Laman

Minggu, 03 April 2011

TUHAN, KAKEK, DAN KETIDAKADILAN


“Tidak ya nak. Tidak. Kau tidak akan menjadi apa-apa. Kau hanya akan menjadi seorang perempuan pembuat bom yang pertama. Nanti kau bisa mengebom istana negara. Atau kau bisa mengebom Si Buya, atau para koruptor, atau raja-raja kecil di Bangkalan. Menarik itu…”
Begitu doanya pagi itu kepada seorang cucu perempuannya yang masih kecil. Mata anak itu sangat indah, berkilau dengan cahaya kilatan pada korneanya. Dan aku bisa membayangkan, bila doa kekek itu benar, paling tidak aku akan menjumpai kilatan mata itu berasal dari ledakan bom yang dirakitnya. Api menjiat-jilat pada seisi gedung pemerintahan. Maka sekejap semuanya tuntas, lunas. Dan terbayarlah apa yang disebut sebagai dendam. 

Pada awalnya aku memang tak pernah menerima apa yang mereka sebut sebagai doa yang buruk. Tapi masalahnya, apa doa yang baik juga masih ada? Doa yang diusapkan di kepala seorang anak, yang dikatakan dengan penuh kasih sayang. Atau doa-doa yang disepuhkan menjelang sang anak merengek di pelukan kita. Doa-doa dari aniaya.
Aku jadi ingin bertanya dengan diriku. Berdialog dengan kesombongan-kesombonganku sebagai manusia.
“Kepada siapa kita sebenarnya berdoa, dan siapa saja yang boleh berdoa?” ujarku
“Ya tentu saja kapada kepentingan. Bisa juga pada dengkul dan telapak kaki kiyai yang kita dewakan melebihi Tuhan. Kepada petinggi-petinggi yang kita anggap suci. Maka menjilatlah kita pada mereka agar hidup kita menjadi lebih baik. Atau boleh juga bila kita berdoa pada keris, badik, atau celurit kaum yang menyebut dirinya kesatria, agar di beri banyak upeti dari orang yang sedang kita rampas sepeda motornya, atau agar seluruh warga kampung masih menganggap kita sebagai suatu ngeri. Boleh juga berdoa kepada  kopyah dan surban, agar dari doa itu kita menjadi terlihat lebih sangar, mistis, dan yang terpenting masih terpeliharanya mitos-mitos dan masyarakat masih tetap bodoh sampai seluruh tanah di Bangkalan sudah tidak lagi bersisa dan atas namanya saja.
Lantas siapa saja yang boleh berdoa? Adalah pertanyaan  yang paling menggelikan. Kupikir, siapa saja boleh berdoa, dan berdoa pada apapun yang dia punya. Berdoa pada batu akik misalnya, pada internet, pada buku, atau pada apapun yang kita anggap bisa menyelamatkan kita dari rasa lapar”.
“Ngawur. Tentu saja itu ngawur. Kau pikir dimana Tuhan?” aku menetak, tak terima. Namun tak ada perubahan pada air mukanya dan dengan tenang menghisap rokoknya sembari berkata dengan sedikit malas menanggapiku yang bersungut-sungut marah.
“Di sini bukan lagi bumi tuhan. Tuhan telah lama mati, seperti ketika Nietzsche membunuhnya dengan aforismenya. Kita pun turut membunuhnya bersama nihilisme yang lambat laun kita yakini kebenarannya. Seperti contoh, dulu seseorang akan tunduk kepada sesuatu yang wingit, pohon-pohon tua, dan ada sebagian yang juga percaya kepada Tuhan. Namun sekarang, kepercayaan terhadap sesuatu musti harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Seperti sekarang, ketika hendak mempercayai Tuhan, kita harus sudah terlebih dahulu menanyakan: apa yang Tuhan beri kepada kita. Mengerikan, karena semakin lama kita sudah seperti pelacur saja, yang memasang tarif kepada Tuhan, dan makin mahal pula. Dan semua itu terjadi seakan-akan Tuhan itu yang membutuhkan kita. jadi sekarang ketika Tuhan sudah tidak lagi bisa memberikan kekayaan dan penghidupan secara layak, maka tuhan Tidak layak bersama kita.
