Laman

Jumat, 24 Januari 2014

Ayat-ayat Straight News




Kita hanya akan mati muda bila tak pandai memaafkan. Apa benar demikian?

Mungkin persoalan memaafkan bisa jelas ketika kita berbaiksangka dengan maksud Tuhan mengirimkan demokrasi dari kemolekan media — yang menggoda sekaligus menguji kesabaran kita lewat berita-berita straight news.

Tanpa straight news kita hanya manusia-manusia kerdil dengan wajah muram karena menyimpan banyak dendam. Straight news adalah jalan sunyi agar kita bisa lebih dekat dengan banyak kebinalan. Lalu, perlahan namun pasti, ia terus mendera kita dari hari ke hari. Sampai akhirnya kita akrab dengan kejahatan; memaklumi; memaafkan.  Ketika media berupaya menggiring masyarakat lewat berbagai metode konstruksi realitas untuk dibawa hanyut dan ikut membicarakan sesuatu yang dianggap penting media.

Mungkin setelah melihat headline media dengan beritanya yang khas, membuat kita merasa jengkel dengan keadaan. Tapi, ketika kita telah mencoba membenturkan kepala dan sadar bila tak ada peluang yang bisa diambil kecuali menggerutu, kita baru sadar: ekskapisme memang perlu dituntaskan. Dan ekskapisme itu ikut tertuang bersama kopi pahit yang kita seruput di beranda rumah sambil membaca koran.

Ya, ketidakmampuan kita untuk bisa mengambil peran hanya bisa kita wujudkan dengan menjadi penonton yang baik; pembaca koran yang baik. Dan pembaca koran yang baik adalah mereka yang sabar menunggu episode drama tamat dan berganti telenovela baru lainnya dengan tema senapas: korupsi, penyelewengan, barbarisme, dll.

Pada situasi inilah kita mengakrabi kejahatan lebih dari suami-istri kita. Sehingga seolah-olah kejahatan adalah bagian dari hidup kita.

Kejahatan diputar dalam bentuk straight news secara terus-menerus seperti lagu muram di mp3. Dan pertanyaannya kemudian: adakah sesuatu yang lebih membosankan ketimbang bosan? Atau bila pertanyaannya direvisi lagi: ke mana kebosanan kita akan bermuara?

Mungkin karena straight news terlampau pendek dan lugas. Sehingga ia langsung tembus ke jantung. Dan saat itu pula, adrenalin kita terpacu. Sehingga kita jadi tak sabar untuk menunggu berita-berita selanjutnya. Ya, semuanya seperti sinetron dengan kompleksitas melodrama yang apik.

Demokrasi — omongan-omongan orang banyak yang seakan hanya kita temukan lewat lembar-lembar kertas buram yang dicetak dan disebar luas; lewat sebuah layar kaca di ruang tamu — membawa kita di sebuah alam pseudo. Apa benar dunia telah jadi sempit dan terwakilkan dalam sebuah straight news dan editorial provokatif seperti di televisi?

Kalau Emha Ainun Nadjib tak bosan-bosan mengingatkan bila masyarakat kita adalah bangsa besar karena mampu bertahan dari terpaan badai. Lalu kita juga disugesti bila bangsa Indonesia adalah pemimpin dunia karena ketangguhan mental dan kreativitas warisan leluhur. Apa benar faktanya demikian? Tapi, yang justru saya kuatirkan adalah, pendeknya straight news warisan demit demokrasi turut membuat pendek otak kita. Meski di sisi lain, kita mendapat suplay kesabaran karena terpaan media membuat kita sublim pada gejala-gejala.

Pernahkah sekali waktu kita menemukan diri kita menyaksikan bencana kelaparan dengan perasaan datar? Pernahkah sekali waktu kita mendiskusikan kemiskinan dalam seminar dan sepulang diskusi merencanakan mengunjungi mall dan menonton bioskop?

Tapi terus terang rasa terimakasih yang dalam saya persembahkan kepada straight news yang telah melatih saya dan hampir seluruh masyarakat untuk tegar pada kebengisan. Biar kebengisan di dunia ini ribuan jumlahnya, tapi selama straight news masih ada, aku tak akan kawatir banyak orang stres karena gantung diri.

Kontinyuitas straight news selain menjungkir balikkan teori agenda setting juga menjadi resep awet muda Bangsa Indonesia. Mungkin apa yang disebut mati dengan cara tertawa adalah Indonesia hari ini. Ketika seseorang tak menjadi benar-benar sedih menyaksikan ribuan orang mati kelaparan. Juga tak begitu bersyukur mendapat gaji tinggi hingga merasa perlu jadi maling dan membandit. Tak merasa geram menyaksian salah satu caleg di Sampang-Madura tiba-tiba jadi jago kungfu ketika balihonya diturunkan satpol pp.

Kelak, di suatu hari yang biasa-biasa saja. Kita tak akan menyaksikan anak-anak kita dilahirkan dengan menangis, tapi tertawa riang.

Dunia memang sebentar dan sementara. Tapi, alangkah indahnya kesementaraan ini kita warnai dengan banyak tawa. Selama toko demokrasi masih menjual lawakan-lawakan segar dan mainan baru, kita tak akan bersedih. Bukankah Tuhan tak menyuruh kita bersedih karena kita diperintahkan untuk membaca dengan nama Tuhan. Dan mungkin Tuhan lupa untuk menyampaikan bila bacaan yang benar dan membahagiakan adalah membaca media. Sebab ada ayat-ayat straight news di sana; ayat yang mengantarkan kita pada kesedihan sesaat lalu setelah beberapa saat lagi tersenyum kemudian.

Tabik untuk produsen-produsen sejarah yang menyuapiku dengan sarapan bergizi.

Ia dekat. Dekat sekali, lebih dekat dari Tuhan. Karena kita bisa menjadi aktor atau korban tanpa rasa rikuh. Kalau bukan di jaman sudrun: siapa berani pamer korupsi tanpa tedeng aling-aling; melenyapkan fakta hanya karena recehan dua setengah juta?

Sampang, 23 Januari 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.