Laman

Minggu, 12 Januari 2014

Belajar Jadi ”Manusia”

Kata orang tahun 2014 adalah tahun berbaik sangka. Tahun dimana orang-orang harus belajar lagi menjadi manusia. Tapi, dimana kemanusiaan itu?

Saya boleh saja sekolah tinggi sampai bosan; sampai jatuh tersungkur setelah sadar itu semua tidak ada artinya kecuali kebutuhan eksistensi yang kerdil. Pendidikan yang diharapkan membuat kita (sok) mengerti bagaimana hidup; memahami jalan pikiran masyarakat hanya membuat kita semakin terasing di ”rumah” sendiri.

Seorang yang saya anggap cendekiawan pernah berkata, ”Semakin kau pelajari apa itu ’orang Indonesia’ semakin kau bertambah dungu.” Saya tidak menyalahkan pandangan itu, karena di satu sisi itu masuk akal.
Saya sepenuhnya sadar bila kemanusiaan tidak lahir tanpa proses memanusiakan manusia. Sedangkan untuk memanusiakan manusia butuh perasaan untuk saling mengerti dan mamahami sesama. Atau mungkin yang lebih ekstrim: memaafkan (sesuatu yang kita anggap) sebagai kekhilafan. Dan rupanya, setelah berupaya menjadi manusia, saya jadi mengerti: kemanusiaan adalah jalan panjang, berliku dan mungkin jutaan manusia hari ini masih tak kunjung menjadi manusia.

Sejak dulu hingga beberapa waktu terakhir ini banyak orang mengatakan bila saya ini terlalu frontal dan terlalu tegang menghadapi gejala sosial yang menurut masyarakat adalah hal lumrah. Saya dianjurkan untuk tidak menggunakan istilah-istilah yang mungkin tabu di masyarakat seperti halnya (maaf, sekali lagi mohon maaf) ”kelamin”.

Saya berpikir sekali lagi: apa ada yang salah dengan kata itu? Sebuah piranti dan asal-usul sejarah manusia. Bukankah kelamin adalah hal yang suci. Sehingga karena kesuciannya, Tuhan menyuruh kita tidak mengeluarkannya sembarangan di tempat umum, di rumah-rumah pelacuran, atau di pendopo kabupaten. Kalau kemudian kata-kata itu ditabukan masyarakat karena ia keluar dalam tulisan, sementara orang-orang seperti tak pernah merasa berdosa mengeluarkannya di sembarang tempat. Tunggu! Apa saya sudah gila? Apa protes saya ini merupakan gejala awal bila saya ini masih belum pantas disebut manusia?

Kalau masyarakat berani mentabukan persoalan kelamin, yang mungkin seandainya itu benar-benar dipakai sembarangan kerugiannya hanya antara satu dua tiga orang saja. Tapi, apa masyarakat sudah punya keberanian untuk serius mentabukan KKN? Sesuatu yang punya dampak begitu kompleks dan menggurita. Atau mungkin berani menganggap tabu perilaku membiarkan kezaliman dan menganggap lumrah maling.
Tapi, sekali lagi saya tekankan. Ini adalah koreksi untuk kemanusiaan saya sendiri, lain tidak. Karena untuk apa saya jauh-jauh datang ke tempat ini kecuali untuk belajar menjadi manusia.

Lagi-lagi saya tidak mampu menerima dan memaafkan hal di sekeliling dan di sekitaran masyarakat sebagai sesuatu yang lumrah sebagaimana orang kebanyakan. Memang benar bila saya ini masih ”orang” biasa, belum menjadi ”manusia”. Tapi, rupanya Tuhan tidak salah menempatkan saya di Madura ini. Pasalnya, di tempat ini saya dipaksa untuk memahami, mentolelir dan memaafkan banyak hal di luar logika kewarasan saya.

Madura wisata kemanusiaan

Ya, kini saya menemukan sisi lain eksotisme Madura. Tempat untuk belajar memahami, memaafkan dan belajar kebijaksanaan dari masyarakatnya sebelum benar-benar menjadi manusia.

Kalau Madura — seperti apa yang ada dalam pikiran orang-orang di luar pulau Madura — percayalah, segalanya, tidak berangkat dari sebuah proses yang singkat. Ada yang menarik di pulau ini, ketimbang kekeringan dan banjir besar yang sudah jadi rutinitas.

Kalau wisata di pulau ini tidak laku, mungkin banyak orang salah terka dan tidak menilik sesuatu yang paling potensial, yakni: kawah candradimuka untuk menjadi manusia. Karena di tempat ini segalanya jadi nihil. Rumus-rumus ditelanjangi. Teori hanya tinggal nama.

Mungkin itu sebabnya orang Madura  bisa hidup dimana saja. Nyelempit di tengah hiruk pikuk kota dan kampung-kampung padat penduduk. Mungkin ketika mereka pergi meninggalkan pulau ini, secara tidak langsung mereka telah mendapat sebuah predikat: manusia.

Dalam hal ini saya tidak ingin mengatakan bila kemanusiaan hanya bisa lahir dari Madura. Tapi, mungkin saya percaya pada hal ini: manusia adalah masterpiece ciptaan Tuhan, karena itu siapa saja yang hadir dan berinteraksi baik secara verbal dan non verbal merupakan ”ayat” yang dikirimkan Tuhan pada kita. Sehingga dimana pun tempatnya, selama kita bisa memaafkan dan mencari sisi baik, saat itu kita akan bisa menjadi manusia.

Karena (kata orang yang menurutku waras) keburukan dan barbarnya orang lain pada kita adalah sebentuk cinta Tuhan yang aneh pada hambanya. Atau istilahnya sebagai penguji keimanan seseorang — sudah mampukah kita menjadi manusia?

Ya, menjadi manusia itu tidak gampang. Meskipun bertahun-tahun kita membusuk di pondok pesantren, ketika gagal memahami orang lain, saat itu kita ”batal” menjadi manusia. Apalagi merasa paling... Merasa seakan-akan surga akan dikapling sendiri bersama sanak famili.

Mungkin sekumpulan orang yang percaya pada ritus atau laku; tapa nggendeng sedang belajar dekat dengan Tuhan dari ketertindasannya disepelehkan orang lain. Mungkin sekumpulan orang yang sedang ritual tersebut percaya bila sekali mereka diremehkan, saat itu pula ia jadi lebih tinggi derajadnya dari si penghardik.

Seandainya pelaku ritual nggendeng tersebut benar, betapa celakanya kita. Begitu sulitnya kebaikan-kebaikan yang kita susun bak istana pasir, tapi mendadak harus kandas karena menyepelehkan orang lain; merasa paling. Ya, begitu sulitnya hidup. Menjadi manusia yang mendekat-dekat ke Tuhan memang tak jauh berbeda seperti membangun istana pasir: mudah berdiri dan mudah roboh.

Atau mungkin lagi-lagi kita semua sedang kalap. Kita lupa bila Tuhan tidak bisa disogok, dirayu, atau dikonstruksi barbarnya alat demokrasi.


Sampang, 12 Januari 2014

1 komentar:

aron mengatakan...

Betul sis, saya kuliah, tapi pelajaran hidup lebih banyak didapat di luar kampus

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.