Diam-diam ketika rasa apati saya sedang mencapai
puncaknya, saya pernah membayangkan: kalau ada seseorang bertanya pada saya
tentang bagaimana kabar koran di Madura, maka saya akan menjawabnya,
”Hangat-hangat tahi ayam.”
Kalau dipikir lagi, saya ini bukan orang Madura.
Saya tidak punya urusan di Madura kecuali ”ketimbang jadi pengangguran,” itu
saja; lain tidak. Tapi, sebagai orang yang duduk di meja redaksi, saya dipaksa
untuk melihat, mencatat dan batin saya dipaksa untuk bersinggungan dengan
banyak hal yang ajaib di pulau garam ini.
Setiap sore, pekerjaan saya adalah membenahi catatan
harian wartawan dan menyusunnya menjadi satu kesatuan utuh untuk dikabarkan, sampai
akhirnya menjadi catatan pribadi. Ya, menurutku Madura sangat eksotis.
Semuanya: medianya, masyarakatnya, kiyainya, pemerintahnya, premannya, bahkan
semua jin dan para dedemitnya.
Di awa tahun ini tidak lupa saya ingin berterimakasih
pada Tuhan. Lima tahun kuliah sembari melihat dan berinteraksi dengan masyarakat
Madura dari dekat adalah sebuah anugrah yang tak terkira. Lalu duduk di meja
redaksi untuk melihat Madura di meja kantor sambil menyeruput kopi pahit. Dan
tidak lupa untuk sesekali memasang taruhan di meja judi konsorsium iblis dan
malaikat bila hipotesis saya perihal koran di Madura ini benar-benar hangat
tahi ayam. Untuk kali ini iblis dan saya sedang kompak.
Koran di Madura boleh ribuan jumlahnya. Tapi Madura
adalah Madura — teritori yang lepas dari pemetaan teori sosial dan tak
bergeming dengan hukum negara tetangga: Indonesia.
Saya sangat mendukung bila ada pewacanaan Madura
menjadi provinsi baru. Tapi, saya lebih setuju bila Madura ”memerdekakan” diri.
Karena, hukum negara tetangga (Indonesia) — meski hanya sekedar gincu pemanis —
terbukti sangat mengganggu dan menjadi belenggu penghalang eksistensi penghuni
Pulau Madura. Karena Madura adalah kuda liar yang menolak untuk dikrangkeng
kayu lapuk macam KPK, Kejari, Kepolisian dan agama.
Sehingga posisi koran di Negara Madura tak ubahnya
seperti puisi penyair-penyair tuanya: (agak) tidak berguna tapi dibuang sayang.
Karena satu-satunya fungsi koran yang sukses di Madura hanya to entertain dan to inform. Selebihnya untuk fungsi mendidik dan mengontrol hanya
untuk dongeng bocah-bocah kuliah yang dininabobo oleh dosen komunikasi.
Tapi, sebagai orang media, saya bisa memahami
perasaan sesama insan pers di Madura. Saya sepenuhnya sadar bila kejenuhan itu
manusiawi. Percuma saja susah-susah memberitakan kalau pada akhirnya kantor
redaksi harus diserbu ratusan orang dengan mata menyala.
Sia-sia rasanya bila wartawan harus blusukan ke kampung-kampung memberitakan
keluhan masyarakat kalau pada akhirnya harus terkencing-kencing lantaran
diancam oknum tokoh masyarakat yang belum sunat, oknum mubaling yang belum
balig, oknum preman ikan asin, oknum (BSMM) Bupati Sang Malaikat Maut dll.
Sekali lagi saya katakan: Madura butuh lebih dari
sekedar koran biasa. Mungkin koran dari Tuhan, misalnya. Karena, siapa yang
bisa meragukan kedekatan orang Madura dengan Tuhan? Begitu akrabnya Tuhan
dengan orang Madura hingga Tuhan tak rela bila umat kesayangannya harus
diingatkan cemeti KPK yang lemah syahwat hingga tak pernah sanggup menggairahi
pejabat-pejabat di Madura.
Tuhan harus mengedarkan korannya di tiap musim.
Kalau musim hujan, ya, headline-nya
banjir. Kalau musim kemarau, ya, headline-nya
kekeringan. Dan masih banyak lagi.
***
Hanya ada tiga kemungkinan mengapa sebuah koran
tidak diterima di masyarakat. Pertama,
sebuah koran tidak lebih dari sekedar advedtorial. Kedua perilaku barbar adalah rutinitas yang hidup di alam bawah
sadar. Ketiga demokrasi adalah sebuah
konsep yang memang perlu dikaji relevansinya.
Lalu apakah koran tidak punya urusan dengan
masyarakat? Kalau ada pertanyaan demikian, aku kira itu pertanyaan yang sulit.
Pasalnya, kalau pada saat ini koran masih beredar, dan keadaan tak banyak
berubah, maka koran pun hanya rutinitas. Ia tak ubahnya sebuah candu — seperti
apa yang saya katakan: ia hampir kurang berguna, tapi sayang sekali kalau
dibuang.
Lalu, koran hanya punya arti bagi pejabat-pejabat
publik yang sedang ketakutan. Mereka enggan kejahatannya dibongkar oleh koran.
Sehingga kebutuhan di Madura tak ubahnya seperti masa kolonial — dirumahkacakan
oleh humas untuk ”ditertibkan”: berita mana yang menyinggung instansinya.
Sehingga terdapat ketimpangan dalam fungsi kontrol di sebuah koran.
Koran yang seharusnya menjembatani pemerintah dan
masyarakat tidak berjalan sewajarnya. Pasalnya koran lebih dibutuhkan
pemerintah ketimbang masyarakat. Ketika keadaan seperti ini terjadi, maka
hampir bisa dipastikan demokrasi perlu dikaji ulang. Atau dengan kata lain DPR
tidak berjalan dengan baik. Sehingga ketika masyarakat mendapat informasi dari
koran, tidak membuat masyarakat melakukan gerakan real untuk mengadukan ke DPR.
Melainkan menyimpannya sendiri atau mendiamkan.
Selanjutnya, hal-hal yang harus dipahami para
pemilik koran adalah: masyarakat sudah terlalu pandai — meskipun terkesan
mendiamkan — untuk dibodohi berita-berita yang sifatnya advedtorial.
Tapi, meski tiga hal yang saya sebutkan di atas
telah dibenahi, sebuah masyarakat tidak akan serta-merta berubah. Karena
masyarakat adalah masyarakat. Kompleksitas yang tak akan dapat kita pecahkan
dengan pemetaan dan asumsi-asumsi teori sosial yang memotret masyarakat dari
luar.
Sampang,
5 Januari 2014
Citra
D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.