Laman

Rabu, 23 April 2014

Berterimakasih Pada Dukun di Indonesia

Dukun Manggrok dan Dukun Keliling
Di Tiongkok, orang-orang punya dongeng Pak Tua Sinting. Sebuah alasan dan motivasi yang mengajak seseorang terus bekerja, tidak menyerah. Apa yang sesungguhnya kita percaya, hingga begitu banyak orang di Nusantara hidup bermalas-malasan dan menunggu nasib baik? Dongeng-dongeng macam apa yang mengilhami kita?
Pak Tua Sinting adalah dongeng tentang seorang tua yang pelan-pelan memindahkan gunung karang setiap hari. Dia melakukan sesuatu yang dianggap orang-orang bijak Tiongkok sebagai perbuatan yang mustahil. Tapi, Pak Tua Sinting tetap memindahkan batu karang sedikit demi sedikit. Esoknya ia akan melakukan hal yang sama. Jika ia mati, anak dan cucunya yang akan meneruskan.
Orang Tiongkok tidak mencatat kegilaan yang dilakukan Pak Tua Sinting. Mereka mencatat etos kerja dan semangat untuk tidak menyerah dalam menjalani kehidupan yang serba sulit. Seandainya hidup selalu berangkat dari sejarah; dari kisah-kisah yang kita anggap teladan, tentulah begitu suwung dan ngerinya manusia di bumi Nusantara.
Ya, warga Nusantara adalah orang-orang yang lahir dari semangat dan kisah-kisah heroik lagi mistis. Kita tentu mengenal dongeng Bandung Bondowoso dan Roro Jongrang. Semangat (yang kita sebut cinta) membuatnya terpaksa menerima syarat Roro Jonggrang untuk membuat seribu candi dalam satu malam agar Roro Jonggrang mau dinikahi.
Terlepas benar atau tidak kisah Pak Tua Sinting dan Bandung Bondowoso, keduanya sama-sama melakukan hal besar yang dianggap mustahil oleh banyak orang. Tapi, keduanya menempuh jalan berbeda untuk mewujudkan keinginan mereka. Pak Sinting memindah gunung karang dengan tangan setiap harinya. Bandung Bondowoso membangun candi dalam semalam dengan bantuan jin.
Mungkin yang membedakan keduanya adalah Pak Tua Sinting tidak berhasrat untuk bisa berhasil memindahkan gunung karang dalam sekali kerja. Ada kontinyuitas yang dilakukan Pak Tua Sinting yang kemudian menjadi teladan etos kerja setiap harinya.
Sedangkan kisah Bandung Bondowoso yang membangun candi dalam satu malam (mungkin) diartikan dan diteladani warga Nusantara sebagai keajaiban yang penuh mistisme. Kalau kata konservatif Jawa, apa yang diakukan Bandung Bondowoso tidak lepas dari bantuan dedemit untuk merampungkan seribu candi dalam waktu semalam, meski akhirnya Bandung Bondowoso gagal karena dicurangi Roro Jongrang.
Apa kemalasan orang-orang di bumi nusantara adalah karena mereka percaya ada keajaiban dan mistisme yang wingit yang mampu menolong mengatasi persoalan hidup mereka? Mungkin karena itu dukun-dukun masih tetap laris-manis dikunjungi. Bayangkan saja, dari kelas paling bawah-menengah dan ke atas tidak luput dari klenik dan perdukunan.
Seandainya para dukun itu hanya menipu setiap orang yang datang kepadanya, tapi kenapa banyak orang tetap percaya dukun dan pekerjaan dukun tak pernah mati? Meski orang-orang di bumi Nusantara adalah orang yang paling rajin meneriakkan modernisme dengan pinggang penuh dengan ajimat dan rapal mantra.
Saya masih ingat, gerakan remaja Islam yang bermaksud memberatntas mistisme, bidah dan tahayul. Mereka menganggap segala tahayul adalah penyebab kemalasan sosial karena hanya menunggu nasib baik tanpa bekerja. Meski gerakan ini sedikit overdosis karena mereka lupa lahir di bumi mana. Mereka lupa bila masyarakat dibesarkan dengan dongeng-dongeng penuh keajaiban yang diwariskan turun temurun. Mereka juga lupa untuk merubah nasib satu orang tidak cukup dengan bismillah. Apalagi dalam kelompok masyarakat yang lebih luas. Belum lagi yang dirubah bukanlah sesuatu yang terlihat, tapi kasat mata.
Menghakimi dan menyalahkan adalah satu hal. Tapi, melakukan sesuatu adalah sebaik-baik hal bila dalam konteks membantu masyarakat yang lebih mengenal mistisme ketimbang dirinya. Maka tidak salah kalau seorang kawan berujar, ”Saya lebih simpatik dengan dukun, ketimbang orang-orang sok yang ingin menghakimi tahayul. Meski dukun itu menipu, paling tidak sepulang dari dukun, seseorang bisa kembali menemukan kepercayaan dirinya. Dan dari situ aku lihat dukun melakukan sesuatu,” ujar kawanku. Dan rupanya kata-kata kawanku cukup masuk akal. Karena harga kepercayaan diri di tengah situasi yang menghimpit, kepercayaan diri adalah barang mahal.
Sebagaimana Bandung Bondowoso yang hanya bermodal nekat. Sebagaimana Bandung Bondowoso yang hanya bermodal amuck ketika ia ditipu Roro Jonggrang. Masyarakat juga mewarisi hal yang sama. Masyarakat juga memiliki kenekatan dan keberanian yang sama dalam menempuh banyak ketidakpastian. Kalau dalam logika ekonomi, Indoneia adalah negara miskin, tapi kita bisa saksikan mobil-mobil mewah laris manis di Indonesia. Kalau ekonom kita mengatakan bila masyarakat kita memperihatinkan, maka tunggu dulu. Rupanya kita juga perlu melihat daya beli masyarakat kita sangat tinggi. Terlepas budaya konsumtif itu buruk, tapi yang jelas hal mendasar yang perlu kita catat adalah: mereka mampu memenuhi kebutuhan mereka apapun caranya, dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dan sepertinya kita harus bertanya: apa yang tidak laku dijual di Indonesia?
Bukankah apa yang masyarakat beli dan nikmati adalah sebentuk candi yang mudah saja terbangun dalam satu malam? Bukankah hanya amuck yang mampu membuat rakyat kecil mengamuk dan menjarah untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam sekejap? Apa yang membuat seseorang berani berleha-leha ditengah kepahitan? Atau sanggup mengkredit motor meski anak mereka banyak dan kredit motor sebelumnya tak lunas. Bukankah orang di Tiongkok harus berpayah-payah sebelum menikmati mobil dan kemewahan, sebagaimana Pak Tua Sinting yang memindahkan batu karang perlahan-lahan?

Aku bersyukur menjadi warga Nusantara.

Citra D. Vresti Trisna

Yakobus, 23 April 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.