Laman

Selasa, 21 Juni 2011

Tentang Perempuan

:untuk seorang perempuan yang melipat mukanya menjadi tiga ratus
“Bagaimana aku harus memanggilmu?”
“Suka-suka kau mau panggil apa.”
“Begitukah? Bagaimana kalau aku memanggilmu pink?” Kini kau tertegun.
“Mengapa? Karena warna bajuku kah?” Tukasmu sambil menilik kausmu, seperti tidak pernah melihat warna di kausmu sebelumnya. “Terserah kau saja. Tapi sepertinya aku suka nama itu.”
Aku tersenyum. Kau pun melakukan hal yang sama. Kemudian memelukku. Mencari-cari bibirku untuk kemudian kau lumat dengan rakus. Dan rasanya tubuhku seperti melayang tinggi, terbentur awan dendam yang sangat gelap. Aku tak tau apa itu. Sebab kau tak memintaku bertanya.
“Diam dan rasakan. Kalau kau merasa perlu menikmatinya. Silahkan! Aku pun tak berkeberatan.” Seperti kerbau yang di cocok hidungnya: aku diam. Seperti Musa yang tak sabar tingkah polah sang Khidir: aku tak bisa menahan hatiku untuk diam.
“Pelan, sayang. Jujur aku tak pernah membayangkan perempuan secantik kau. Apalagi untuk menikmatinya sepuasku. Aku selalu jadi bahan makian orang-orang di sekitarku, apalagi kalau sudah menyangkut urusan perempuan. Aku bodoh. Tapi sekarang seorang perempuan menyerahkan dirinya untuk ku nikmati. Dan ia sangat-sangat cantik. Entah ia sudah gila atau bagaimana menyerahkan hidupnya kepada penganggur sepertiku. Rasanya belum genap tiga jam kita berkenalan. Tapi apa perduliku.”
Semua berhenti. Kini hanya nampak kau yang tertunduk menahan malu. Dan aku memelukmu. Menenangkanmu dari gelisah yang bergantung di rautmu.
“Pink. Biar aku mengajarimu. Mari…”
Kau menyambut tanganku. Semua menjadi hening. Embun menetes membuat garis-garis tetesan. Dan malam meniupi tubuh kita yang bergulat dengan seribu dingin yang cepat saja mencair. Gemuruh di dada kita begitu hangat bagai mentari yang membangunkan kita: seperti pagi ini.
*
Aku tak pernah membayangkan apa yang sedang terjadi padaku. Maka aku meyakinkan diriku: ya, ini bukan mimpi. Sementara kau masih tertidur di pelukanku, aku terus menciumi keningmu. Merasakan dadaku berdesir memainkan rambutmu yang tergerai, mengusapnya penuh sayang. “Duh, Gusti. Dia datang dari dunia mana?”
“Ayoh, beri aku jawaban! Mengapa, Tuhan? Tak semestinya kau diam. Mengapa tidak lagi banyak bicara seperti sebelumnya.”
*
Tiba-tiba aku terkejut.
“Kau terbangun, Pink?”
“Jangan bicara yang tidak-tidak dengan Tuhanmu. Dia sudah sangat baik memberikan hadiah malam ini untuk kita.”
Kau tersenyum manis sekali. Sambil terus mengusap-usap dahiku dengan jemari lentikmu.
“Pink, apa kau tak menyesal telah memberikan semuanya untuk lelaki yang tidak kau kenal sama sekali?”
“Lalu bagaimana dengan kau? Apa kau juga mengenalku?” Ujarmu, balik bertanya.
“Aku sudah tau banyak tentang kau, Pink. Bukankah semalaman kita telah saling mengenal, dan dari caramu mencium dan memandangku, dari sana aku tau banyak hal tentang dirimu.”
Pink kembali tersenyum. “Aku selalu senang dengan caramu menyombongkan diri.” Pink semakin merapatkan pelukkannya di tubuhku. Dadaku gembung penuh sesak.
“Lalu, Pink. Mengapa lelaki macam aku yang harus kau pilih?”
