Laman

Senin, 06 Januari 2014

Madura dan Koran

Diam-diam ketika rasa apati saya sedang mencapai puncaknya, saya pernah membayangkan: kalau ada seseorang bertanya pada saya tentang bagaimana kabar koran di Madura, maka saya akan menjawabnya, ”Hangat-hangat tahi ayam.”

Kalau dipikir lagi, saya ini bukan orang Madura. Saya tidak punya urusan di Madura kecuali ”ketimbang jadi pengangguran,” itu saja; lain tidak. Tapi, sebagai orang yang duduk di meja redaksi, saya dipaksa untuk melihat, mencatat dan batin saya dipaksa untuk bersinggungan dengan banyak hal yang ajaib di pulau garam ini.

Setiap sore, pekerjaan saya adalah membenahi catatan harian wartawan dan menyusunnya menjadi satu kesatuan utuh untuk dikabarkan, sampai akhirnya menjadi catatan pribadi. Ya, menurutku Madura sangat eksotis. Semuanya: medianya, masyarakatnya, kiyainya, pemerintahnya, premannya, bahkan semua jin dan para dedemitnya.

Di awa tahun ini tidak lupa saya ingin berterimakasih pada Tuhan. Lima tahun kuliah sembari melihat dan berinteraksi dengan masyarakat Madura dari dekat adalah sebuah anugrah yang tak terkira. Lalu duduk di meja redaksi untuk melihat Madura di meja kantor sambil menyeruput kopi pahit. Dan tidak lupa untuk sesekali memasang taruhan di meja judi konsorsium iblis dan malaikat bila hipotesis saya perihal koran di Madura ini benar-benar hangat tahi ayam. Untuk kali ini iblis dan saya sedang kompak.

Koran di Madura boleh ribuan jumlahnya. Tapi Madura adalah Madura — teritori yang lepas dari pemetaan teori sosial dan tak bergeming dengan hukum negara tetangga: Indonesia.

Saya sangat mendukung bila ada pewacanaan Madura menjadi provinsi baru. Tapi, saya lebih setuju bila Madura ”memerdekakan” diri. Karena, hukum negara tetangga (Indonesia) — meski hanya sekedar gincu pemanis — terbukti sangat mengganggu dan menjadi belenggu penghalang eksistensi penghuni Pulau Madura. Karena Madura adalah kuda liar yang menolak untuk dikrangkeng kayu lapuk macam KPK, Kejari, Kepolisian dan agama.

Sehingga posisi koran di Negara Madura tak ubahnya seperti puisi penyair-penyair tuanya: (agak) tidak berguna tapi dibuang sayang. Karena satu-satunya fungsi koran yang sukses di Madura hanya to entertain dan to inform. Selebihnya untuk fungsi mendidik dan mengontrol hanya untuk dongeng bocah-bocah kuliah yang dininabobo oleh dosen komunikasi.

Tapi, sebagai orang media, saya bisa memahami perasaan sesama insan pers di Madura. Saya sepenuhnya sadar bila kejenuhan itu manusiawi. Percuma saja susah-susah memberitakan kalau pada akhirnya kantor redaksi harus diserbu ratusan orang dengan mata menyala.

Sia-sia rasanya bila wartawan harus blusukan ke kampung-kampung memberitakan keluhan masyarakat kalau pada akhirnya harus terkencing-kencing lantaran diancam oknum tokoh masyarakat yang belum sunat, oknum mubaling yang belum balig, oknum preman ikan asin, oknum (BSMM) Bupati Sang Malaikat Maut dll.

Sekali lagi saya katakan: Madura butuh lebih dari sekedar koran biasa. Mungkin koran dari Tuhan, misalnya. Karena, siapa yang bisa meragukan kedekatan orang Madura dengan Tuhan? Begitu akrabnya Tuhan dengan orang Madura hingga Tuhan tak rela bila umat kesayangannya harus diingatkan cemeti KPK yang lemah syahwat hingga tak pernah sanggup menggairahi pejabat-pejabat di Madura.  

Tuhan harus mengedarkan korannya di tiap musim. Kalau musim hujan, ya, headline-nya banjir. Kalau musim kemarau, ya, headline-nya kekeringan. Dan masih banyak lagi.

***

Hanya ada tiga kemungkinan mengapa sebuah koran tidak diterima di masyarakat. Pertama, sebuah koran tidak lebih dari sekedar advedtorial. Kedua perilaku barbar adalah rutinitas yang hidup di alam bawah sadar. Ketiga demokrasi adalah sebuah konsep yang memang perlu dikaji relevansinya.

Lalu apakah koran tidak punya urusan dengan masyarakat? Kalau ada pertanyaan demikian, aku kira itu pertanyaan yang sulit. Pasalnya, kalau pada saat ini koran masih beredar, dan keadaan tak banyak berubah, maka koran pun hanya rutinitas. Ia tak ubahnya sebuah candu — seperti apa yang saya katakan: ia hampir kurang berguna, tapi sayang sekali kalau dibuang.

Lalu, koran hanya punya arti bagi pejabat-pejabat publik yang sedang ketakutan. Mereka enggan kejahatannya dibongkar oleh koran. Sehingga kebutuhan di Madura tak ubahnya seperti masa kolonial — dirumahkacakan oleh humas untuk ”ditertibkan”: berita mana yang menyinggung instansinya. Sehingga terdapat ketimpangan dalam fungsi kontrol di sebuah koran.

Koran yang seharusnya menjembatani pemerintah dan masyarakat tidak berjalan sewajarnya. Pasalnya koran lebih dibutuhkan pemerintah ketimbang masyarakat. Ketika keadaan seperti ini terjadi, maka hampir bisa dipastikan demokrasi perlu dikaji ulang. Atau dengan kata lain DPR tidak berjalan dengan baik. Sehingga ketika masyarakat mendapat informasi dari koran, tidak membuat masyarakat melakukan gerakan real untuk mengadukan ke DPR. Melainkan menyimpannya sendiri atau mendiamkan.

Selanjutnya, hal-hal yang harus dipahami para pemilik koran adalah: masyarakat sudah terlalu pandai — meskipun terkesan mendiamkan — untuk dibodohi berita-berita yang sifatnya advedtorial.

Tapi, meski tiga hal yang saya sebutkan di atas telah dibenahi, sebuah masyarakat tidak akan serta-merta berubah. Karena masyarakat adalah masyarakat. Kompleksitas yang tak akan dapat kita pecahkan dengan pemetaan dan asumsi-asumsi teori sosial yang memotret masyarakat dari luar.

Sampang, 5 Januari 2014   

Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.