Laman

Senin, 15 Mei 2017

Kasus Ahok Hanya Tai Bebek Anget

>>sebelumnya<<

#DUDAKARTAdanJAKARTA6
Citra D. Vresti Trisna

Ahok divonis dua tahun. Jakarta pasti ramai. Siang dibakar matahari, menjelang malam, Jakarta dipanaskan lagi dengan teriakan dan kutukan simpatisan Ahok yang menyalakan lilin sambil mewek.
Mungkin tidak hanya di Jakarta, mungkin di seluruh Indonesia, juga dunia. Ya, mungkin! Tak ada yang pasti, tapi yang pasti kerumunan simpatisan itu ingin Ahok dibebaskan.
”Ahok itu tidak bersalah,” kata seseorang. ”Pengadilan dan hakim sialan,” kata kerumunan lainnya. ”Setelah ini, pak Ahok ke luar negeri saja. Jangan di Indonesia,” kata rombongan lainnya lagi.
Situasi Jakarta jadi panas sekali. Tapi sebaliknya Dudakarta jadi sepi. Sepulang sholat berjamaah, mereka langsung masuk ke bilik masing-masing dan mengunci pintu. Siang hari pun tak satu pun warga Dudakarta yang melancong ke Jakarta.
Mbah Ripul kelop-kelop sendiri di pojok warung Mang Alim sambil ngudut. Mas Rombong tidak tega dengan pria yang konon bernama Duri Pulo itu sendirian ndlahom dengan Mang Alim. Akhirnya Rombong keluar rumah juga. Meski ia harus merelakan diri diomeli istrinya yang sedang hamil muda yang kebetulan ngidam dikeloni Mas Rombong sambil didongengi cerita wayang.
”Sepi, Mbah...” sapa Rombong.
”Mbong, ndak ngeloni istrimu? Katanya ngidam kelon. Hehehe...,” goda Mbah Ripul. Rombong menaggapi Mbah Ripul hanya dengan mesem.
Lha sampean tidak ikut bakar lilin, Mbah?” tanya Rombong. ”Katanya mau serius mencontoh Jakarta? Ciyee yang serius? Katanya mendukung Indonesia damai?” kini giliran Rombong yang menggoda Mbah Ripul.
”Dengkulmu mlincet, Mbong-Rombong!” jawab Mbah Ripul. ”Damai itu butuh kedewasaan keduabelah pihak. Ketika subjektivisme akan islam tumbuh subur; ketika mata masyarakat tidak lagi cukup untuk sekedar dicuci dengan wudhu, bisakah semurni-murninya hati umat muslim tinggal diam? Mungkinkah orang yang sehari-hari diam di rumah tidak lantas angkat senjata ketika dianiaya tanpa senjata. Diolok-olok keyakinannya?”
”Apa lagi ini, mbah?” Mas Rombong keheranan dengan respon Mbah Ripul yang marah tiba-tiba.
”Mungkin orang-orang lupa bila kecenderungan pihak yang nampak teraniaya dan kalah judi dadu punya potensi bersih dari kesalahan. Siapa yang benar-benar bisa lepas dari kesalahan ketika konflik horisontal telah terjadi? Kalau pun Ahok sejatinya tidak bersalah, apa lantas Ahok tak punya andil barang satu-dua persen kesalahan? Atau mungkin memang benar bila korban memiliki kecenderungan bebas dari kesalahan hingga orang-orang marah, mengutuk dan menuntut Ahok dibebaskan. Di mata mereka, pihak yang tidak menuntut dianggap tidak pro kebhinekaan. Lha matane, ta?!”

