#DUDAKARTAdanJAKARTA
Citra D. Vresti Trisna
Halo masyarakat Dudakarta! Bagaimana kabar kalian hari ini? Ya, tentu saja kalau Mbah Ripul tanya, pasti akan jawab, ”syukur Alhamdulillah. Kabar kami baik, Mbah Ripul.”
Citra D. Vresti Trisna
Halo masyarakat Dudakarta! Bagaimana kabar kalian hari ini? Ya, tentu saja kalau Mbah Ripul tanya, pasti akan jawab, ”syukur Alhamdulillah. Kabar kami baik, Mbah Ripul.”
Kabar
masyarakat Dudakarta pastilah baik. Berbeda dengan kota sebelah yang disebut-sebut
Jakarta itu. Jakarta itu sumpek pikirannya. Ruwetnya pikiran warga Jakarta
memancar ke seluruh Indonesia dan membuat wilayah lain di Indonesia ikut-ikutan
ruwet. Kalau ada orang yang ndak
ruwet dibawa ke Jakarta, bisa dipastikan dua-tiga hari orang tersebut akan
ikut-ikutan ruwet.
Sedangkan
situasi di Dudakarta itu berbeda hampir 180 derajat dengan Jakarta. Di
Dudakarta itu tototentrem kertoraharjo
sebagaimana Alm Kalijodo, Jakarta. Masyarakat hidup berdampingan, suka
bergotong-royong, berkecukupan, dan memiliki rasa syukur yang tinggi atas rizki
dari Allah. Tapi, anehnya, kondisi tersebut tidak lantas membuat masyarakat
Dudakarta jadi senang. Kehidupan yang aman-nyaman tersebut dianggap kurang
memberikan tantangan, sehingga masyarakat Dudakarta berusaha keras membuat
Dudakarta menjadi kopian Jakarta.
”Gimana,
Mbah Ripul, sebagai mbambungan,
sampeyan kerasan tinggal di Dudakarta ini?” tanya Mas Rombong.
”Ya,
senang ndak senang,” jawab Mbah
Ripul.
”Senang
karena sebagai manusia normal, manusia butuh suasana yang aman-tentram untuk
menjalani hidup. Tapi, ndak terlalu senang
karena Dudakarta tidak memberikan tantangan spiritual sebagaimana hidup di
Jakarta,” kata Mbah Ripul.
”Mbah
ini, ya, kok aneh-aneh saja. Bahkan warga
Jakarta pun ngiri dengan kehidupan di
kota kita tercinta ini. Kok bisa-bisanya Mbah Ripul ingin seperti Jakarta,”
kata Rombong yang masih tak percaya dengan kata-kata mbambungan dari Jawa ini.
”Kalau
kau bisa mempertahankan iman dan rajin sholat karena hidup di pondok pesantren
itu lumrah, tapi bisa mempertahankan iman di doli atau Jakarta itu baru hebat.”
”Oh
gitu, ya, mbah?”
”Ya,
iya dong. Keimanan tanpa ujian itu hambar. Meski Allah memberikan ujian itu
rata ke semua manusia, tapi paling tidak dengan hidup di lingkungan yang
sedikit bisa dikatakan baik, seperti pesantren, paling tidak keimananmu tidak
akan tergadai. Kalau hidup di lingkungan seperti Jakarta, siapa mau peduli
dengan imanmu. Hampir semua orang mengurusi urusannya masing-masing. Dan bagi
orang Jakarta, mengurusi urusan orang di Jakarta itu hukumnya makruh, kurang gawean, wagu. Itu sebabnya, saya sedikit kurang senang hidup di Dudakarta.”
Belum
habis keheranan Mas Rombong, Mbah Ripul melanjutkan kata-katanya, ”sudah tidak
zamannya menyepi di gunung. Sekarang waktunya melatih diri di tempat durjana. Setelah
lulus, barulah boleh sesekali ke gunung untuk menyepi. Untuk berpacar-pacaran
berdua dengan Allah.”
Sejak
saat itu masyarakat Dudakarta berusaha nyontek
cara hidup warga Jakarta agar dapat menguji iman. Kini masyarakat Dudakarta
benar-benar semakin serius nyontek cara
hidup dan gaya masyarakat Jakarta. Semua dikopi. Bahkan dari gaya rambut pun
semuanya ditiru. Kalau dulu rambut masyarakat Dudakarta itu ikal sebahu meniru
kanjeng nabi, sekarang rambut mereka dipotong pendek undercut agar semakin menyerupai Jakarta.
Kalau
dulu setiap habis sholat isya berjamaah, masyarakat Dudakarta kongkownya di
gardu pos kamling, sekarang beralih ke mall. Ini semua demi cita-cita luhur
untuk meniru Jakarta dengan serius. Dan yang paling penting adalah agar tiap warga
dapat menjadi penguji keimanan bagi warga lainnya.
Alhamdulillah sekarang rambut Mbah Ripul sudah makin
hits.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.