Laman

Selasa, 21 Juni 2011

melihat orang berkasih-kasih: aku menulis


: Melihat dua orang pemuda berkasih-kasih, aku menulis

Kita memang pernah bertemu untuk sekedar bercinta-cintaan. Banyak malam kita lewati berdua, untuk sekedar suka, merindukan, dan banyak malam yang kita ingat betul bagaimana persisnya. Dan pada saat itu, kita mengikat janji.

Namun kita telah terpisah cukup lama. Menjalani kehidupan dengan jalan kita masing-masing: kau menikah dan aku kuliah lagi dan mengembara. Entah bagaimana persisnya, tapi yang jelas begitu sakit rasanya untuk menganang masa-masa kita saling menangisi diri karena dikhianati nasib. Seingatku kita menangis saat gelap mendatangi kita, di pinggiran jalan kita saling mengucapkan selamat berpisah dan peluk cium sekedarnya sebagai tanda cerita telah usai.

Kau pergi dan harus menjalani hidupmu dengan menikahi seorang lelaki yang baru kau kenal. Tapi ironisnya, itulah pilihanmu. Sedangkan dari jauh, aku mengutuki: menyumpah serapah pada wajah jodoh yang tak ubahnya judi lotre.

*

Di Jogja…

Kasih, sudah sepuluh tahun rupanya. Bagaimana kau sekarang? Sudah bahagiakah dengan lelakimu kini? Adakah yang bisa menandingiku dalam merayumu, membuatkan sajak cinta yang manis dan mendongengimu seusai bercinta?

Ku pikir, lelakimu tak ubahnya seperti pecundang hidup yang melewatkan harinya dengan cara yang datar. Kasih, entah setan apa yang merasuki pikiranmu hingga kau mau menyerahkan hidupmu dengan lelaki macam itu. Tapi percayalah, andai kau sekarang bahagia, ku ucapkan selamat.

“Tuhan. Seandainya ada waktu-waktu untuk…” Aku membatin. Tapi tak pernah berani untuk berharap.

Esok aku harus pulang ke kotaku. Kota dimana kita berkasih-kasih dan saling melepaskan. Kalau boleh jujur, aku merindukanmu. Meski bukan untuk memilikimu lagi, bukan dosa kiranya bila memandangmu sejenak. Untuk sekedar bertegur sapa, tersenyum, dan menggembungi dada kita dengan kenangan yang telah lewat; memanggilnya kembali.

Seandainya aku bisa sedikit menahanmu lebih lama, mungkin hidupku tak akan seperti ini. Akan ada banyak cinta nantinya, tertawa-tawa diantara ramai anak kita yang nakal. Atau kau yang menghabiskan sepanjang malam untuk saling berkasih-kasih.

Mengandai-andai itu bodoh. Sakit.
*

Sidoarjo…

Kau tersenyum cukup lebar sore itu. Kelelakian sebagai benteng terakhir air mataku tak lagi bisa menghalau. Mataku sembab: aku menangis, juga kau. Tak ada lagi batas, akal dan kesadaran. Kita berpelukan dengan begitu erat. Menenggak anggur kerinduan dari dahaga akan mabuk sepuluh tahun terakhir.

Aku tau persis akalmu memang untuk lelakimu, sedang hatimu milikku. Aku tau, kau tak bisa bohong padaku.

Sudah banyak yang berubah selama sepuluh tahun ini: empat tahun yang lalu kau bercerai dari suamimu. Kini kau hidup dengan seorang anak kecil yang cukup tampan.

Nah pertemuan itu terasa sangat manis. Semua tercurahkan di pojokan warung kecil pinggiran jalan itu. Dan tidak ada yang berubah: kita berpelukan seperti sepuluh tahun lalu. Hangat kecupanmu. Semuanya. Tak ada yang berubah.

“Bodoh. Mengapa kau tak mencariku, menghubungiku empat tahun lalu. Bukankah aku pernah berjanji untuk selalu menjadi rumah terhangat untuk kembali?”

Tak berjawab. Kau menggeleng sembari terus manangis. Aku memelukmu sekali lagi. “Ya, sayang. Kita akan menikah. Dalam waktu dekat ini. Bulan ini, minggu ini. Ku rasa esok juga bisa. Kau sudah mengunggu saat-saat seperti ini, bukan?”

Tak berjawab. Kau menangis, mengerang. Kini anakmu ikut menangis bergelayutan di kakimu. Mungkin ia takut denganku.

Ku gendong anak kecil itu. Ia semakin menangis.

Kau mengambilnya dari gendongaku. “Maaf, mas. Esok aku sudah akan menikah lagi. Seandainya aku tau ada hari ini. Pernikahanku yang ke dua tak akan akan terjadi. Aku akan menunggumu. Tapi seperti katamu dulu…”

Semuanya menggelap begitu saja. Kau berlalu dan harus kembali pergi. Untuk yang ke dua kali. Atau mungkin untuk selamanya.

Sore merambat pelan. Menjadi malam.

Maaf, ini hanya lamunan saya ketika melihat dua orang yang berelukan di pinggir jalan. Tiba-tiba bukuku penuh dengan tulisan yang seperti and abaca barusan. Menggelikan? Memang. Aku juga merasa demikian.

Tapi inilah spontanitas. Dibawah kuasa bawah sadar, tanpa secuilpun akal ambil bagian. Terkadang aku berpikir, memang tidak bijak mempercayai sesuatu yang spontan. Sebab ia akan membuatmu, cepat atau lambat, melakukan hal yang sama: spontan.


Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.