Semua orang
memutuskan untuk menganggapnya gila. Dengan itu semua persoalan selesai. Tak
ada yang memperdulikan dia: ucapannya, tingkahnya. Cuma sepintas sepi yang
tenggelam dalam ramai Terminal Purabaya. Dia tidak lagi disebut-sebut. Tak ada
yang berminat mengingatnya, juga menganggapnya ada.
Seingatku
tak ada orang yang sedemikian bermuka dinding kecuali orang ini.
Berdiri
berjam-jam didepan rak buku hanya untuk membaca-baca. Menyobek diam-diam buku
bersegel plastik dan mengumpat: ”Untung segelnya tak di buat dari seng. Ah,
bisa gawat,” ujarnya sambil tanpa sungkan menggaruk pantat.
”Kriminal,”
tukasku mendesis.
”Ssst…
Aku tak sebinal Chairil. Aku lebih berwibawa ketimbang dia. Aku cuma
ikut-ikutan membuka segelnya saja. Tidak sampai nyolong. Coba dia di masa muda kenal
pekerjaan mengamen. Dia pasti mengamen dulu baru ke toko buku. Jadi tak perlu
nyolong.”
Terkadang dia
sering mengajakku ke Siola: surga bagi para pecandu VCD film porno. ”Terkadang
aku lebih memilih melihat ini daripada sekedar membaca stensilan. Karena seks adalah
ritual yang paling purba dari manusia. Buku Stensilan cuma menggarami lautan,”
celetuknya.
”Apa bedanya
dengan VCD porno? Sama saja bukan. Menggarami lautan juga nantinya. Atau cuma
akan membuat kita menjadi rajin ke kamar mandi,” kataku, tak terima.
”Bodoh. Kau
anak sekolahan, bukan? Stensilan akan membawa dampak pada tulisan-tulisan kita
nantinya. Kita jadi jorok. Tulisan kita akan dipenuhi diksi-diksi seputar
kelamin. Lain dengan VCD porno, karena VCD porno tidak salah apa-apa. Pembuat
dan pemainnya adalah sekumpulan orang baik yang mau membagikan aktivitas
seksualnya dengan kita. Mereka orang-orang yang transparan. Para pejabat itu mustinya
juga sering di tontonkan VCD porno agar dia bisa lebih jujur dalam berbuat,
juga selalu menampilkan dirinya apa adanya,” ujarnya sambil bersungut-sungut.
Menurut dia,
kalau ada waktu dan ada yang mau untuk dia jadikan lawan main. Ia tak akan
segan. Apalagi seperti itu dibayar. Bagi Rori, dunia ini penuh dengan orang
munafik. Kita musti menjadi tokoh yang jujur. Bahkan untuk sesuatu yang paling
purba. Seseorang berani jujur karena tak butuh apa-apa. Lain dengan pejabat,
presiden, atau mentri. Mereka butuh dipandang masyarakat sehingga mereka tidak
sembrono dalam bersikap. Menurut dia kehidupan seksual presiden itu bisa lebih
barbar ketimbang masyarakat biasa.
Kalau mereka
tak butuh di pandang, mereka jadi bisa bersikap lebih leluasa. Tidak cemberut saja
seperti presiden kita ini. Mereka tertekan karena tidak bisa ndugal seperti kita. Mereka
sebenarnya juga ingin tampil tapi terhalang oleh posisi mereka. Mereka yang
jujur hidupnya akan lebih rileks ketimbang mereka yang munafik dan bertopeng.
Takut salah langkah dan bertindak.
”Bukankah
sebagai manusia kita musti harus bersikap hati-hati dalam menjalani kehidupan?”
tanyaku.
”Dalam
konteks yang ini, mereka para kecoa-kecoa sudrun, takut salah langkah dalam
berdusta. Salah langkah sekali, spekulasi mereka akan keuntungan pribadi gagal
total. Hidup mereka cuma bagian dari spekulasi-spekulasi busuk untuk memperkaya
diri. Merkeka akan menjaga baik-baik baju mereka agar tidak kotor meski
kedalaman mereka berbau nanah. Sehingga mereka akan bersikap dibuat-buat, baik
ketika bicara, bertindak, dan berpikir.”
”Kalau kau
dengan mereka siapa yang lebih sableng? Sama saja bukan. Antara kau dan mereka.
Sama-sama busuk. Tapi mungkin yang membedakan, kau lebih kere ketimbang mereka,”
ujarku.
”Pada
dasarnya semua manusia dilahirkan dengan komposisi busuk. Seperti sperma
bapakmu. Itu kan berbau busuk…”
”Jangan
bawa-bawa bapakku ketika mengambil perbandingan,” protesku.
”Itulah
dasar mengapa Tuhan melarang kita untuk sombong. Karena kita terlahir dari
sesuatu yang remeh. Kalau kita renungkan, apa hak kita untuk sombong? Kita
bukan dari cahaya, juga api. Itulah mengapa wajar kalau setan itu sombong
menolak tunduk pada kita sewaktu Adam di ciptakan. Sehingga kalau aku sama
busuknya dengan mereka itu juga wajar, karena terlahir sama-sama dari lendir.
Namun prinsip hidupku melarang nuraniku untuk merugikan orang lain. Spekulasiku
cuma hal-hal remeh yang menyangkut seputar mencari bis di jalan, memutuskan
turun atau tidak ketika macet dengan pertimbangan kita akan dapat bis lagi atau
tidak. Kalau kita turun, atau bespekulasi ketika menerka daerah mana yang ada cakupan (razia pengamen). Juga
spekulasi untuk sebungkus nasi, beberapa buku, dan VCD porno, juga sesekali
buat merayu perempuan. Sedangkan mereka itu spekulasi yang besar, juga jahat.
Mereka berspekulasi dengan jalan merugikan orang lain. Termasuk aku dan kamu
sebagai orang yang dirugikan,” ujarnya, meneruskan.
”Tetap
sama-sama jahat,” kataku.
”Ah, Tuhan
tidak buta, juga bijaksana. Tuhan tidak sepicik hukum-hukum sekarang. Kalau
hukum-hukum sekarang tidak merunut persoalan mengapa seseorang itu mencuri,
membunuh, dan berbuat kejahatan. Kalaupun ada itu tidak merubah dan
mempengaruhi apapun. Termasuk hukuman. Karena kesemuanya merupakan proses yang formal.
Sedangkan
Tuhan punya matematikanya sendiri yang tidak bisa kita logikakan. Itu
menyangkut apa, mengapa seseorang melakukan sesuatu. Hitungannya jelas. Tidak
ada yang di rugikan. Dasar mengapa aku tidak pernah percaya apapun yang ada di
bumi. Karena jelas, kebenaran cuma ada di langit. Bukan di bumi manusia.
Selamanya kehidupan manusia akan selalu penuh dengan cela. Dan kita hidup:
makan, ngesex, sekolah, ngamen,
bekerja, maling, membunuh, ya, dalam celah-celah itu saja.”
Dan
kenangan tentang dia pun tetap bersisa. Meski, sekarang Tuhan mengambilnya;
mengajaknya bermain catur.
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.