Laman

Minggu, 16 Juni 2019

Markas Keblek atau Mahkamah Konstitusi


Burung Keblek 

Kampung saya sedang ramai! Soal apa? Ah, bukan hal yang penting. Tapi, ya, lumayan perlu sih untuk diceritakan.
Jadi begini. Ribut di kampung saya itu soal pemilihan ketua RT. Dua orang calon mempersoalkan hasil penghitungan suara. Beda tipis sih, tapi salah pemilihnya juga, kenapa pemilihannya harus tertutup. Itu lo, nganu, sok-sokan meniru pemilu di Indonesia: bebas dan rahasia.
Ini kan koplo. Bebas kok rahasia. Kalau sudah bebas milih, ya, tidak perlu rahasia. Ndak perlu ngomong kebebasan-kemerdekaan dalam memilih kalau pake rahasia rahasia segala. Warga diajari gak jentelmen. Pemilihan sebelumnya, ya tetap voting. Tapi, masing-masing tahu siapa pilih siapa.
Nanti kalau tahu bisa ribut?
Kalau gitu kenapa gak musyawarah saja; dibicarakan baik-baik antar warga dan dirembukkan siapa yang pantas dipilih.
Menurut saya, salah satu sumber keributan ini adalah karena anak-anak muda lulusan universitas yang dianggap pintar itu disuruh cawe-cawe urusan pemilihan RT. Eh, ndak taunya kok malah ndlahom. Seharusnya mereka lebih belajar dan menundukkan kepala di hadapan orang-orang kampung, bukannya keminter. Orang kampung disuruh belajar berdemokrasi, votang-voting-votang-voting. Matane amblek!
Bawawuk, pihak yang kalah tipis itu merasa dicurangi oleh Jopukon, RT periode sebelumnya. Jopukon dianggap melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif. Memang sih panitia pemilihan itu memang dekat dengan Jopukon. Dan orang ini pula yang sebelum pemilihan paling banyak ikut riwa-riwi.


”Panitia kok ndak netral. Jopukon jancuk!” umpat Bawawuk. ”Kalau gak diulang, tak laporin MK loh panitia-panitia taek ini.”
”MK itu apa?” tanya Mbah Min.
”Itu loh, Mahkamah Konstitusi. Di Jakarta… jauh sono!” Jelas salah seorang pemuda.
”Ngawur! MK itu markas keblek!” Protes Mbah Min.
”Keblek? What?”
”Wot ndasmu! Keblek itu hewan jadi jadian yang kaya kelelawar. Kalau terbang bunyi blek-blek-blek. Kerjaannya nyolong beras. Kalau gak gitu ya kerjanya ngasih kabar kalau bakal ada yang mampus. Itu aslinya hewan jadi-jadian yang hanya bisa dibikin oleh dukun tiban. Kemarin saya lihat di rumah Parjono dindingnya ditulisi ’Markas Keblek’ besar-besar.”
 Bawawuk yang nampaknya tidak paham dengan apa yang disampaikan Mbah Min, mengangguk-angguk saja.
”Sampean jadi melapor Nak Wawuk?” Ditanya begitu, oleh Mbah Min. Bawawuk kembali mengangguk. ”Sampean itu keliatannya gagah, tapi ternyata ndlahom juga. Mempercayakan nasib dan hal gawat begini ke barang jelmaan itu bodoh, syirik. Ngerti sampean?” 
Merasa dituduh curang, Jopukon tak bergeming. Mukanya diam dengan seribu ke-ndlahom-an yang terstruktur sistematis dan masif.
Mbah Min masih coba menengahi keduanya. ”Kalau sampean bagaimana Nak Pukon?”
”Maaf ya mbah. Ini si Wawuk memang asu! Kamu jangan sebar hoax, Wawuk! Tak serut mukamu pakai serutan kayu tau rasa loh. Kalau ada kecurangan, laporkan! Jangan main tuduh!”  
”Aneh-anak saja orang-orang di sini. Karena panggil-panggil keblek, liat saja pasti nanti ada yang mati. Kamu siap mati, Wawuk? Kamu itu sudah tua, mbok ya mikir, Wuk-Wawuk. Ini si Pukon juga sama. Ndlahom kok dulu bisa kepilih… ”
Karena konfilik tak kunjung selesai, Mbah Min pergi berlalu sambil terus ngomel.
Kurang lebih begitu! Kalau menurut saya, salah sendiri sekarang ketua RT pakai acara dibayar. Ya, jadinya pada rebutan. Seandainya, jadi ketua RT ndak dibayar tapi masing-masing yang terpilih sadar bakal dapat pahala luar biasa, pasti ndak jadi rebutan. Tapi, hari gini sapa juga yang lebih pilih pahala ketimbang uang?

Kelopo ten, 16 Juni 2019
Citra D. Versti Trisna

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sangat menghibur, bung.

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.