“Bagaimana lagi, waktu itu cuma kau lelaki yang ku jumpai. Saat pengawal ayahku lengah, aku tak menemukan lelaki lain yang bisa kupakai untuk melampiaskan sakit hatiku pada nasib. Yah, paling tidak aku memenangkan salah satu babak hidupku untuk membalas sakit hati dan keinginanku memberontak. Meskipun aku akan tandas setelah ini.”
“Maksudmu?”
“Aku adalah perempuan yang tidak pernah bisa memiliki diriku. Bahkan untuk urusan kebahagiaan jangka panjang, orang tuaku sudah memilih calon untukku. Tak ada logika yang bisa menentang keinginan mereka. Hidupku, tubuhku, jiwaku semua mutlak milik mereka. Bahkan setelah pernikahan berlangsung, aku juga tak kunjung memiliki diriku sendiri: aku hanya dipindah tangan dari satu tangan, ke tangan lain. Semua itu atas nama kebahagiaanku. Kebahagiaan setan mana?”
“Siapa calonmu? Kau sudah mengenalnya, bukan?! Bukankah semua cuma urusan waktu sebelum akhirnya kau saling mengenal dengan calon suamimu. Seperti yang kita lakukan semalam; kita sama-sama meraba. Sama-sama buta. Sama-sama saling mengenal. Dan nyatanya semua terjadi begitu saja. Kau tak menyesalinya, bukan?”
Ia menggeleng. “Mungkin yang semalam itu berbeda, aku melakukannya atas dasar dendamku untuk memilih dengan siapa aku harus menyerahkan segalanya. Sekalipun pada akhirnya aku harus kembali pada penjaraku di rumah. Soal perwira boneka ayahku pada akhirnya akan tahu bila tubuh yang dinikmatinya sudah bukan lagi perawan, semoga dia lekas menceraikanku. Dengan begitu, mungkin aku bisa kembali mencarimu. Mencari lekaki yang sudah menumpahkan segalanya. Hidupku.”
Mendengar kata-katanya aku jadi miris. Merinding rasanya menyaksikan cara ia bicara dan menertawai nasibnya. Juga cara-caranya pasrah akan kenyataan yang dia tempuh.
“Sudahlah, mas. Apa yang kau risihkan?”
“Bagaimana kalau lelakimu tau?”
“Sudahlah, mas. Mengapa tiba-tiba kau jadi begitu bodoh. Berlakukah sewajarnya lelaki, sok pintar, sok gagah, dan sok perkasa.” Ujarmu, sambil tertawa terkikik.
“Kalau kau hidup denganku, apa kau tak takut miskin?”
“Ketimbang harus dengan lelaki kering pilihan ayahku, lebih baik aku memilih menjadi pelacurmu, mas. Begitu lebih baik.”
“Kau tau apa risikonya harus hidup denganku?”
“Mungkin aku akan miskin, itu pasti. Tubuhku akan lebih bau, dan harus menunggu tiga hari sekali harus keramas. Apa susahnya.”
“Pink. Tolong, aku serius.”
Kau kembali menahan tawa. “Mas, sejak kecil aku sudah tidak lagi bisa bebas seperti anak lainnya. Bahkan semasa sekolahpun aku harus diantar kemana-mana. Bahkan aku tidak punya teman sama sekali. Mereka takut mengenalku. Semua sudah terbalas.”
“Pink, bagaimana kalau menikahnya sekarang saja? Bagaimana kalau kita kabur dan kau tak perlu harus menikah dengan lelaki pilihan ayahmu.”
“Tidak semudah itu, mas. Tidak seperti yang mas bayangkan. Sebenarnya aku ingin demikian, tapi…”
Aku tersadar dari lamunanku. Ternyata aku tak melakukan apapun dan bersama siapapun. Dan perempuan yang ku bayangkan tetap berdiri tegak di samping seorang pesuruh (mungkin pengawal) bertubuh tinggi kekar, jangkung, tapi bodoh karena terus di suruh-suruh perempuan cantik itu.
Kini perempuan itu menoleh ke arahku. Dan…

Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.