![]() |
Mas Sabdo Palon |
”Kau kenal siapa Sabdo Palon?” tanya Rori di
sebuah siang yang membakar.
”Tidak. Apa itu?”
”Bodoh! Percuma kalau begitu. Lebih baik aku
bicara pada orang yang tepat,” ujar Rori.
”Woey, apa itu? Jangan buat aku penasaran.”
”Seandainya Sabdo Palon benar-benar ada,
mungkin kata-katanya yang paling aku suka adalah, ’kula
wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk.’ Ya,
kata-kata itu menggugah. Sekaligus pertentangan dari entitas Sabdo Palon.”
”Apa arti dari kata-kata siapa itu… Sab-do Pa-lon?”
tanyaku pura-pura tak mengerti.
”Kurang lebih, artinya: ’Saya malu pada bumi-langit,
malu mengasuh orang tolol,” terang Rori.
Kalau memang benar Prabu Brawijaya V masuk
Islam dan Sabdo Palon kecewa, kata Rori, apa harus seperti itu kata-kata yang
dia ambil untuk momongannya? Setahuku, kedunguan bukan batas yang harus
membuat Sabdo Palon beranjak meninggalkan Prabu Brawijaya V dan meninggalkan
rupa-rupa kutukan pada tanah Jawa.
Konsep pamomong adalah sesuatu yang
wingit. Dalam penafsiranku, pamomong itu bukan lagi sekedar menjadi guru
yang mengajarkan sesuatu pada muridnya. Pamomong itu lebih dari
membimbing dan tentu melampaui batas-batas kesabaran yang ada. Terlebih lagi,
dia mengaku sang Manik Maya. Dan yang dibimbing pun bukan sembarangan. Prabu
Brawijaya V adalah raja Jawa. Sehingga kalap (masuk Islam) adalah sesuatu yang
biasa. Terlebih lagi Brawijaya V adalah manusia dan Sabdo Palon bukan. Tapi,
lain lagi kalau dalam dunia dewata, persoalan kepercayaan adalah hal yang
prinsipil dan melampaui batas toleransi.