Laman

Selasa, 09 Mei 2017

Kabinet Ajaib Dukun Tiban

#DUDAKARTAdanJAKARTA5
Citra D. Vresti Trisna

>>sebelumnya<<


Lama-lama warga Dudakarta gerah juga kalau setiap hari harus mengurusi rambut, gaya berpakaian atau yang lainnya. Sebagai tukang kepo cara hidup di Jakarta, warga Dudakarta tidak mau ketinggalan soal politik. Karena bagaimanapun juga nasionalisme warga Dudakarta tergolong tinggi.
Setelah cukup lama observasi tentang perpolitikan di Jakarta-Indonesia, warga Dudakarta kembali dibikin ngowoh dan terkagum-kagum. Terutama pada sistem demokrasi di Indonesia. Titik pusat kekaguman warga Dudakarta ada pada ketahanan rakyat dalam menerima ”aniaya” dan cara mereka memaafkan pihak-pihak yang menganiaya mereka.
Di mata warga Dudakarta, rakyat Indonesia memiliki kecenderungan masokis. Bila berkaca dari sejarah pergantian pemimpin, baik di sekala kelurahan sampai presiden, rakyat Indonesia tidak kapok untuk datang ke kotak suara guna memilih siapa yang jadi the next algojo ”penjagal” leher rakyat. Awalnya warga Dudakarta berpikir bila berlimpah-limpah panas matahari khatulistiwa mengkonsletkan otak rakyat Indonesia. Akibatnya, rakyat Indonesia menghapus kata trauma di pikiran mereka dan cenderung memiliki keluasan hati untuk memaafkan para penyiksanya.
Dibandingkan dengan Jerman, ketakutan negara pada pelarangan kelompok antidemokrasi membuat Hitler pada akhirnya justru terpilih dalam sistem pemilu yang demokratis. Pada awalnya Hitler dibiarkan berkuasa dengan tujuan untuk membuat rakyat sadar siapa Hitler yang sebenarnya. Tapi memang saat itu warga Jerman sedang apes, karena ternyata Hitler mampu berkuasa hingga belasan tahun sambil membawa kengerian: perang.
Pascaperang, rakyat Jerman sudah kapok-lombok dengan pemimpin anti demokrasi. Mereka sangat trauma dengan tipikal orang macam Hitler. Yang membuat heran warga Dudakarta adalah: mengapa rakyat Jerman baru dipimpin Hitler selama 12 tahun saja sudah kapok dan punya trauma berkepanjangan, sedangkan rakyat Indonesia dipimpin Soeharto yang sama ”sangar-nya” dengan hitler kok tidak kunjung kapok? Bahkan, akhir-akhir ini Soeharto ”dirindukan” lagi.
Piye kabare, le? Isih penak jamanku toh?” Celetuk Mas Rombong disambut riuh tawa pengunjung warung Mang Alim. ”Prediksi saya, kegemaran rakyat Indonesia untuk golek molo sangat berbanding lurus dengan jumlah produksi micin yang meningkat dari tahun ke tahun,” kata Mas Rombong dengan suara yang dibuat berwibawa.


Menurut analisa Mas Rombong, eksistensi Partai Golkar (meski dengan wajah baru) setidaknya menunjukkan dua hal: pertama, politisi Indonesia memang rai gedhek. Kedua, rakyat kita mampu mengelola rasa marah menjadi cinta. Bahkan raja nangis pun bisa terpilih hingga dua periode.
Rakyat mampu memaafkan kesalahan pemerintah dan parpol meski kesalahan mereka sudah terlampau besar, tanpa sedikit pun trauma. Ditambah lagi dengan era media seperti sekarang. Meski orang-orang parpol di DPR terlibat korupsi, masyarakat akan tetap percaya. Pengulangan penayangan 24 jam secara terus menerus membuat masyarakat jengah lalu akhirnya memaafkan dan kemudian melupakan. Ada kalanya kesalahan memang sengaja ditunjukkan agar orang-orang cepat terbakar, dan cepat pula redanya.
”Lha terus, bagaimana dengan Jokowi, Mbong?” Potong Wak Ebol.
”O, lain. Kalau diibaratkan kalender, Jokowi itu tanggal merah. Ia adalah musim liburan dan waktunya untuk eksperimen. Iseng-iseng nyobain model baru dari tipe pemimpin Indonesia pada umumnya. Kalau biasanya presiden kita sedikit punya potongan priyayi, tapi kali ini rakyat pengen membesarkan hati dukun tiban yang tampangnya merakyat,” potong Mbah Ripul yang sedari tadi ndempis di pojokan warung.
”Kok bisa dukun tiban?” kejar Wak Ebol lagi.
”Di planet lain, untuk diakui sebagai seorang pemimpin sejati, seseorang harus membuktikan sepakterjangnya di beberapa level. Sepak terjangnya pun harus terekam dengan baik. Jadi tidak ada yang ujug-ujug seperti Ponari, seperti dukun tiban,” kata Mbah Ripul. ”Cinderella Complex ala SBY butuh sedikit inovasi dengan cara blusukan, masuk got, naik Bajaj, dan kebijakan yang kayaknya berpihak kepada rakyat....” lanjutnya.
”Sampeyan sinis dengan Jokowi, Mbah?” kali ini Rombong yang memotong. 
”Ya, ndak toh. Justru saya ini cinta mati dengan Jokowi. Tipikal pemimpin seperti Jokowi itu harus ada untuk menambah jam terbang dan memperkaya pengalaman rakyat akan berbagai tipe pemimpin. Karena jadi bangsa besar itu tidak gratis, butuh pengalaman nangis darah beberapa kali agar tidak lagi main-main memilih pemimpin,” bantah Mbah Ripul. ”Jelek atau baik itu sangat subjektif. Negara ini diobral murah atau masih berdaulat itu juga bergantung dari cara kita melihat. Terlepas dari itu semua, masih banyak yang kagum meski buat makan besok saja masih mikir. Masih ada saja yang memaafkan. Dan saya sepakat dengan kata-kata Mas Rombong bila rakyat Indonesia itu sakti.”
Hal inilah yang membuat warga Dudakarta semakin khusyuk bertapa di Jakarta. Karena Jakarta adalah tempat ”terpanas” yang membuat cobaan puasa warga Dudakarta jadi kian berat. Selain harus menghadapi kepongahan Jakarta, warga Dudakarta juga ikut aktif merasakan pengalaman liburan dengan hidup bersama kabinet ajaib dukun tiban.


Minggu Pahing, Mei 2017

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.