Laman

Senin, 07 April 2014

Lelaki Itu Bernama Rori

Semua orang memutuskan untuk menganggapnya gila. Dengan itu semua persoalan selesai. Tak ada yang memperdulikan dia: ucapannya, tingkahnya. Cuma sepintas sepi yang tenggelam dalam ramai Terminal Purabaya. Dia tidak lagi disebut-sebut. Tak ada yang berminat mengingatnya, juga menganggapnya ada.
Seingatku tak ada orang yang sedemikian bermuka dinding kecuali orang ini.
Berdiri berjam-jam didepan rak buku hanya untuk membaca-baca. Menyobek diam-diam buku bersegel plastik dan mengumpat: ”Untung segelnya tak di buat dari seng. Ah, bisa gawat,” ujarnya sambil tanpa sungkan menggaruk pantat.
”Kriminal,” tukasku mendesis.
 ”Ssst… Aku tak sebinal Chairil. Aku lebih berwibawa ketimbang dia. Aku cuma ikut-ikutan membuka segelnya saja. Tidak sampai nyolong. Coba dia di masa muda kenal pekerjaan mengamen. Dia pasti mengamen dulu baru ke toko buku. Jadi tak perlu nyolong.”
Terkadang dia sering mengajakku ke Siola: surga bagi para pecandu VCD film porno. ”Terkadang aku lebih memilih melihat ini daripada sekedar membaca stensilan. Karena seks adalah ritual yang paling purba dari manusia. Buku Stensilan cuma menggarami lautan,” celetuknya.
”Apa bedanya dengan VCD porno? Sama saja bukan. Menggarami lautan juga nantinya. Atau cuma akan membuat kita menjadi rajin ke kamar mandi,” kataku, tak terima.
”Bodoh. Kau anak sekolahan, bukan? Stensilan akan membawa dampak pada tulisan-tulisan kita nantinya. Kita jadi jorok. Tulisan kita akan dipenuhi diksi-diksi seputar kelamin. Lain dengan VCD porno, karena VCD porno tidak salah apa-apa. Pembuat dan pemainnya adalah sekumpulan orang baik yang mau membagikan aktivitas seksualnya dengan kita. Mereka orang-orang yang transparan. Para pejabat itu mustinya juga sering di tontonkan VCD porno agar dia bisa lebih jujur dalam berbuat, juga selalu menampilkan dirinya apa adanya,” ujarnya sambil bersungut-sungut.
Menurut dia, kalau ada waktu dan ada yang mau untuk dia jadikan lawan main. Ia tak akan segan. Apalagi seperti itu dibayar. Bagi Rori, dunia ini penuh dengan orang munafik. Kita musti menjadi tokoh yang jujur. Bahkan untuk sesuatu yang paling purba. Seseorang berani jujur karena tak butuh apa-apa. Lain dengan pejabat, presiden, atau mentri. Mereka butuh dipandang masyarakat sehingga mereka tidak sembrono dalam bersikap. Menurut dia kehidupan seksual presiden itu bisa lebih barbar ketimbang masyarakat biasa.
Kalau mereka tak butuh di pandang, mereka jadi bisa bersikap lebih leluasa. Tidak cemberut saja seperti presiden kita ini. Mereka tertekan karena tidak bisa ndugal seperti kita. Mereka sebenarnya juga ingin tampil tapi terhalang oleh posisi mereka. Mereka yang jujur hidupnya akan lebih rileks ketimbang mereka yang munafik dan bertopeng. Takut salah langkah dan bertindak.
”Bukankah sebagai manusia kita musti harus bersikap hati-hati dalam menjalani kehidupan?” tanyaku.
”Dalam konteks yang ini, mereka para kecoa-kecoa sudrun, takut salah langkah dalam berdusta. Salah langkah sekali, spekulasi mereka akan keuntungan pribadi gagal total. Hidup mereka cuma bagian dari spekulasi-spekulasi busuk untuk memperkaya diri. Merkeka akan menjaga baik-baik baju mereka agar tidak kotor meski kedalaman mereka berbau nanah. Sehingga mereka akan bersikap dibuat-buat, baik ketika bicara, bertindak, dan berpikir.”
”Kalau kau dengan mereka siapa yang lebih sableng? Sama saja bukan. Antara kau dan mereka. Sama-sama busuk. Tapi mungkin yang membedakan, kau lebih kere ketimbang mereka,” ujarku.
 ”Pada dasarnya semua manusia dilahirkan dengan komposisi busuk. Seperti sperma bapakmu. Itu kan berbau busuk…”

”Jangan bawa-bawa bapakku ketika mengambil perbandingan,” protesku.
”Itulah dasar mengapa Tuhan melarang kita untuk sombong. Karena kita terlahir dari sesuatu yang remeh. Kalau kita renungkan, apa hak kita untuk sombong? Kita bukan dari cahaya, juga api. Itulah mengapa wajar kalau setan itu sombong menolak tunduk pada kita sewaktu Adam di ciptakan. Sehingga kalau aku sama busuknya dengan mereka itu juga wajar, karena terlahir sama-sama dari lendir. Namun prinsip hidupku melarang nuraniku untuk merugikan orang lain. Spekulasiku cuma hal-hal remeh yang menyangkut seputar mencari bis di jalan, memutuskan turun atau tidak ketika macet dengan pertimbangan kita akan dapat bis lagi atau tidak. Kalau kita turun, atau bespekulasi ketika menerka daerah mana yang ada cakupan (razia pengamen). Juga spekulasi untuk sebungkus nasi, beberapa buku, dan VCD porno, juga sesekali buat merayu perempuan. Sedangkan mereka itu spekulasi yang besar, juga jahat. Mereka berspekulasi dengan jalan merugikan orang lain. Termasuk aku dan kamu sebagai orang yang dirugikan,” ujarnya, meneruskan.
”Tetap sama-sama jahat,” kataku.
”Ah, Tuhan tidak buta, juga bijaksana. Tuhan tidak sepicik hukum-hukum sekarang. Kalau hukum-hukum sekarang tidak merunut persoalan mengapa seseorang itu mencuri, membunuh, dan berbuat kejahatan. Kalaupun ada itu tidak merubah dan mempengaruhi apapun. Termasuk hukuman. Karena kesemuanya merupakan proses yang formal. 
Sedangkan Tuhan punya matematikanya sendiri yang tidak bisa kita logikakan. Itu menyangkut apa, mengapa seseorang melakukan sesuatu. Hitungannya jelas. Tidak ada yang di rugikan. Dasar mengapa aku tidak pernah percaya apapun yang ada di bumi. Karena jelas, kebenaran cuma ada di langit. Bukan di bumi manusia. Selamanya kehidupan manusia akan selalu penuh dengan cela. Dan kita hidup: makan, ngesex, sekolah, ngamen, bekerja, maling, membunuh, ya, dalam celah-celah itu saja.”
 Dan kenangan tentang dia pun tetap bersisa. Meski, sekarang Tuhan mengambilnya; mengajaknya bermain catur.

Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.