Laman

Rabu, 03 Mei 2017

Nyotek Cara Hidup Jakarta

#DUDAKARTAdanJAKARTA
Citra D. Vresti Trisna

     Halo masyarakat Dudakarta! Bagaimana kabar kalian hari ini? Ya, tentu saja kalau Mbah Ripul tanya, pasti akan jawab, ”syukur Alhamdulillah. Kabar kami baik, Mbah Ripul.”
Kabar masyarakat Dudakarta pastilah baik. Berbeda dengan kota sebelah yang disebut-sebut Jakarta itu. Jakarta itu sumpek pikirannya. Ruwetnya pikiran warga Jakarta memancar ke seluruh Indonesia dan membuat wilayah lain di Indonesia ikut-ikutan ruwet. Kalau ada orang yang ndak ruwet dibawa ke Jakarta, bisa dipastikan dua-tiga hari orang tersebut akan ikut-ikutan ruwet.
Sedangkan situasi di Dudakarta itu berbeda hampir 180 derajat dengan Jakarta. Di Dudakarta itu tototentrem kertoraharjo sebagaimana Alm Kalijodo, Jakarta. Masyarakat hidup berdampingan, suka bergotong-royong, berkecukupan, dan memiliki rasa syukur yang tinggi atas rizki dari Allah. Tapi, anehnya, kondisi tersebut tidak lantas membuat masyarakat Dudakarta jadi senang. Kehidupan yang aman-nyaman tersebut dianggap kurang memberikan tantangan, sehingga masyarakat Dudakarta berusaha keras membuat Dudakarta menjadi kopian Jakarta.
”Gimana, Mbah Ripul, sebagai mbambungan, sampeyan kerasan tinggal di Dudakarta ini?” tanya Mas Rombong.
”Ya, senang ndak senang,” jawab Mbah Ripul.
”Kok bisa begitu, Mbah?”
”Senang karena sebagai manusia normal, manusia butuh suasana yang aman-tentram untuk menjalani hidup. Tapi, ndak terlalu senang karena Dudakarta tidak memberikan tantangan spiritual sebagaimana hidup di Jakarta,” kata Mbah Ripul.
”Mbah ini, ya, kok aneh-aneh saja. Bahkan warga Jakarta pun ngiri dengan kehidupan di kota kita tercinta ini. Kok bisa-bisanya Mbah Ripul ingin seperti Jakarta,” kata Rombong yang masih tak percaya dengan kata-kata mbambungan dari Jawa ini.
”Kalau kau bisa mempertahankan iman dan rajin sholat karena hidup di pondok pesantren itu lumrah, tapi bisa mempertahankan iman di doli atau Jakarta itu baru hebat.”
”Oh gitu, ya, mbah?”
”Ya, iya dong. Keimanan tanpa ujian itu hambar. Meski Allah memberikan ujian itu rata ke semua manusia, tapi paling tidak dengan hidup di lingkungan yang sedikit bisa dikatakan baik, seperti pesantren, paling tidak keimananmu tidak akan tergadai. Kalau hidup di lingkungan seperti Jakarta, siapa mau peduli dengan imanmu. Hampir semua orang mengurusi urusannya masing-masing. Dan bagi orang Jakarta, mengurusi urusan orang di Jakarta itu hukumnya makruh, kurang gawean, wagu. Itu sebabnya, saya sedikit kurang senang hidup di Dudakarta.”
Belum habis keheranan Mas Rombong, Mbah Ripul melanjutkan kata-katanya, ”sudah tidak zamannya menyepi di gunung. Sekarang waktunya melatih diri di tempat durjana. Setelah lulus, barulah boleh sesekali ke gunung untuk menyepi. Untuk berpacar-pacaran berdua dengan Allah.”
Sejak saat itu masyarakat Dudakarta berusaha nyontek cara hidup warga Jakarta agar dapat menguji iman. Kini masyarakat Dudakarta benar-benar semakin serius nyontek cara hidup dan gaya masyarakat Jakarta. Semua dikopi. Bahkan dari gaya rambut pun semuanya ditiru. Kalau dulu rambut masyarakat Dudakarta itu ikal sebahu meniru kanjeng nabi, sekarang rambut mereka dipotong pendek undercut agar semakin menyerupai Jakarta.
Kalau dulu setiap habis sholat isya berjamaah, masyarakat Dudakarta kongkownya di gardu pos kamling, sekarang beralih ke mall. Ini semua demi cita-cita luhur untuk meniru Jakarta dengan serius. Dan yang paling penting adalah agar tiap warga dapat menjadi penguji keimanan bagi warga lainnya.
Alhamdulillah sekarang rambut Mbah Ripul sudah makin hits.


Dudakarta, Rabu Pon, 3 Mei 2017

>>>next<<<




0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.