Laman

Rabu, 02 April 2014

Lelaki-hidup-sakit

Seberapa jauh kau dininabobo rasa sakit? Sedang kau ingin bijaksana tapi tak mengakrapi rasa sakit. Bukankah sebelah mata bijaksana adalah rasa?
”Lalu, Ror, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku.
”Mintalah maaf pada Tuhanmu. Yang menyusupkan cinta lewat puting susu hidup dan memancarkan segala sakit agar kau tumbuh dewasa. Kau sering menafikan cinta-Nya, bukan? Setelah kau dewasa, sebelum kesaktian itu tiba, ’berpuasalah’. Matikan ’apimu’; dendammu; yang membuatmu menjadi bonsai di tengah gelap hutan,” ujar si sudrun sebelum dia lenyap dalam kegelapan dan bergelas-gelas kopi yang belum terbayar.

#
Yang wajib dari rasa adalah luka – Danto.
Berhari-hari aku dengar lagu itu dengan murung. Menyadari betapa pedih-manisnya cara Tuhan menghidupkan rasa. Belajar memahami bila apa yang terjadi adalah jalan panjang. Dan begitu hebat siksaan ketika seseorang membangun pagar tinggi; ketakutan untuk tidak dianggap baik, dan lain sebagainya.

#
Lalu bagaimana meminta maaf pada hidup?

Rasa sakit dan kesendirian adalah jamu pahit yang merekatkan sebagian dirimu yang enggan menyatu dan berserak. Sebab kesombongan telah menjadikanmu pemanggul batu yang percuma. Ya, beban itu terus memberat di tengkukku. Dan seperti mimpi, aku lihat orang lain berlalu begitu saja; tanpa menoleh.
Tapi aku sadar, kompleksitas dan berkelindannya persoalan dan terus meruncing adalah hidup. Bila tidak pahit, mungkin apa yang kita pijak bukan lagi dunia, tapi sorga. Rori pernah bertanya: apakah sorga adalah final? Batas yang membuat seseorang menjadi gendut dan malas.
Aku ingat cerpen langit makin mendung karya seseorang yang mengaku Ki Panji Kusmin. Dalam cerpen itu Nabi Muhammad digambarkan telah bosan dengan kehidupan sorga, dan menghendaki untuk turun ke dunia dan bermaksud membereskan ”kekafiran” dunia dengan pedang. Seandainya khayalan dalam cerpen ini benar, tentu sang Nabi mencari ”sakit”. Sesuatu yang (mungkin) membuatnya terus hidup. Dan yang menarik dari pribadi nabi adalah, kenabian tak membuatnya berhenti. Ia terrus berjalan untuk sesuatu yang diyakini benar.
Ya, ada benarnya bila dalam sekali hidup, kepahitan harus ditempuh. Bila nanti ada sorga, semoga rasa bosan itu tidak ada.
Maka sebaik-baik jalan untuk memintamaaf pada hidup adalah dengan bangun dari kemalasan. Memetik dedaun papaya muda untuk mencari pahit. Mencari kesakitan yang menerbitkan rasa gigil dan gemetar. Apa ini sebentuk kesombongan?

#
Sebagai anak muda yang dibesarkan dengan sakit, kesombongan adalah keniscayaan. Sesuatu yang (mungkin) perlu terus diperjuangkan agar tetap dianggap manusia, dianggap punya harga. Bukankah kesombongan hanya diperlukan untuk paham betapa mahalnya harga diri. Betapa ia (kesombongan) merupakan anugrah sekaligus jebakan yang dititipkan Tuhan pada hambanya.

#
Perempuan! Ia punya kedigdayaan ketika dicintai. Menggergaji perlahan kesadaran sampai mematahkan kayu tua logika dan kesadaran yang kerap bebal.

Ada wangi sihir di lipatan kutangmu
Zikir terpanggang
Ada wangi sihir di liat betismu
Logikaku terpancung di tiang pancang

Kepada lelaki:

Jangan menyesali ketaklukanmu yang menjadikan kau buta. Karena dengan begitu kau tidak akan sendiri. Tapi, setelah hari menggelap, dan rasa dingin merambati punggungmu, kau akan mengerti: betapa mahal waktu yang kau habiskan hanya dengan takluk. Menyadari segalanya tak bisa diulang dan orang-orang telah pergi, dengan luka.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.