Pada akhirnya
semua orang akan mengulang parodi yang sama: kesadaran dan kepahaman—bagi orang
sekarang—hanya mungkin muncul dari sebuah situasi tragis yang menimpa dirinya.
Karena membuka hati dalam ruang pemikiran adalah hal yang tabu dan sangat
merendahkan drajat intelektualitas kita sebagai insan akademik.
Namun, yang
paling klasik dari itu semua adalah ketika kita sadar, semua telah ”musnah”;
terlambat; tinggal puing. Dan yang romantis adalah kita menutupi
kedunguan dan kedegilan masa lalu dengan menyepi karena perasaan bersalah untuk
jadi begawan suci dan sebisa mungkin berusaha menyeram-nyeramkan diri agar
dikeramatkan; didewakan.
Perihal membuka
diri dan mengakui kebenaran membuatku teringat pada polemik antara Radar Panca
Dhana (budayawan) dan Franz Magnis Suseno tentang tulisan Radar di Kompas (12/12/2013)
yang membahas tentang jebakan demokrasi yang memerahkan kuping Magnis Suseno.
Radar menolak keras upaya Magnis yang (seakan-akan) menganggap bila demokrasi
adalah tujuan akhir. Karena menurut Radar penghambaan manusia modern pada
demokrasi merupakan keputusasaan intelektual karena tidak sanggup mencari
alternatif lain.
Pertanyaan Radar
pada sistem demokrasi memang patut direnungkan: ”Apakah benar bila demokrasi
itu begitu baik dan jitunya hingga ia menjadi pilihan tunggal, bahkan menjadi
arsenal diplomasi ampuh agar kita dihargai atau dihormati dunia internasional?”
Apalagi ketika kita mencoba berpikir oportunis, sejauh mana indikator Indonesia
bisa diharapkan untuk menjadi juru selamat atas nasib bangsa ini dari
keterpurukan?
Mengacu dari
sejarahnya, Soekarno yang waktu itu tidak dapat menutup mata bila banyak
masyarakat terpelajar sedang disilaukan oleh konsep demokrasi. Sehingga atas
nama trend, demokrasi terpimpin hasil dari kompromi pribadinya dengan sistem
demokrasi yang kemudian diberlakukan sebagai sebuah demokrasi terpimpin. Meski
pada akhirnya, kita hanya mendapati kengerian yang di tahun 1959 ketika
kosmetik demokrasi terpimpin tidak berjalan dan akhirnya segala keputusan hanya
bermuara pada apa yang dititahkan Soekarno.
Pertanyaan Radar
juga membuat kita diingatkan bila negara-negara maju dan besar justru berada di
luar dari prinsip-prinsip demokrasi dan sangat feodal. Namun, ironisnya
negara-negara tersebut rela dan begitu gencar menggelontorkan uang jutaan dolar
untuk memaksakan demokrasi apapun caranya. Bisakah kita mentolelir ribuan nyawa
dihamburkan untuk sebuah kembang kertas yang menarik untuk didengar bualannya
tapi tidak sesuai kemudian.
Apakah Magnis
menutup mata bila pemaksaan demokrasi hari ini tidak lain adalah membuat sebuah
jerat ketika sebuah negara menerima air bah kebijaksanaan dan modernitas
sebagai tuhan baru dalam kehidupan mereka kemudian. Maka, kalau Magnis tidak
dapat menjawab hal ini, sebaiknya ia memikirkan kembali pertanyaan Radar:
benarkah demokrasi adalah ”rampokan gagasan” dari negeri maritim Yunani yang
digunakan untuk melegitimasi dominasi kekuatan elit atau pemodal.
Tapi, boleh jadi
apa yang diungkapkan Magnis—rakyat yang senang menghormati keputusan yang
diambil berdasarkan aturan demokratis—itu juga ada benarnya. Hari ini, kita
sedang melihat kondisi kolektif masyarakat yang kerap dibakar amarah hanya
karena kemampuan mereka menerima aturan yang disepakati bersama masih buruk. Meskipun
pernyataan itu tidak etis apabila tidak kita kembalikan dalam diri kita:
bisakah kita menerima kekalahan sedangkan sejak lahir, gemerlapnya air bah
demokrasi yang menyuburkan kapitalisme dan mendidik masyarakat untuk berpikir
praktis.
Demokrasi yang
kemudian membawa kontainer-kontainer eropa ke dalam kamar tidur dan meja makan
membuat setiap orang tidak punya alternatif lain kecuali berjuang untuk dirinya
sendiri karena merasa: siapapun pemimpinnya, meski terpilih berdasarkan sesuatu
yang katanya demokratis, tidak banyak membawa perubahan dalam hidup masyarakat.
Sehingga terwakilkan atau tidak suara mereka untuk pemimpin baru tidak akan
membawa dampak dan perubahan.
Magnis tidak
salah ketika ia menganggap bila demokrasi lewat konsep publik sphere berhasil
membendung DPR yang hendak mengerdilkan KPK karena kekuatan opini publik
masyarakat masih sangat diperhitungkan. Namun, satu sisi ia lupa, bila
demokrasi seharusnya merupakan kesadaran yang harus dimiliki oleh dua kutub:
masyarakat dan pemerintah. Dan hari ini, bisakah kita mengatakan demokrasi
memang dikehendaki masyarakat bila KPU sebagai salah satu ujung tombak pelaksanaan sistem
demokrasi sudah mulai kehilangan akal sehat dan kepercayaan diri ketika
dihantam realitas golput sejak tahun 1999-2009. Sehingga pada akhirnya muncul
ide-ide frustasi: relawan demokrasi.
Mungkin Magnis
tidak perlu terlalu demonstratif menanggapi statement Radar dengan menghadirkan
angka-angka statistik pembunuhan dan pelanggaran HAM. Karena masyarakat hari ini
sudah cukup mengerti kemana demokrasi kita berkiblat? Berapa banyak nyawa
ditumbangkan untuk memaksakan demokrasi itu masuk? Selain itu, Magnis tidak
perlu terlalu gusar dengan membawa kasus Kedung Ombo sebagai perbandingan. Ia
juga tak perlu membawa Kontras untuk melakukan pencatatan orang hilang. Karena
yang sebenarnya perlu kita hitung adalah berapa banyak pengusiran masyarakat
dan pembebasan tanah dengan harga rendah untuk pembangunan mall dan kepentingan
modal multinasional? Berapa banyak orang kehilangan jatidiri karena demokrasi
tidak "melenyapkan" orang, tapi, meminjam istilah radar, merubah kita menjadi
zombie yang berjalan tanpa kehendak; dinihilkan nilai kemanusiaannya karena
sebuah demokrasi.
Tapi, kembali
lagi, kesadaran pada apa yang ”benar” selalu berjalan terlambat. Ketika
perlahan-lahan kenyataan membuka mata dengan cara yang tidak enak. Cara yang
sangat-sangat sakit. Dan polemik hanya tinggal polemik. Kenyataan yang akan
bicara lebih banyak tentang apa yang benar.
Sampang, 28 Januari 2014
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.