Sama seperti orang yang meng-claim bila dirinya “waras”. Mereka juga sama-sama melakukan proses recording. Hanya saja yang membedakan, semua hasil rekaman yang diputar kembali dia sesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Apakah suara yang keluar bisa menjadikan dia jauh lebih kaya, dihormati, atau lebih terpandang. Namun, bila suara dan rekaman yang akan diputar berpotensi merugikan dan menjadikan kehormatan, rasa tentram, dan kesejahteraannya hilang, maka bisa dipastikan suara itu tidak akan keluar dan berubah 180 derajat dari apa yang dia rekam sebelumnya.
Maka, menurutku mendengarkan orang gila bicara adalah salah satu penyeimbang dalam menjalani kehidupan. Serangkaian tes kejiwaan bisa kita lakukan, sehingga kita bisa langsung belajar, mengkomparasikan siapa yang benar-benar gila diantara kalian. Mereka yang kau sebut “gila” itu, atau justru kau sendiri yang perlu dianggap gila. Sebab, sudah lama aku tidak lagi percaya dengan dokter ahli kejiwaan itu. Dari merekalah muncul pengkotak-kotakan kemanusiaan yang hanya berdasarkan waras dan tidaknya seseorang. (rasanya, sekali-kali aku memang butuh untuk beradu tinju dengan dokter jiwa keparat itu)
Aduh, apa aku sudah gila?
*
Akhirnya banyak mitos beredar dimasyarakat mengenai sosok Tony Blank. Ada yang menganggap dia dulunya adalah seorang yang cendekiawan, politikus, ekonom, dll. Namun satu hal yang menjadi catatan kita semua – dia ngelantur – kita semua suka.
Tapi mendadak, aku jadi ingat Tuhan, sang empu Tony Blank. Karena aku tak bisa merekam ekspresinya, maka kuperkirakan dia sedang tertawa sambil menahan kentut, karena menyaksikan ribuan orang menertawai kepolosan orang gila yang dimintai pendapat. Tuhan menyaksikan kejujuran rekaman pita kaset disepelehkan begitu rupa. Selain itu, Tuhan juga menyaksikan jutaan kesempatan tenar dan bicara di media masa, direkam laiknya artis, justru diperoleh orang gila. Padahal di Indonesia masih banyak orang yang lebih doyan omong, dan lebih kebelet masuk TV.
Aku berpikir, mungkin Tuhan tertawa mengetahui kita yang dengan bodoh mengatakan ngelantur itu kocak, gila, sudrun. Sedangkan justru mereka yang kita anggap gila adalah yang orang yang lebih bisa bicara lewat hati. Sebab, orang gila tak punya tendensi apapun dalam bicara atau melakukan sesuatu. Lain dengan kita yang dianggap “waras” yang mengeksploitasi orang-orang gila dan menjadikannya mainan yang menyenangkan. Mereka “korps waras” mengaku lebih bisa bicara dengan baik, sistematis, sopan, namun kata-katanya penuh kebohongan dan kepentingan.
Saat ini, dunia hampir tak memberikan ruang pada mereka yang dianggap ceplas-ceplos dalam bicara. Dunia dan kesepakatan-kesepakatan busuk menganggapnya tidak sopan dan cenderung anti norma. Norma, ah setan alas mana itu?
Dan pada akhirnya aku mendengar bisik-bisik dari mulut si gila di kupingku. Ia berkata “Ssst, kau tau, semalam Tuhan sms padaku. Begini katanya: gila adalah proses menuju kemulyaan paling hakiki, kita disayang Tuhan, dan gila itu shortcut menuju kemulyaan. Bukit-bukit menuju kemulyaan bisa ditempuh dengan jalan gila serta kejujuran, sedangkan untuk orang waras mesti mendaiki gunung agar sampai pada kemulyaan. Seperti itu perbandingannya.” Begitu ujar si orang gila, kemudian ia tertawa cekikikan, semakin keras, akhirnya terbahak-bahak dan pergi meninggalkanku melongo dalam tanya.
Aku melangkah pulang dari warung kopi. Jalanan sepi, tak biasanya kabut turun malam-malam seperti ini. Di depan jalan membelah, dua: jujur atau gila?
17 April 2011
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.