Laman

Rabu, 06 April 2011

Perempuan

Sejak kapan perempuan boleh bicara?
Ia cuma sebuah daging yang ku beli dengan mahar cukup tinggi. Sekarang, ia milikku. Bodoh kalau aku menyia-nyiakannya.

Sejak 1970-an, ketika wacana gender menjadi gerakan politik di sebagian besar Eropa dan Amerika Utara. Perempuan sibuk memoles citra dirinya dengan gegap gempita semangat untuk mengkampanyekan persamaan derajat. Semua kemeriahan diramaikan dengan semakin menjmurnya kajian tentang perempuan. Berbagai teori maupun nilai baru kemudian lahir dan diyakini sebagai bagian dari perjuangan. Sekalipun tak jarang diantara mereka akhirnya terjebak dan disublimkan pernikahan.

Lain halnya menjelang 1990-an, gema kajian perempuan terdengar di sekala nasional maupun internasional. Ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia akademis. Walau demikian, gema pergerakan peremuan masih dalam lingkup teoritis yang mengambang dan tidak memberikan kejelasan apapun di wilayah praksis. Hal ini dikarenakan terori feminis tidak mampu menjangkau beragamnya persoalan perempuan. Teori hanya dapat menjawab potongan-potongan persoalan yang di globalkan. Selain itu, teori hanya mampu mengikat objek yang sama, sebab ia lahir dari sampel-sampel yang sama dan setara dengan penguji sampelnya.

Namun, yang menjadi persoalan kemudian bukan pada semangat dan gegap gempitanya para perempuan untuk melakukan gerakan, yang mesti banyak di soroti. Melainkan, tindak lanjut dari teori-teori dan asumsi yang hanya mengelompokkan jenis-jenis perempuan itu masuk dalam kategori – wilayah dan feminis yang mana? Karena gerakan perempuan harus terpecah pada sesuatu yang kurang prinsipil di tingkatan konfrensi dan memperdebatkan relevansi antara feminis Marxis dan feminis liberal. Alih-alih mereka melupakan subtansi gerakan perempuan yang sesungguhnya, yakni perjuangan kaum perempuan.

Kalau ditarik kesimpulan, secara kasar, perempuan masih tetap menjadi komoditi budaya oleh laki-laki. Budaya patriarki lebih kuat berperan pada setiap negara yang pernah berurusan dengan feodal. Sebab, sejarah feodal, khususnya di Indonesia, tidak pernah memberikan ruang pada perempuan untuk mengambil perannya sebagai sebuah individu-individu yang bebas. Di samping itu, agama juga memiliki pandangan tentang perempuan yang senada dengan sistem feodal. Wilayah kodrati pada perempuan akhirnya menjadi konsekuensi logis mereka yang beragama. Surga menjadi timbal balik dari sebuah ketaatan manusia akan kodratnya, dan lagi-lagi perempuan tidak bisa mengambil peranan dalam kemerdekaan pribadinya.

Ditinjau dari pergulatan konsep gender pada seorang perempuan, kebanyakan pertemuan dengan gender dimulai lewat institusi pendidikan. Sedangkan sebuah gerakan feminis tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dimana digawangi oleh insan akademik. Kolektivitas akan tetap menjadi syarat mutlak untuk menentukan gerakan kebudayaan, kususnya gender. Iklim inilah yang akan menentukan ekspansionistiknya gerakan perempuan, terutama di daerah.

Cakupan teori dan wacana perempuan masih belum menggema di wilayah lokal, pasalnya gerakan perempuan di wilayah lokal masih terkendala persoalan klasik agama yang membawakan mitos surga bagi para penganutnya. Dari sinilah terhambatnya gerakan perempuan. Segala asumsi teori dibuat mandeg dengan ketaatan atas nama agama. Bagi mereka, ketaatan atas laki-laki adalah harga mati yang sudah tidak lagi bisa di tawar. Sekalipun pada prakteknya, realisasi patriarkis (poligami) yang berkiblat pada keteladanan nabi menjadi satu-satunya legitimasi atas praktek patriarki. Sedangkan untuk persoalan kepuasan seksual dan keturunan menjadi second line atas pembenaran praktek poligami.

Sebuah kasus di pedalaman Pamekasan, Madura, seorang anak yang seusia SMP sudah menyandang status janda. Ironisnya hal ini belum menjadi perhatian serius dari pemerintah. Alasan mengapa wilayah tapal kuda yang memitoskan dirinya menjadi wilayah religious tidak mampu menyelesaikan persoalan poligami semata-mata karena opinion leader dan otoritas setempat tidak mampu memberikan contoh yang sanggup menata masyarakatnya ke arah yang lebih baik.

Sebab menghargai perempuan adalah bagian dari menghargai nilai kemanusiaan. Sejauh mana kemanusiaan kita adalah pertanyaan yang segaris dengan seberapa jauh anda menghargai perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan.

April, 2011
Citra D Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.