Laman

Selasa, 28 Januari 2014

Polemik ”Jebakan Demokrasi”

Pada akhirnya semua orang akan mengulang parodi yang sama: kesadaran dan kepahaman—bagi orang sekaranghanya mungkin muncul dari sebuah situasi tragis yang menimpa dirinya. Karena membuka hati dalam ruang pemikiran adalah hal yang tabu dan sangat merendahkan drajat intelektualitas kita sebagai insan akademik.
Namun, yang paling klasik dari itu semua adalah ketika kita sadar, semua telah ”musnah”; terlambat; tinggal puing. Dan yang romantis  adalah kita menutupi kedunguan dan kedegilan masa lalu dengan menyepi karena perasaan bersalah untuk jadi begawan suci dan sebisa mungkin berusaha menyeram-nyeramkan diri agar dikeramatkan; didewakan.
Perihal membuka diri dan mengakui kebenaran membuatku teringat pada polemik antara Radar Panca Dhana (budayawan) dan Franz Magnis Suseno tentang tulisan Radar di Kompas (12/12/2013) yang membahas tentang jebakan demokrasi yang memerahkan kuping Magnis Suseno. Radar menolak keras upaya Magnis yang (seakan-akan) menganggap bila demokrasi adalah tujuan akhir. Karena menurut Radar penghambaan manusia modern pada demokrasi merupakan keputusasaan intelektual karena tidak sanggup mencari alternatif lain.
Pertanyaan Radar pada sistem demokrasi memang patut direnungkan: ”Apakah benar bila demokrasi itu begitu baik dan jitunya hingga ia menjadi pilihan tunggal, bahkan menjadi arsenal diplomasi ampuh agar kita dihargai atau dihormati dunia internasional?” Apalagi ketika kita mencoba berpikir oportunis, sejauh mana indikator Indonesia bisa diharapkan untuk menjadi juru selamat atas nasib bangsa ini dari keterpurukan?
Mengacu dari sejarahnya, Soekarno yang waktu itu tidak dapat menutup mata bila banyak masyarakat terpelajar sedang disilaukan oleh konsep demokrasi. Sehingga atas nama trend, demokrasi terpimpin hasil dari kompromi pribadinya dengan sistem demokrasi yang kemudian diberlakukan sebagai sebuah demokrasi terpimpin. Meski pada akhirnya, kita hanya mendapati kengerian yang di tahun 1959 ketika kosmetik demokrasi terpimpin tidak berjalan dan akhirnya segala keputusan hanya bermuara pada apa yang dititahkan Soekarno.
Pertanyaan Radar juga membuat kita diingatkan bila negara-negara maju dan besar justru berada di luar dari prinsip-prinsip demokrasi dan sangat feodal. Namun, ironisnya negara-negara tersebut rela dan begitu gencar menggelontorkan uang jutaan dolar untuk memaksakan demokrasi apapun caranya. Bisakah kita mentolelir ribuan nyawa dihamburkan untuk sebuah kembang kertas yang menarik untuk didengar bualannya tapi tidak sesuai kemudian.
Apakah Magnis menutup mata bila pemaksaan demokrasi hari ini tidak lain adalah membuat sebuah jerat ketika sebuah negara menerima air bah kebijaksanaan dan modernitas sebagai tuhan baru dalam kehidupan mereka kemudian. Maka, kalau Magnis tidak dapat menjawab hal ini, sebaiknya ia memikirkan kembali pertanyaan Radar: benarkah demokrasi adalah ”rampokan gagasan” dari negeri maritim Yunani yang digunakan untuk melegitimasi dominasi kekuatan elit atau pemodal.
Tapi, boleh jadi apa yang diungkapkan Magnis—rakyat yang senang menghormati keputusan yang diambil berdasarkan aturan demokratis—itu juga ada benarnya. Hari ini, kita sedang melihat kondisi kolektif masyarakat yang kerap dibakar amarah hanya karena kemampuan mereka menerima aturan yang disepakati bersama masih buruk. Meskipun pernyataan itu tidak etis apabila tidak kita kembalikan dalam diri kita: bisakah kita menerima kekalahan sedangkan sejak lahir, gemerlapnya air bah demokrasi yang menyuburkan kapitalisme dan mendidik masyarakat untuk berpikir praktis.
Demokrasi yang kemudian membawa kontainer-kontainer eropa ke dalam kamar tidur dan meja makan membuat setiap orang tidak punya alternatif lain kecuali berjuang untuk dirinya sendiri karena merasa: siapapun pemimpinnya, meski terpilih berdasarkan sesuatu yang katanya demokratis, tidak banyak membawa perubahan dalam hidup masyarakat. Sehingga terwakilkan atau tidak suara mereka untuk pemimpin baru tidak akan membawa dampak dan perubahan.
Magnis tidak salah ketika ia menganggap bila demokrasi lewat konsep publik sphere berhasil membendung DPR yang hendak mengerdilkan KPK karena kekuatan opini publik masyarakat masih sangat diperhitungkan. Namun, satu sisi ia lupa, bila demokrasi seharusnya merupakan kesadaran yang harus dimiliki oleh dua kutub: masyarakat dan pemerintah. Dan hari ini, bisakah kita mengatakan demokrasi memang dikehendaki masyarakat bila KPU sebagai salah satu ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi sudah mulai kehilangan akal sehat dan kepercayaan diri ketika dihantam realitas golput sejak tahun 1999-2009. Sehingga pada akhirnya muncul ide-ide frustasi: relawan demokrasi.
Mungkin Magnis tidak perlu terlalu demonstratif menanggapi statement Radar dengan menghadirkan angka-angka statistik pembunuhan dan pelanggaran HAM. Karena masyarakat hari ini sudah cukup mengerti kemana demokrasi kita berkiblat? Berapa banyak nyawa ditumbangkan untuk memaksakan demokrasi itu masuk? Selain itu, Magnis tidak perlu terlalu gusar dengan membawa kasus Kedung Ombo sebagai perbandingan. Ia juga tak perlu membawa Kontras untuk melakukan pencatatan orang hilang. Karena yang sebenarnya perlu kita hitung adalah berapa banyak pengusiran masyarakat dan pembebasan tanah dengan harga rendah untuk pembangunan mall dan kepentingan modal multinasional? Berapa banyak orang kehilangan jatidiri karena demokrasi tidak "melenyapkan" orang, tapi, meminjam istilah radar, merubah kita menjadi zombie yang berjalan tanpa kehendak; dinihilkan nilai kemanusiaannya karena sebuah demokrasi.
Tapi, kembali lagi, kesadaran pada apa yang ”benar” selalu berjalan terlambat. Ketika perlahan-lahan kenyataan membuka mata dengan cara yang tidak enak. Cara yang sangat-sangat sakit. Dan polemik hanya tinggal polemik. Kenyataan yang akan bicara lebih banyak tentang apa yang benar.
Sampang, 28 Januari 2014
Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.