Laman

Minggu, 03 April 2011

Pak Beye


aku mendengar kisah ketika aku sedang ada di goa (tempatku bertapa)
seseorang dengan muka lusuh dan nampak tidak bersahabat. klimis rambutnya
sepertinya dia penguasa.

dia terus saja bercerita
sementara aku diam.

Sabda, dongengan, dan dagelan siapa lagi yang bisa menggetarkan hati gelap manusia. Menggoncang dunia dengan dinamit yang mengalir dari bahasa-bahasa lugas. Meneror pikiran-pikiran kuno masyarakat dengan satu tembakan yang tepat laiknya Vassili Zaytsev, penembak jitu Soviet yang terlibat duel maut dengan Heinz Thorvald.

Kalau pada masa pecahnya revolusi penggulingan tahta Tsar di Soviet, hiburan paling baik adalah mendengar propaganda anti Tuhan dan keriangan menghitung mayat di jalanan saat anak kecil pulang sekolah. Tapi sekarang, di kampung kita, hiburan apa yang paling menarik, sehingga dari waktu ke waktu kita bisa melupakan lapar karena belum makan seharian? Siapa lagi kalau bukan SBY sang presiden.
Dongeng dan sabda-sabda lelaki tambun yang di ganggu – diolok-olok kawan sebayanya, di rebut mainannya, diganggu dalam memunguti uang monopolinya – sehingga jam untuk tayang telenovela yang resmi keluaran pemerintah semakin di perpanjang – Cinderlela Complex.
Kita bisa mendengar dia mengeluh. Bercerita dengan gayanya yang menyebalkan saat dijaili lawan politiknya, sehingga merasa perlu untuk segera tampil di podium untuk mendongeng. Membuat pernyataan-pernyataan bak selebriti kehilangan pamor. Namun, ia juga mengalami nasib yang sama seperti Pram. Hidup sebagai bunga. Separuh orang membencinya, dan separuh orang menyanjungnya.
Salah satu hal di luar logika adalah kekaguman terhadap sesuatu. Kemana arah kekaguman, dan apa yang kita kagumi adalah murni misteri yang matematika dan ilmu kebatinan manapun tidak akan pernah sampai ke sana. Tapi mengapa aku mendadak memaafkannya dan memaklumi sebagai bagian dari kehiduapan. Tapi yang terpenting adalah counter dari rasa lapar.
Tapi, bagaimanapun juga SBY tetaplah seorang manusia yang memang layak mengaduh dan merasa kesakitan. Namun sebagai seorang lelaki, ia tak dapat dimaafkan. Tapi apa kita akan sepenuhnya menyalahkannya sebagai lelaki yang terlalu cengeng?
Sebentar. Dengan persoalan ini, membuatku jadi teringat sebagian Suku Indian yang meyakini bila mengerang dan mengaduh adalah bentuk dari kebetinaan. Sehingga anda jangan heran bila seorang yang terkena panah di tubuhnya dan mencabutnya sendiri tanpa harus merintih kesakitan dan mengaduh. Andai saja SBY dapat mengikuti jalan dan hidup secara jantan bak Suku Indian. Namun sayang. Pengandaianku hanya akan tetap menjadi angan. SBY itu bukan Suku Indian, yang menghadapi lukanya secara jantan.
Mungkin karena itu, dia terus mendongeng. Memelas di podium seperti anak kecil yang kehilangan layangannya. Dari SBY aku banyak mengerti tentang arti melindungi. Arti sebuah kekuatan rakyat yang terpancar ketika SBY sedang lembek dan memelas di depan rakyat. Padahal rakyat selalu hidup sendiri, rakyat tidak ada yang pandai untuk mengadu dan berbagi persoalan kepada SBY sebagai penguasa. Rakyat menyelesaikan persoalannya sendiri. Menghadapi badai kelaparan, kesenjangan, pemiskinan dengan sendiri. Sebagai seorang pribadi, manusia, dan lelaki.
Apa SBY bukan lelaki?


Citra D. Vresti Trisna
Desember 2010.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.