Laman

Sabtu, 27 Mei 2017

Inflasi Pahala

#DUDAKARTAdanJAKARTA7
Citra D. Vresti Trisna


Ada dua hal yang membuat Dudakarta sepi: demo bela islam dan aksi bakar lilin. Dudakarta juga akan sepi menjelang ramadhan tiba. Tentu hal semacam ini tidak lepas dari pengamatan Mas Bule selaku aktivis muda Islam yang progresif. Ia gemas dengan sikap para orang tua di Dudakarta yang terkesan dingin dan acuh dengan datangnya bulan suci. Tentu saja, pihak yang pantas digugat atas sepinya Dudakarta dari perayaan ramadhan adalah Mas Rombong. Karena berdasarkan musyawarah warga, Mas Rombong ditunjuk menjadi lurah. Dan tugas meramaikan datangnya bulan suci adalah Tugasnya sebagai lurah.
”Allah pun mengatakan bila puasa adalah ibadah khusus untukNya, kok bisa-bisanya kita tidak menyambut kedatangan ramadhan? Apa ndak sinting orang-orang ini? Kalau Rombong tidak didamprat, tentu dia akan terus-terusan sembrono dan tidak mengingatkan warganya!” kata Mas Bule, yang meluapkan protesnya di depan rumah Mas Rombong.
Meski Mas Bule memutuskan berdemo sendirian, tapi suaranya yang cempreng mengundang orang-orang keluar rumah dan menengok apa yang terjadi.
Nuwunsewu nggeh, Mas Rombong. Apa sampean ndak nonton televisi. Jakarta yang konon sekulernya naudzubilah saja menyambut ramadhan dengan gegap gempita, kok kita yang dielu-elukan keimanannya ini tidak menyambut ramadhan lebih hebat dibandingkan Jakarta?” kata Mas Bule.
”Iman saya biasa-biasa saja kok,” kata Mas Rombong. ”Ada apa ini? Sebentar lagi mau puasa, kok saya dimarah-marahi?” lanjutnya.
Mas Rombong mempersilahkan Mas Bule duduk di bale-bale. Lalu warga lainnya ikut-ikutan nimbrung. Karena tamu sudah cukup banyak, istri Mas Rombong keluar dan menghidangkan kopi dan singkong rebus.
Sambil nguntal singkong, Mas Bule ngomel soal ketidakpedulian Warga Dudakarta atas datangnya bulan ramadhan.
”Lha gimana toh le-bule. Lha saya ini aslinya ndak seneng puasa. Karena ndak seneng saya jadi ndak antusias menyambut. Bagaimana saya bisa menyambut sesuatu yang tidak saya suka? Mungkin masyarakat sedang sedih karena Allah harus ’turun’ sendiri untuk mewajibkan orang-orang berpuasa. Menggugah ketidaksukaan orang sekarang dengan berbagai cara yang teramat halus dan diplomatis.”
Rombong kembali melanjutkan, ”lha kalau manusia, yang punya kecenderungan mbalelo tidak suka puasa, itu wajar karena manusia bukan malaikat yang diciptakan patuh.”
”Kapan sampean bisa dapat pahala yang begitu besar kalau tidak di bulan Ramadhan? Kok bisa sampean sedih? Kok bisa tidak suka? Nyuwun sewu, sampean ini gendeng, ya?” kata Bule, yang sedang tak paham dengan jalan pikiran tetua Dudakarta.
”Saya ndak pernah sepakat njenengan-njenengan ini mencontoh Jakarta. Kalau sekarang mau mencontoh orang Jakarta dalam menyambut ramadhan, ya, silahkan. Karena memang sudah selayaknya menyambut ramadhan,” lanjut Bule.
Mas Rombong terkekeh dengan obrolan Mbah Ripul dan Mas Bule. Mas Rombong menepuk pundak Mas Bule dengan penuh kasih sayang sembari mengingatkan. ”Kalau misal puasa itu ndak ada pahalanya apa, ya, puasa masih disambut sedemikian megah? Gusti Allah ini sudah sangat santun mengingatkan kita. Ia mengingatkan sekaligus memberikan anugrah yang besar karena Gusti Allah ingin mengingatkan manusia dengan jalan cinta pada tabiat manusia yang punya budaya melampiaskan segalanya dengan jalan memberikan pahala berlipat-lipat. Gusti Allah tahu manusia itu kemaruk, tidak mau melakukan sesuatu meski puasa, sholat dan ibadah lainnya itu untuk manusia sendiri. Tapi Ia berbaik hati memberikan banyak pahala pada puasa manusia dimana puasa itu sebenarnya jelas-jelas untuk dirinya sendiri; untuk latihan mereka setelah ramadhan usai,” kata Mas Rombong.
Mas Rombong bercerita banyak hal tentang ramadhan. Ia mengaku sedih lantaran harus dibangunkan Gusti Allah karena menyadari betapa manusia adalah mahluk lemah dan kemaruk dan penuh pamrih. Mengapa sholat ramai-ramai ditinggalkan justru ketika ia diperintahkan lima hari sekali selama manusia hidup? Di sisi lain, sikap menahan diri yang justru untuk kebaikan manusia sendiri, justru dirayakan besar-besaran karena jadi ajang memborong pahala. Puasa sejati dan terberat itu harusnya setelah ramadhan.
”Untung pahala itu bukan barang yang kelihatan. Kalau kelihatan, mungkin bakal ada pemain kapitalisme pahala. Ada juga bank pahala, ada MLM, ada koperasi simpan pinjam pahala, ada penasihat pahala, ada tengkulak pahala, ada toko pahala, ada makelar pahala, ada istilah inflasi pahala. Popularitas pahala akan melebihi uang ketika Gusti Allah menunjukkan sorga langsung di depan manusia. Semua hal yang berkaitan dengan pahala akan dibuat, tapi sejurus kemudian kita tidak lagi menemukan Allah hadir. Manusia disibukkan dengan pahala. Jangan-jangan kalau sorga sudah bisa didatangi manusia, pasti sudah ada kontraktor yang mengkapling-kapling sorga,” kata Mbah Ripul.
”Apa maksudnya semua ini?” Mas Bule mulai gerah dan merasa disudutkan.
”Kamu ini sebagai pemuda, ya, mbok bisa berbaiksangka sedikit dengan orang tua di sini. Mungkin orang-orang sedang mengutuki dirinya sendiri karena setelah ramadhan Warga Dudakarta kembali kelepasan dan khilaf untuk kembali ke budaya melampiaskan; lupa bila pada hakikatnya hidup adalah serangkaian puasa agar tidak hancur lantaran kebanyakan melampiaskan....” kata Mas Rombong.

”Sinting... Gila... Majnun sampean-sampean di sini... ” Mas Bule mulai memaki. Sebelum ia benar-benar pergi, ia mendekat ke piring ketela, mengambil dua potong dan kemudian pergi sambil mengumpat.

Dudakarta, Sabtu Pahing, Mei 2017
Citra D. Vresti Trisna 

Next Dudakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.