Laman

Sabtu, 06 Mei 2017

Macet 1

#DUDAKARTAdanJAKARTA 3
Citra D. Vresti Trisna

Mbah Ripul semakin nggaya. Bahkan kini urusan beli kolor pun harus ke Jakarta. Ia ingin merasakan naik taxi dan terjebak macet seperti warga Jakarta lainnya. Awalnya ia merem melek bangga merasakan kenikmatan menjadi kota, meski matanya sesekali melirik argo yang terus bertambah. 
Satu-dua jam Mbah Ripul masih tahan. Setelah hampir tiga jam, Mbah Ripul resah karena sudah menjelang magrib tapi belum juga sampai tujuan. Padahal ia ingin sholat magrib dan isya berjamaah lalu menghadiri kenduri di rumah Wakebol. 
Ketika pikirannya sudah berlarian kesana-kemari, diam-diam Mbah Ripul melihat wajah sopir taxi yang nampak tenang dan kalem. Meski sejak awal naik hingga hampir tiga jam lamanya, Mbah Ripul tidak diajak bicara. Ia pun tidak keberatan didiamkan. Mungkin saat sopir taxi berpikir bila potongan penumpangnya ini tidak mungkin memberikan tips lebih. Atau paling parah hanya memberikan uang recehan yang sudah bau balsem.
Untuk meredakan resahnya, Mbah Ripul melihat ke luar jendela. Ia mendapati mobil berjajar ruwet tak karuan. Di kaca depan mobil pun terlihat kemacetan di sepanjang Jalan Thamrin nampak tak kelihatan ujungnya dan membuatnya semakin resah.
Setelah beberapa kali melihat keluar jendela, ia mendapati wajah sopir di balik kaca mobil juga nampak tenang. Berbeda dengan dirinya yang sudah berkali-kali menggeser tempat duduk. Sejurus kemudian ia mendapati dirinya malu setengah mati. Ia tak sanggup hidup tenang sebagaimana warga Jakarta lainnya yang juga terjebak macet. Kalau pun diantara mereka juga punya urusan yang mendesak, tapi paling tidak warga Jakarta lebih dapat menyembunyikan keresahan mereka di balik air muka yang tenang, kaku dan dingin.
AC taxi tak mampu menepis rasa panas yang keluar dari dalam dirinya lantaran sudah mendengar adzan Maghrib berkumandang dari corong mesjid di pinggir jalan raya. Karena sudah tak tahan, ia keluarkan uang seperti yang tertera di argo taxi dan keluar dari mobil.
”Lho mau kemana, pak? Ini kan belum sampai ke tujuan bapak,” tanya sopir.
"Saya turun di sini saja," kata Mbah Ripul. 
Setelah membuka pintu mobil. Mbah Ripul keluar mobil dan berlari di  antara rapatnya mobil-mobil yang berjajar rapi untuk menuju mesjid secepatnya. Ia berlari cukup lincah meski usianya sudah tidak lagi muda. Rasa malu lantaran tak sanggup bersabar menghadapi kemacetan membuatnya malu kepada semua warga Jakarta. 
Mbah Ripul mencoba menghibur dirinya sendiri dengan berpikir bila upaya keluar dari taxi adalah hal yang benar: segera lari ke mesjid karena sudah masuk waktu sholat. Tapi dalam hal kesabaran, ia merasa ditelanjangi karena tak mampu untuk bersikap tenang seperti warga Jakarta lainnya yang juga mengalami kemacetan yang sama. Ia juga sadar bila yang yang dikejar waktu sholat bukan dirinya saja; yang ingin dekat dengan Tuhan bukan dirinya saja. 

Usai sholat, Mbah Ripul menangis sesenggukan tanpa jelas sebabnya. Sebelum meninggalkan mesjid, ia mengirim Al Fatihah kepada seluruh warga Jakarta. Dan Mbah Ripul memutuskan pulang dengan jalan kaki ke kotanya yang bersahaja.


Dudakarta, Kamis Wage 4 Mei 2017

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.