Mbah Ripul mulai nggeremeng. ”Kalau sebagian orang tak terima bila Ahok diganjar dua tahun atas kasus penistaan agama, itu boleh saja. Namanya saja hukum manusia. Bisa saja salah toh. Mereka juga terus bilang bila apa yang mereka lakukan bukan semata-mata karena Ahok, tapi mereka mengklaim aksi mereka merupakan titik kulminasi dari rasa jengah rakyat atas ketidakadilan hukum di Indonesia. Anggapan seperti itu juga sah-sah saja pada akhirnya. Tetapi, di lain pihak, kalau ada massa marah dan mengklaim dirinya tidak menitikberatkan aksi pada kata-kata Ahok di Kepulauan Seribu, melainkan atas kesewenang-wenangan Ahok dan runtutan kebijakannya yang nampaknya baik tapi tidak pro rakyat kecil, seperti reklamasi, dll, lantas dianggap tidak masuk akal.... Itu tai ngasu namanya!”
”Gitu, ya, mbah? Pikiran sampean ini memang ndak kaya anak muda sekarang, Mbah.” Sela Rombong.  
”Ya anggapan kamu barusan itu yang saya senang. Zaman sekarang, perang media sosial antara dua kubu memang nampak melelahkan. Semua pihak berlomba-lomba membuat stigma-stigma pada kubu lawan. Pihak yang gregeten dengan Ahok dianggap ndeso, anti HAM, irasional, kampungan dan tidak terpelajar. Kubu satunya lagi menganggap pendukung Ahok, yang kalau yang ber-KTP islam disebut munafik dan yang non dianggap kafir. Tapi, soal anggapan kafir itu kan hanya keras di bibir wahabi penakut itu, bukan asli dari sanubari rakyat dan umat muslim kebanyakan.”
”Mbah, bukannya memang sekarang islam sedang disudutkan dan digiring dalam subjektivisme non islam?”
” Kalau yang divonis Ahok, orang-orang sibuk bakar lilin. Kalau yang jadi bulan-bulanan pengadilan itu kebetulan orang islam dan miskin, kita hanya membagikan di media sosial tanpa perlawanan. Orang asing juga ndak ngurus. Bahkan orang islam sendiri, ya, tidak peduli. Apakah tidak ada orang islam yang lebih menderita lantaran vonis bersalah dari pengadilan seperti Ahok? Umbrukan Mbong, alias banyak sekali. Memang benar Islam harus nampak kotor dan memalukan, bahkan di mata orang islam sendiri. Tapi ya bagaimana lagi, lha wong orang islam yang miskin itu tidak make news, jadi siapa yang peduli?” Mbah Ripul masih bersungut-sungut tak terima.
”Kalau saya sih mengartikan sekumpulan orang yang sedang demo itu juga bentuk dari ledakan bom waktu atas ketidakadilan pada orang islam di Indonesia. Orang islam itu memang harus ngalah. Tapi, ya, benar saja. Ngalah itu bukan berarti kalah, lalu berangkatlah mereka aksi untuk menuntut kemenangan; menuntut Ahok ditahan dengan bonus Jokowi turun. Orang-orang yang ikut aksi itu sudah capek batinnya diplonco. Mereka bosan dimiskinkan di kampungnya sendiri. Bosan diusir dari tempat tinggal mereka dengan alasan yang tak sanggup mereka bantah karena memang pendidikan mereka rendah. Gorokan mereka tidak sesangar Ahok buat menyaingi umpatan dan kata-kata Ahok saat mendamprat orang-orang kecil. Tapi, ya, tetap saja pandangan saya ini akan salah di mata mereka. Dan harus salah; harus nampak tidak masuk akal, bahkan di depan sesama muslim. Pandangan saya ini harus disalahkan atas nama rasionalitas. Padahal kalau ada orang islam kere dan kepepet hingga harus maling lalu diplonco pengadilan, rasionalitas mereka tidak kedengaran karena sedang membeku di frezer kulkas. Ya, inilah kasus Ahok. Kasus yang dimata saya tak lebih dari tai bebek anget.”
”Sampean benar-benar baper, mbah?” Tanya Rombong yang heran. Tidak biasanya Mbah Ripul begitu keras merespon sesuatu.
”Biar saja saya dibilang tidak rasional. Karena buat mbayar pisang goreng Mang Alim itu ndak butuh rasional, tapi butuh duit. Saya juga mbayar kopi dan pisang goreng tidak dari uang mereka.” Kata Mbah Ripul dengan muka kusut.
”Sudah Mang... Pisang goreng dua, kopi satu, rokok sebungkus...?” Setelah membayar, Mbah Ripul menghilang dalam gelap. Sementara kini giliran Rombong yang kelop-kelop sendirian di pojok warung. Ia takut pulang ke rumah. Omelan istri Mas Rombong seribu kali lebih dahsyat dari Ahok.


Senin Kliwon, 15 Mei 2017

3 komentar:

Amanda Desty Yunistyani mengatakan...

Udah nggak ngerti lagi sih gue sebenernya sama drama politik bangsa ini. Tapi intinya gue emang pro Ahok hahaha. ✌

Yoga Akbar S. mengatakan...

Kadang ngerasa konflik dua kubu itu semacam ada yang ngadu domba haha. Tapi kayaknya karena sama-sama kurang bisa menghargai perbedaan dan begitu pro secara berlebihan sama apa yang dibelanya masing-masing. Ya, apa yang berlebihan itu gak baik, kan. :)

Yang berusaha pada netral pun ikut salah dalam kasus ini. Embuhlah. Tai bebek emang. Wahaha.

Anonim mengatakan...

ahok sih gubernur gue !

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.