Entahlah, aku jadi bertanya. Siapa sebenarnya yang memang harus dicari-cari. Tuhankah, atau manusia? Tak berjawab, karena siapapun yang memang punya dasar sendiri-sendiri atas jawabannya. Tapi yang jelas, manusia sekarang sudah menemukan Tuhannya yang baru. Tuhan-tuhan yang gak banyak nuntut. Atau tuhan yang sanggup membikin kita kaya”.
“Tuhan tak lagi sakti, maksudmu?”
“Yah, kau benar. Tuhan memang tidak lagi sakti, ketika dia tidak lagi bisa membuat kita kaya, sehingga kita mencari tuhan dalam bentuk yang tidak kita duga sebelumnya. Tuhan-tuhan yang mampu membuat kita kenyang, berlebih-lebih dengan harta, istri, mobil dan berbagai hal yang bisa membuat kita merangsang. Karena itu kita berusaha mencari tuhan dengan susah payah. Di tengah keputusasaan, kita menemukan tuhan dalam bentuk yang lain. Kita bisa menemui tuhan di batu-batu gunung, senjata, buku-buku, kekuasaan. Jadi kau tidak usah bermimpi tentang Tuhan.
Kalau kau masih bersikeras ingin menemui tuhan. Kau boleh temui Dia pada kantung-kantung mereka yang lebih rela dimiskinkan, ketimbang menggadaikan harga diri dan rela menjilat pantat penguasa demi beasiswa. Juga kepada mereka yang masih saja jujur padahal sudah sangat lapar. Tuhan juga bersama kakek-kakek yang merelakan cucunya menjadi seorang pembuat bom agar dapat melampiaskan dendamnya pada ketidakadilan, juga pada kekalahannya ketika dia maju dan berdemo sendirian menentang penguasa yang baginya sangat dzalim.
Tuhan sedang sakit parah bersama mereka yang dimiskinkan dan di dzalimi. Tuhan sedang Batuk kronis, muntaber, sakit kepala dan kadang masuk angin. Ada baiknya kau jenguk Dia. Sampaikan salam ku”.
“Sakit. Kau pasti sedang sakit. Lantas kau sendiri berdoa pada siapa? Dan untuk apa?”
“Ya aku telah lama sakit. Sakit karena sudah sejak awal banyak hal-hal aneh hidup di sekitarku dan tak bisa ku logikakan. Kau bisa bayangkan, mulai dari ujung kamal sampai bangkalan. Aku pikir akan banyak sekali orang pintar di sana. Pintar namun bodoh tepatnya. Bagaimana tidak, dosen-dosen yang ngakunya sudah S2, S3 atau cendekiawan, budayawan, yang terlampau diam dengan realita penyimpangan di kampungnya. Aku pikir mereka itu si bisu yang menggelikan, atau boleh jadi mereka impoten. Hidup dengan cara yang lucu layaknya orang autis dengan mainannya. Mereka hanya mau peduli dengan hidupnya saja. Istri, gaji ke tiga belas, tunjangan-tunjangan, anak-anaknya, itu saja yang mereka tahu. Dan mereka telah dibuat bungkam dengan sesuatu yang remeh. Mungkin sejak saat itu aku sakit. Tak bisa menerimakan.
Aku sendiri berdoa pada siapa, itu bukan urusanmu. Untuk apa? aku pikir, agar semua BANCI-BANCI BODOH dapat kembali menemukan kelaminya. Berdoa agar mahasiswa-mahasiswa mesum bisa kembali semangat dan berani menentang. Mereka yang mengaku: REVOLUSIONER, YANG MENGATASNAMAKAN AGAMA, DAN  AKTIVIS TAK JELAS JENIS KELAMINNYA juga kembali dapat menemukan harga diri. Bisa menemukan harga diri saja, itu sudah cukup.
Dan doaku selanjutnya untuk para pemakan gaji yang telah gembung dan tak kuat lagi angkat suara agar bisa hidup lebih berani dan tidak lagi memalukan dunia lelaki. Dan yang terpenting berdoa agar tiada lagi kakek yang mendoakan cucunya menjadi teroris pembuat bom. Aku pikir mendoakan cucu dan anaknya menjadi seorang pendemo militan yang menghendaki: korupsi, kesewenang-wenangan, feodalisme dan keinginan menjadi raja-raja kecil paska Suharto. Mengusahakan agar tersangkanya dapat digantung mati. Atau berdoa tentang apa saja, agar masyarakat yang ngaku pinter dapat menjadi lebih berani, dan yang paling penting agar dunia menjadi lebih baik. Itu saja. 

Citra D Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.