Dudakarta itu tidak sayang pada para warga, tentu
saja ia ikut menunjukkan sikap dengan menolak dituduh kampret dan cebong.
Mungkin cara batu-batu itu menunjukkan sikap adalah dengan menggeliat hingga
mesjid rubuh.
”Ayo, silahkan ada yang
berani jawab dan angkat tangan!” Mbah Ripul mengulang pertanyaan yang sama.
Kali ini getaran suaranya sampai ke luar dari Dudakarta dan masuk ke Jakarta.
Tak berselang lama Mbah Ripul kaget karena hampir seluruh warga Jakarta
bersuara dengan mantab. Suara warga Jakarta itu membuatnya sampai terpental
mundur tiga langkah dari mimbar.
Mbah Ripul diam
beberapa saat dan menunggu gelombang suara itu reda. Setelah reda, barulah ia
kembali ke mimbar dan melanjutkan kata-katanya. ”Baiklah, kalau kalian adalah
salah satu pendukung capres, silahkan saja. Itu hak kalian. Saya tak akan
menghakimi kalian dengan apa yang sudah kalian pilih. Toh, kalian juga sudah
dewasa dan tahu risiko pilihan-pilihan anda. Tapi, di balik kukuhnya pilihan
anda pada salah satu calon, saya ingin bertanya…”
Meski suaranya mulai
gemetar lantaran ingin menangis, tapi ia tetap lanjutkan kata-katanya. ”Berapa
persen pengetahuan anda atas Jokowi dan Prabowo? Apakah pengetahuan atas dua
orang itu sudah sampai 100 persen hingga kalian siap tarung sampai mati dan ikhlas
untuk perang saudara? Dari mana sumber pengetahuan anda itu? Berapa persen
pengetahuan otentik kalian atas dua orang itu, berapa persen dari medsos,
berapa persen dari media massa yang gembelengan memberikan pendidikan politik
pada rakyat?”
Tidak ada jawaban.
”Apakah kalian tahu siapa sebenarnya Jokowi? Apakah anda tahu mengapa ia begitu
ngeyel dan berjuang mati-matian demi
menjadi presiden? Apa iya kalau tidak jadi presiden maka Indonesia akan tamat?
Wahyu macam apa yang memenuhi isi kepalanya hingga ia tahan dan tak malu
diteriaki orang-orang sebagai pihak yang curang? Apa yang harus ia tuntaskan
atau selesaikan dalam satu periode mendatang hingga dia bisa acuh pada
kenyataan: keterpilihannya dalam pemilu ini akan melukai separuh rakyat
Indonesia?”
Warga dudakarta hanya
plonga-plongo menyaksikan Mbah Ripul bicara tanpa arah. Di antara mereka saling
menoleh kiri-kanan, barangkali ada salah seorang warga yang angkat tangan.
Kosong! Tak seorang pun angkat tangan.
”Apakah anda semua para
pendukung tahu apa yang ada di kedalaman hati Kiyai Makruf hingga ia bisa
senyum-senyum ketika diwawancara, meski tentu saja Kiyai Makruf tahu bila rasa
tidak ridha rakyat padanya akan sampai ke langit dan turun kembali padanya
tidak hanya sebagai mimpi buruk, tapi juga sebagai tulah di dunia dan akhirat.
Mengapa saya terus bertanya? Baiklah, saya mengaku! Mungkin kadar keimanan dan
kaliber Kiyai Makruf lebih tinggi dan mripat kejeliannya lebih tajam
dibandingkan saya. Kalau saya kebetulan tidak tahu, tolong anda semua yang
sudah memutuskan untuk jadi pendukung garis keras jelas punya bocoran dan
pertimbangan matang. Tolong beri tahu saya, apa yang jadi pertimbangan Jokowi
dan Kyai Makruf nampak tenang saja. Siapakah yang melantik dan memilih mereka?
Gusti Allah atau demit pasar atau KPU? Siapa yang membisikkan keyakinan pada
mereka: Gusti Allah atau sudut tergelap di dalam hati mereka? Apakah mereka
berdua merasa sedang dibimbing Allah atau sedang disesatkan? Hey, para
pendukung, apakah kalian para pendukung bisa memberi saya sedikit informasi
mengenai hal ini? Apakah mantan tukang kayu itu pernah memberitahukan pada anda
dasar keyakinan sehingga mereka berdua berani mencalonkan diri? Tolonglah
berikan saya jawaban, saya sedang kepo ini.”
Pendukung Jokowi
mendiamkan pertanyaan Mbah Ripul. Ia menunggu beberapa menit. Lalu ia berganti
bertanya ke pendukung Prabowo.
”Jangan merasa
enak-enakan kalian. Tolong jawab saya,” pinta Mbah Ripul, ”mengapa anda begitu
yakin bila Prabowo menang, Indonesia akan jadi lebih baik? Apa kalian tahu
motivasinya hingga ia kembali mencalonkan diri setelah sebelumnya kalah?
Baiklah, anggap saja Prabowo punya jurus jitu membenahi Indonesia yang sedang
luluh lantak ini, dari mana dia dapat formula itu? Dari Gusti Allah, dari para
ahli, dari analisa rasionalnya saja atau justru dari setan yang mengipas-ngipas
hatinya? Adakah di antara kalian tahu soal ini? Sudahkah kalian menghitung
manfaat dan mudharat dari keputusan memilih dia di pemilu kali ini?”
Pendukung Prabowo juga
mendiamkan Mbah Ripul. ”Kenapa kalian diam! Saya juga heran dengan anda semua.
Mengapa setelah keputusan KPU keluar, kalian tetap tidak peduli dan memutuskan
turun ke jalan? Mengapa anda begitu yakin dengan mantan prajurit itu?
Sebenarnya siapa yang kalian bela usai keputusan KPU keluar: Prabowo, dugaan
praktik kecurangan, atau rasa tidak terima kalian dibully kubu sebelah?
Seandainya dia yang jadi presiden, dan Indonesia jadi lebih buruk, apakah
kalian akan tetap mendukungnya seperti sekarang? Oh, iya, apa Sandiaga Uno
memberikan kalian penjelasan: belum tuntas di Jakarta kok sudah ke capres?
Apakah Prabowo pernah membisiki kalian apa yang membuatnnya merasa pantas jadi
presiden hingga membiarkan rakyat berdemo hingga jatuh korban? Sudahkah kalian
diberitahu?”
Nihil. Tak satu pun
dari mereka buka suara. Agar tidak dikira stres, Mbah Ripul menyapa warga
Dudakarta. ”Apa kalian sudah menganggap saya stres?”
”Alhamdulillah hampir,
mbah!”
”Baiklah, mungkin
kalian benar. Kalau saya stres karena Allah insyaallah saya terima…”
”Kalau misal Gusti
Allah milih sampean jadi capres bagaimana, mbah?” Tanya Pakde Dalbo.
Warga Dudakarta kembali
melongo. Belum selesai pertanyaan itu dilontarkan, Mbah Ripul sudah lenyap.
Warga kembali ribut ketika Mbah Ripul lenyap. Warga yang membubarkan diri
kasak-kusuk sambil mencari sendal.
”Kemana, ya, Mbah
Ripul?”
”Mungkin lari ke kali
dan mancing di sana.” Kata Mas Rombong sambil tertawa kecil.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.