Mungkin persoalan memaafkan bisa jelas ketika kita
berbaiksangka dengan maksud Tuhan mengirimkan demokrasi dari kemolekan media — yang
menggoda sekaligus menguji kesabaran kita lewat berita-berita straight news.
Tanpa straight
news kita hanya manusia-manusia kerdil dengan wajah muram karena menyimpan
banyak dendam. Straight news adalah
jalan sunyi agar kita bisa lebih dekat dengan banyak kebinalan. Lalu, perlahan
namun pasti, ia terus mendera kita dari hari ke hari. Sampai akhirnya kita
akrab dengan kejahatan; memaklumi; memaafkan. Ketika media berupaya menggiring masyarakat
lewat berbagai metode konstruksi realitas untuk dibawa hanyut dan ikut
membicarakan sesuatu yang dianggap penting media.
Mungkin setelah melihat headline media dengan beritanya yang khas, membuat kita merasa
jengkel dengan keadaan. Tapi, ketika kita telah mencoba membenturkan kepala dan
sadar bila tak ada peluang yang bisa diambil kecuali menggerutu, kita baru
sadar: ekskapisme memang perlu dituntaskan. Dan ekskapisme itu ikut tertuang
bersama kopi pahit yang kita seruput di beranda rumah sambil membaca koran.
Ya, ketidakmampuan kita untuk bisa mengambil peran
hanya bisa kita wujudkan dengan menjadi penonton yang baik; pembaca koran yang
baik. Dan pembaca koran yang baik adalah mereka yang sabar menunggu episode
drama tamat dan berganti telenovela baru lainnya dengan tema senapas: korupsi,
penyelewengan, barbarisme, dll.
Pada situasi inilah kita mengakrabi kejahatan lebih
dari suami-istri kita. Sehingga seolah-olah kejahatan adalah bagian dari hidup
kita.
Kejahatan diputar dalam bentuk straight news secara terus-menerus seperti lagu muram di mp3. Dan
pertanyaannya kemudian: adakah sesuatu yang lebih membosankan ketimbang bosan?
Atau bila pertanyaannya direvisi lagi: ke mana kebosanan kita akan bermuara?
Mungkin karena straight
news terlampau pendek dan lugas. Sehingga ia langsung tembus ke jantung.
Dan saat itu pula, adrenalin kita terpacu. Sehingga kita jadi tak sabar untuk
menunggu berita-berita selanjutnya. Ya, semuanya seperti sinetron dengan kompleksitas
melodrama yang apik.
Demokrasi — omongan-omongan orang banyak yang seakan
hanya kita temukan lewat lembar-lembar kertas buram yang dicetak dan disebar luas;
lewat sebuah layar kaca di ruang tamu — membawa kita di sebuah alam pseudo. Apa benar dunia telah jadi
sempit dan terwakilkan dalam sebuah straight
news dan editorial provokatif seperti di televisi?
Kalau Emha Ainun Nadjib tak bosan-bosan mengingatkan
bila masyarakat kita adalah bangsa besar karena mampu bertahan dari terpaan
badai. Lalu kita juga disugesti bila bangsa Indonesia adalah pemimpin dunia
karena ketangguhan mental dan kreativitas warisan leluhur. Apa benar faktanya
demikian? Tapi, yang justru saya kuatirkan adalah, pendeknya straight news warisan demit demokrasi
turut membuat pendek otak kita. Meski di sisi lain, kita mendapat suplay
kesabaran karena terpaan media membuat kita sublim pada gejala-gejala.
Pernahkah sekali waktu kita menemukan diri kita
menyaksikan bencana kelaparan dengan perasaan datar? Pernahkah sekali waktu
kita mendiskusikan kemiskinan dalam seminar dan sepulang diskusi merencanakan
mengunjungi mall dan menonton bioskop?
Tapi terus terang rasa terimakasih yang dalam saya persembahkan
kepada straight news yang telah
melatih saya dan hampir seluruh masyarakat untuk tegar pada kebengisan. Biar
kebengisan di dunia ini ribuan jumlahnya, tapi selama straight news masih ada,
aku tak akan kawatir banyak orang stres karena gantung diri.
Kontinyuitas straight news selain menjungkir
balikkan teori agenda setting juga menjadi resep awet muda Bangsa Indonesia.
Mungkin apa yang disebut mati dengan cara tertawa adalah Indonesia hari ini.
Ketika seseorang tak menjadi benar-benar sedih menyaksikan ribuan orang mati
kelaparan. Juga tak begitu bersyukur mendapat gaji tinggi hingga merasa perlu
jadi maling dan membandit. Tak merasa geram menyaksian salah satu caleg di
Sampang-Madura tiba-tiba jadi jago kungfu ketika balihonya diturunkan satpol
pp.
Kelak, di suatu hari yang biasa-biasa saja. Kita tak
akan menyaksikan anak-anak kita dilahirkan dengan menangis, tapi tertawa riang.
Dunia memang sebentar dan sementara. Tapi, alangkah
indahnya kesementaraan ini kita warnai dengan banyak tawa. Selama toko
demokrasi masih menjual lawakan-lawakan segar dan mainan baru, kita tak akan
bersedih. Bukankah Tuhan tak menyuruh kita bersedih karena kita diperintahkan
untuk membaca dengan nama Tuhan. Dan mungkin Tuhan lupa untuk menyampaikan bila
bacaan yang benar dan membahagiakan adalah membaca media. Sebab ada ayat-ayat straight news di sana; ayat yang
mengantarkan kita pada kesedihan sesaat lalu setelah beberapa saat lagi
tersenyum kemudian.
Tabik
untuk produsen-produsen sejarah yang menyuapiku dengan sarapan bergizi.
Ia
dekat. Dekat sekali, lebih dekat dari Tuhan. Karena kita bisa menjadi aktor
atau korban tanpa rasa rikuh. Kalau bukan di jaman sudrun: siapa berani pamer
korupsi tanpa tedeng aling-aling; melenyapkan fakta hanya karena recehan dua
setengah juta?
Sampang,
23 Januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.