Laman

Sabtu, 09 April 2011

Kelamin

Kelamin. Semua butuh kelamin. Tidak seorangpun menolak kelamin: mahasiswa, dosen, aparat, pejabat, bahkan ulama pun butuh kelamin. Kalau pada awalnya aku mengatakan bila ujung dari semua persoalan kehidupan adalah uang. Ternyata tidak sepenuhnya benar. Disamping uang, kelamin juga dibutuhkan semua orang dengan maksud masing-masing. Ada yang butuh untuk sekedar memuaskan hasrat. Ada yang butuh untuk sekedar gengsi. Tidak ada yang menolak untuk kelamin, sebuah piranti dan asal-usul keberadaan manusia.




Bahkan The Panas Dalam, band asal Bandung, pernah membuat lagu dengan judul: Ujung-ujungnya kelamin. Kritik sebuah hubungan antara umat manusia, dari tua atau muda, juga persoalan kriteria pasangan baik yang tulus atau main-main, semua berujung pada kelamin. Bahkan yang lebih profokatif dan wadag dari lagu ini menyebutkan “cantik tanpa kelamin percuma”. Sehingga harus diakui bila kelamin memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang memiliki sisi normal memiliki lingga dan yoni.


Kelamin sudah menjadi media untuk kembali normal. Lewat kelamin, kita akan tahu beragam keputusan dan apa yang menjadi maksud sebuah hubungan itu akan kemana. Kelamin itu pintu gerbang yang mengantar kita akan berjalan kemana. Puas dengan fungsinya, atau justru pindah tujuan untuk mencari tujuan-tujuan baru.
Saat ini, dimana kita tinggal, akaelajar iln sekaligus menjadi tempat untuk kita belajar. Seperti kata Arswendo, penjara adalah sekolah untuk bmu-ilmu kehidupan. Dalam hal ini dicontohkan penjara kali sosok adalah sekolah untuk belajar elekronik dan mekanik paling hebat. Sebab di penjara itu merupakan tempat mantan curanmor terbesar. Sehingga transfer ilmu berjalan lebih baik dari penjara dan tempat manapun. Bahkan yang lebih dramatis, seseorang rela untuk masuk penjara ini dengan berpura-pura mencuri pakaian dan hewan ternak agar bisa mendapat pengetahuan soal motor. Dan alumninya, bisa menjadi seorang tukang servis sepeda yang baik.

Sedangkan untuk urusan kelamin, apakah kampus menjadi sekolah terbaik bagi dunia perkelaminan melebihi pelacuran? tidak ada yang tau. Tapi sepertinya benar. Baik mahasiswanya, dosen-dosennya yang tidak mendapatkan pelayanan ekstra dari pasangan sahnya, atau mahasiswa yang dulu terkekang untuk ekspresi kelaminnya, semuanya bisa mencari petualangan di sini. Sebab kita tau, dosen bukan Tomi Soeharto yang bisa asal tunjuk perempuan untuk memuaskan hasratnya. Dosen itu miskin, ia tidak punya cukup uang untuk belajar banyak dan mengentaskan rasa ingin taunya soal kelamin di pelacuran, sebab mereka masih punya tanggungan anak dan istri. Maka kampus menjadi tempat bersekolah terbaik bagi libido mereka. Dengan otoritas kecil-kecilan atas nilai mahasiswa, maka ia bisa menjadi Tomi Soeharto baru dalam urusan kelamin. Sekalipun masih dalam lingkup mahhasiswa, sekalipun tidak semuanya dan bisa dengan kesal agar saya tidak terlalu merasa bersalah, maka kita sebut saja “oknum’.

Boleh jadi, pada keadaan seperti ini, label pelacuran pendidikan bisa disematkan pada sebuah perguruan tinggi, dalam artian pelacuran dari sisi kelamin, sisi paling logis. Alinson J Murray pernah berkata, saat ini pelacuran sudah menjadi hal yang rasional bagi siapapun. Pelacuran sudah menjadi hal yang logis dan berangkat dari kesadaran paling tinggi setiap orang. Pandangan ini sekaligus menjadi pertanda patahnya kepercayaan bila pelacuran tidak serta merta berangkat dari persoalan ekonomi saja. Selain itu moderenitas berbicara lebih banyak soal perkelaminan manusia, ketika moderenitas menunjukkan sisi paling primitif realitas seksual yang tidak lagi bisa di belenggu oleh ranjang perkawinan. Sebap hasrat ingin menrdeka tanpa tendensi dan campurtangan agama.

Pada lingkup lain yang lebih besar, persoalan kelamin menyapa manusia lewat cerita muramnya di dunia para priyai agung. Gelapnya dunia perkelaminan digambarkan dengan cukup gamblang oleh Pram lewat roman Gadis Pantai. Dalam cerita itu gadis pantai diambil dari keluarganya lewat sebuah perkawinan singkat, dimana sang bedoro hanya mewakilkan dirinya dengan sebuah keris. Kemudian, sang bedoro mencampakkan gadis pantai dengan luka mendalam karena harus meninggalkan anaknya di istana. Mungkin wajah pelacuran jaman batu kurang lebihnya demikian. Pelacuran pada masa itu ditandai dengan ketaatan atas rakyat kepada pembesar.

Sekarang, wajah perkelaminan lebih menggila lagi dimana disertai ketaatan rakyat dengan pembesar, melainkan sudah memiliki tools tersendiri – uang dan Kedudukan. Urusan kelamin adalah menu wajib bagi setiap manusia. Bohong sekali rasanya kalau ada yang bilang “hidup itu bukan hanya sekedar mengejar dan menuruti nafsu kelamin belaka”. Maka pertanyaanya kemudian adalah, apa dia tidak butuh untuk nikah, yang pada akhirnya ia mesti meneruskan sejarahnya lewat kelamin. Sekalipun berhubungan sex paska nikah itu boleh, dan menurut agama itu ibadah. Menurut seorang kawan, pernikahan sudah menjadi semacam pelacuran suci atas nama sebuah agama. Sedankan menurut norma yang berlaku, perlunya pernikahan adalah murni untuk mengatur kehidupan perkelaminan manusia.

Tapi, apakah dengan pernikahan semua yang berkenaan dengan urusan kelamin manusia bisa terselesaikan? Gelapnya kehidupan perkelaminan menjadi sebuah tanda yang memeperjelas kemana tujuan kita melangkah.

beberapa langkah di depan kita cuma akan menemui kelamin.

Citra D. Vresti Trisna

2 komentar:

Vester Cobain mengatakan...

apakah dengan pernikahan semua yang berkenaan dengan urusan kelamin manusia bisa terselesaikan?

bisa ya, bisa juga tidak

Citra D. Vresti Trisna mengatakan...

ya tak pikir ya ndak juga cak.
pernikahan itu pelacuran suci dengan label agama. hehehehe

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.