Laman

Senin, 09 Desember 2013

Omah Munir





Siapa yang tak kenal Suciwati Munir? Istri dari Munir Said Thalib, salah satu tokoh aktivis HAM yang meninggal pada 7 September 2004 dalam perjalanan dari Jakarta ke Belanda. Mungkin Suciwati tak jauh berbeda dengan istri-istri anda semua, yang mungkin semasa hidup masih butuh merengek dibelikan TV seperti punya tetangga, ngomel pada Munir soal uang belanja yang kurang, atau mengomel soal hal-hal remeh temeh lainnya. 

Hanya mungkin yang membedakan dengan istri-istri anda adalah perjuangan yang ia lakukan ketika suaminya dibunuh. Apakah istri anda akan melakukan hal yang sama ketika anda dibunuh?
Terlepas apa yang menjadi motif perjuangan yang dilakukan Suciwati ini adalah bentuk rasa cinta seorang istri pada suami, atau upaya menolak lupa, tapi yang jelas semua itu patut diacungi jempol. 
Untuk mengenang perjuangan HAM yang dilakukan suaminya, Suciwati bersama rekan-rekannya yang peduli  pada perjuangan HAM membangun musium HAM yang ia beri nama ”Omah Munir” sebagai strategi lain menolak lupa.

Tapi, mungkin yang masih mengganjal di kedalaman saya adalah: apakah dalam sekali hidup ini kita perlu untuk menolak lupa? Apakah Munir merupakan satu-satunya orang yang harus kita ingat perjuangannya dan kita tuntaskan kasusnya?

Saya membayangkan apabila semua istri-istri korban yang terbunuh akibat kasus HAM punya kesanggupan dan semangat yang sama dalam menolak lupa, lalu berapa banyak musium perlu didirikan? Karena bisa kita bayangkan berapa banyak orang mati karena persoalan HAM?

Musium didirikan sebagai sarana belajar bagi siapapun yang butuh untuk mengenang kembali. Menghadirkan dan memanggil kembali segala yang telah lewat. Tapi, dibalik pendirian musium juga tersimpan dendam, kebencian, yang mungkin enggan diakui. Ada sikap kekanak-kanakan yang hidup dan tak selesai sampai seseorang merasa perlu memonumenkan sesuatu.

Lalu apa yang prinsipil dari pembangunan Omah Munir di Batu, Malang? Bila pembangunan Omah Munir didasarkan atas upaya Suciwati mencari keadilan atas pembunuhan yang menimpa suaminya. Maka, percayalan, sampai kapanpun ia tak akan pernah sampai. Karena keadilan itu tidak bertempat di bumi. Satu keadilan yang (berusaha) ditegakkan akan tumpang tindih dengan keadilan lainnya.

Bukankah logika hukum tidak akan mampu mencapai cita-cita keadilan itu sendiri. Karena hukum adalah hukum, begitu juga keadilan. Keduanya berdiri sendiri dan melengkapi satu sama lain. Hukum hanya ”jalan menuju”, bukan substansi dari keadilan. Tapi seperti apa wajah keadilan? Bagaimana ia mesti hidup dan diperjuangkan adalah pekerjaan rumah manusia untuk mencari hal-hal yang tak pernah bisa final.

Menolak Lupa

Menolak lupa dalam konteks perjuangan HAM yang dilakukan oleh Munir di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), yang kini diteruskan oleh Suciwati adalah satu hal. Dan hal lainnya mungkin kodrat Tuhan yang menggariskan bila ”manusia adalah tempat salah dan lupa”.

Lupa adalah kodrat tuhan yang tak bisa kita nafikan. Lupa datang kepada manusia untuk merefresh manusia agar ia tidak terlalu sesak dihimpit dendam. Lalu, apa jadinya bila manusia tak pernah bisa lupa? Apakah kita perlu memenuhi seluruh tanah di Indonesia dengan musium? Padahal, masih banyak orang yang melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang pernah diperjuangkan Munir sebelumnya?

Terlepas dari salah-benar pada apa yang dilakukan Munir semasa hidup, dan pada siapapun saja yang berusaha melenyapkan Munir dengan arsenik, pantaskah kita menolak lupa? Apakah ada jaminan, ketika kita tak bisa melepaskan dendam dan melupakan yang sudah-sudah; bisakah kita melangkah ke depan?

Munir bukan satu-satunya sejarah kelam yang perlu dicatat. Karena banyak hal baik yang kita lupakan. Karena yang paling mencemaskan dari sejarah adalah: sejarah cenderung akan menjadi pijakan dalam menentukan, mengenali siapa diri kita. Kalau nanti anak kita bertanya pada kita: apa satu-satunya kejayaan yang kita miliki?

Bisakah kita menjawab pada mereka, ”Dendam, nak! Dendam lah yang kita miliki. Kita hidup dari dendam, makan dari dendam, dan bernapas serta berzikir atas nama dendam.”

Di sisi lain, saya sangat setuju bila banyak penghilangan orang-orang yang vokal pada masa orde baru memang wajib untuk dituntaskan. Tapi, kita juga harus berpikir dan menghitung sesekali baik buruk untuk menolak lupa dan menjadi bangsa pendendam. 

Dunia memang tak akan keberatan dengan banyaknya istri-istri macam Suciwati Munir. Dunia juga tak akan keberatan dengan banyaknya musium. Karena dunia butuh perempuan tangguh yang mencintai suaminya secara serius. Dunia juga butuh musium karena sejarah memang sesekali perlu di ingat dengan jalan: tidak melupakan masa silam, pelenyapan atas nama HAM, tapi juga terkadang harus lebih sering pula menyambut hari baru. Karena masih banyak yang perlu di ingat selain Munir. Karena masih banyak yang perlu dibangun selain musium dan monument.

Sampang, 9 Desember 2013
Citra D. Vresti Trisna

2 komentar:

Maria Puspitasari Munthe mengatakan...

hahaha...kalo merasa pembangunan musium itu adalah hal yg tidak terlalu urgent, aku sepakat.
jadinya, tulisanmu ini...duh, ak bingung nulisnya..., gini. kan cerita tokoh dalam tulisanmu ini ttg munir, nah bukan berarti pejuang selain munir lalu dipinggirkan. kalau aku pribadi berpendapat, munir dan tragedinya itu mungkin selama ini dijadikan ikon untuk perjuangan masyarakat menolak lupa. iya, masih ada banyak sekali orang semacam munir atau bahkan lebih hebat dari munir di luar sana. dan mereka semua memang tak layak dilupakan. harus ada yang mencatatkan kisah mereka dalam sejarah (bukan di buku pelajaran anak sekolah yang saklek itu) dengan tujuan spt yg kamu sebutkan itu, sejarah adalah tempat berpijak kita untuk mengambil langkah di waktu yang akan datang. :)

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

Eh munte komen. Lama baru bales

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.