Kata
orang tahun 2014 adalah tahun berbaik sangka. Tahun dimana orang-orang harus
belajar lagi menjadi manusia. Tapi, dimana kemanusiaan itu?
Saya boleh saja sekolah tinggi sampai
bosan; sampai jatuh tersungkur setelah sadar itu semua tidak ada artinya
kecuali kebutuhan eksistensi yang kerdil. Pendidikan yang diharapkan membuat
kita (sok) mengerti bagaimana hidup; memahami jalan pikiran masyarakat hanya
membuat kita semakin terasing di ”rumah” sendiri.
Seorang yang saya anggap cendekiawan
pernah berkata, ”Semakin kau pelajari apa itu ’orang Indonesia’ semakin kau
bertambah dungu.” Saya tidak menyalahkan pandangan itu, karena di satu sisi itu
masuk akal.
Saya sepenuhnya sadar bila kemanusiaan
tidak lahir tanpa proses memanusiakan manusia. Sedangkan untuk memanusiakan
manusia butuh perasaan untuk saling mengerti dan mamahami sesama. Atau mungkin
yang lebih ekstrim: memaafkan (sesuatu yang kita anggap) sebagai kekhilafan.
Dan rupanya, setelah berupaya menjadi manusia, saya jadi mengerti: kemanusiaan
adalah jalan panjang, berliku dan mungkin jutaan manusia hari ini masih tak
kunjung menjadi manusia.
Sejak dulu hingga beberapa waktu
terakhir ini banyak orang mengatakan bila saya ini terlalu frontal dan terlalu
tegang menghadapi gejala sosial yang menurut masyarakat adalah hal lumrah. Saya
dianjurkan untuk tidak menggunakan istilah-istilah yang mungkin tabu di
masyarakat seperti halnya (maaf, sekali lagi mohon maaf) ”kelamin”.
Saya berpikir sekali lagi: apa ada yang
salah dengan kata itu? Sebuah piranti dan asal-usul sejarah manusia. Bukankah
kelamin adalah hal yang suci. Sehingga karena kesuciannya, Tuhan menyuruh kita
tidak mengeluarkannya sembarangan di tempat umum, di rumah-rumah pelacuran,
atau di pendopo kabupaten. Kalau kemudian kata-kata itu ditabukan masyarakat
karena ia keluar dalam tulisan, sementara orang-orang seperti tak pernah merasa
berdosa mengeluarkannya di sembarang tempat. Tunggu! Apa saya sudah gila? Apa
protes saya ini merupakan gejala awal bila saya ini masih belum pantas disebut
manusia?
Kalau masyarakat berani mentabukan
persoalan kelamin, yang mungkin seandainya itu benar-benar dipakai sembarangan
kerugiannya hanya antara satu dua tiga orang saja. Tapi, apa masyarakat sudah
punya keberanian untuk serius mentabukan KKN? Sesuatu yang punya dampak begitu
kompleks dan menggurita. Atau mungkin berani menganggap tabu perilaku
membiarkan kezaliman dan menganggap lumrah maling.
Tapi, sekali lagi saya tekankan. Ini
adalah koreksi untuk kemanusiaan saya sendiri, lain tidak. Karena untuk apa
saya jauh-jauh datang ke tempat ini kecuali untuk belajar menjadi manusia.
Lagi-lagi saya tidak mampu menerima dan
memaafkan hal di sekeliling dan di sekitaran masyarakat sebagai sesuatu yang lumrah
sebagaimana orang kebanyakan. Memang benar bila saya ini masih ”orang” biasa,
belum menjadi ”manusia”. Tapi, rupanya Tuhan tidak salah menempatkan saya di
Madura ini. Pasalnya, di tempat ini saya dipaksa untuk memahami, mentolelir dan
memaafkan banyak hal di luar logika kewarasan saya.
Madura
wisata kemanusiaan
Ya, kini saya menemukan sisi lain
eksotisme Madura. Tempat untuk belajar memahami, memaafkan dan belajar
kebijaksanaan dari masyarakatnya sebelum benar-benar menjadi manusia.
Kalau Madura — seperti apa yang ada
dalam pikiran orang-orang di luar pulau Madura — percayalah, segalanya, tidak
berangkat dari sebuah proses yang singkat. Ada yang menarik di pulau ini,
ketimbang kekeringan dan banjir besar yang sudah jadi rutinitas.
Kalau wisata di pulau ini tidak laku,
mungkin banyak orang salah terka dan tidak menilik sesuatu yang paling
potensial, yakni: kawah candradimuka untuk menjadi manusia. Karena di tempat
ini segalanya jadi nihil. Rumus-rumus ditelanjangi. Teori hanya tinggal nama.
Mungkin itu sebabnya orang Madura bisa hidup dimana saja. Nyelempit di tengah hiruk pikuk kota dan kampung-kampung padat
penduduk. Mungkin ketika mereka pergi meninggalkan pulau ini, secara tidak
langsung mereka telah mendapat sebuah predikat: manusia.
Dalam hal ini saya tidak ingin
mengatakan bila kemanusiaan hanya bisa lahir dari Madura. Tapi, mungkin saya
percaya pada hal ini: manusia adalah masterpiece ciptaan Tuhan, karena itu
siapa saja yang hadir dan berinteraksi baik secara verbal dan non verbal
merupakan ”ayat” yang dikirimkan Tuhan pada kita. Sehingga dimana pun
tempatnya, selama kita bisa memaafkan dan mencari sisi baik, saat itu kita akan
bisa menjadi manusia.
Karena (kata orang yang menurutku waras)
keburukan dan barbarnya orang lain pada kita adalah sebentuk cinta Tuhan yang
aneh pada hambanya. Atau istilahnya sebagai penguji keimanan seseorang — sudah
mampukah kita menjadi manusia?
Ya, menjadi manusia itu tidak gampang.
Meskipun bertahun-tahun kita membusuk di pondok pesantren, ketika gagal
memahami orang lain, saat itu kita ”batal” menjadi manusia. Apalagi merasa
paling... Merasa seakan-akan surga akan dikapling sendiri bersama sanak famili.
Mungkin sekumpulan orang yang percaya
pada ritus atau laku; tapa nggendeng
sedang belajar dekat dengan Tuhan dari ketertindasannya disepelehkan orang
lain. Mungkin sekumpulan orang yang sedang ritual tersebut percaya bila sekali
mereka diremehkan, saat itu pula ia jadi lebih tinggi derajadnya dari si
penghardik.
Seandainya pelaku ritual nggendeng tersebut benar, betapa
celakanya kita. Begitu sulitnya kebaikan-kebaikan yang kita susun bak istana
pasir, tapi mendadak harus kandas karena menyepelehkan orang lain; merasa
paling. Ya, begitu sulitnya hidup. Menjadi manusia yang mendekat-dekat ke Tuhan
memang tak jauh berbeda seperti membangun istana pasir: mudah berdiri dan mudah
roboh.
Atau mungkin lagi-lagi kita semua sedang
kalap. Kita lupa bila Tuhan tidak bisa disogok, dirayu, atau dikonstruksi
barbarnya alat demokrasi.
Sampang,
12 Januari 2014
1 komentar:
Betul sis, saya kuliah, tapi pelajaran hidup lebih banyak didapat di luar kampus
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.