Laman

Minggu, 03 April 2011

Sebuah Catatan Perjalanan ‘adu nasib’ Ke Jakarta

(romantisme masokis perjalanan seorang Citra yang cakep & Andi Mahifal yang othon)

Setiap perjalanan pasti punya sisi romantisme – yang mengajakmu, membisiku untuk segera pulang berkasih-kasih – tapi ku urungkan. Sebab aku baru memulainya

Hanya permulaan. Menemui sisi cantik, bagian paling masokistik dari sebuah perjalanan, yang hendak ku temui. Aku ingin bermesraan dengannya. Merasai setiap desiran di jantung ketika ia memelukku. Dan seperti biasanya aku menggapai-gapai ingin keluar, tapi aku tak ingin buru meninggalkan sebuah perjalanan yang sangat ku yakini untuk menemukan potongan-potongan di bagian hidupku yang berserak di jalanan. Maka, biarkan aku mencatatnya. mencari bagian dari diriku yang berserak di Jakarta – peradaban tua yang congkak.

Sebab – buat semua yang mencintaiku – ku pikir kalian tak akan menghendakiku tumbuh sebagai seorang lelaki yang tak tau diri. Atau harus tumbuh premature menjadi bayi tua yang hanya kenal beranda rumah. Dan aku benar-benar ingin hidup, dalam tualang, dalam belanga berisi keringat peradaban dan dibakar api persoalan, maka jadilah apa yang mereka sebut: nasionalisme. Aku yakin ia ada. Bukan dalam buku-buku, kamar, beranda rumah, dan pelukan. Ia ada di jalanan.

*


Perjalanan awal dimulai dengan cukup mudah. Menuju Tulungagung dengan memakai bis, karena aku kesiangan dan tak bisa mengejar kereta pukul 9 pagi. Sehingga aku terpaksa memakai bis, sesuatu yang diharamkan bagi kelompok Arbimapala. Kemana organisasi itu sekarang?

Perjalanan ku tempuh selama beberapa jam sebelum tiba di perempatan Jepun, Tulungagung, lantas menunggu kawan-kawan Dimensi menjemputku.

Menunggu jemputan tiba sambil menikmati menghisap surga (baca: Surya 12) sambil menggambar tokoh kartun. Hari itu cuaca sedang tidak bagus. Gerimis masih belum berhenti, sementara awan Nampak abu-abu, pertanda hujan tak akan buru-buru berhenti.

Jemputan pun datang. Kali ini Muadi yang menjemputku dan langsung membawaku ke rumah pak sekjen PPMI, Andi Mahifal, TG, MG, MS (melankolik sekali). Aku mendapati Andi sedang tidur. Matanya merah seperti telah menghisap cimeng se-karung. Pukul empat sore, Andi mengajakku ke warkop saudaranya yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Sekalipun perjalanan ke warkop itu harus melewati kebun tebu yang berjajar rapat dan membentuk suasana mistik, kuno yang ganjil.

Langit masih gerimis. Segelas kopi hijau membuatku lupa akan persoalan kekecewaan karena berangkat ke Jakarta-nya harus menunggu esoknya, dan tidak jadi untuk hari ini. Sebab Andi sendiri masih kurang enak badan. Bagaimanapun juga aku harus bisa memakluminya. Sebab ia masih baru pulang dari diklat sastra bersama kawan-kawan dimensi.

Setelah menikmati sepotong gorengan, dan menghisap surga sampai menjelang Isya tiba. Kita pamit dan beranjak kembali pulang ke tempat Andi. Sebelum berangkat ke Dimensi, aku mengajak Andi bermain catur. Namun Andi menolak permintaanku dan disanggupi oleh seorang yang berambut kotak macam batako, atau model aparat dan berprawakan pendek. Bibirnya Nampak lucu bila ia sedang bicara, seperti sosok yang aneh dan tak bisa ku tebak. Yang ku ingat, ia selalu merendah denganku. Namun, permainan catur ini aku kalah dengan tanpa perlawanan. Sialan betul itu orang.

Dimensi, Tulungagung: Ngemplak – curhat pramusaji bisu.

Setelah mendapatkan sambutan hangat dari sang kawan berwajah boros, alias Adib Tamami, alias Adib Imam Masjid Jami, Andi mengajakku untuk hunting kopi di tempat yang selanjutnya.
Kali ini sebuah tempat yang mblusuk-mblusuk desa, dimana ada sebuah perkampungan yang penuh dengan warung kopi. Yang membedakannya dengan warung kopi lainnya adalah pramusaji yang melayani adalah anak-anak muda berumur antara 17 sampai dua puluhan. Daya saing warung ini dengan yang lainnya ada pada pramu sajinya yang berdandan menor. Warung kopi yang kami kunjungi tidak seberapa ramai. Di sini hanya ada beberapa pria baya dengan kumis sekepal tinju dengan memakai jaket kulit. Ia ditemani beberapa pramusaji berbincang-bincang.

Ketika kita datang, seorang pramusaji dengan tahi lalat di sebelah hidung menyambut kami dengan wajah yang digalak-galakkan. Ia menanyakan pesanan kami dengan ketus sambil tangannya tak pernah lepas dari HP nya.

Kita ngopi di sana cuma sebentar karena kita sudah kemalaman. Warung kopi yang ada di sana sudah harus tutup antara pukul 23.00 – 24.00. Sehingga kita memutuskan untuk kembali pindah ke tempat lain. Setelah berdiskusi sejenak, Ngemplak menjadi pilihan selanjutnya, dengan pertimbangan hanya warung kopi dengan tipe sama yang buka sampai pagi.

Ngemplak.
Sebuah daerah dengan tipe yang sama seperti yang ku kunjungi sebelumnya, hanya yang membedakan adalah lokasinya berada di pasar, di petak-petak ruko dengan gang sempit yang gelap. Suasana di Ngemplak sangat jauh dari kesan lux. Bau lumpur pasar, bercampur bau sayur-sayuran busuk mencucuk cuping hidungku.
Kata Andi, kita agak kurang beruntung. Warung kopi di sini banyak yang tutup karena baru usai hujan lebat. Hanya nampak beberapa warung saja yang masih buka. Pemandangan di warung hampir sama, suasana berisik lagu dangdut koplo menghentak-hentak dengan suara pria yang sedang karaoke bersama perempuan menor yang suaranya pas-pas-an.

Akhirnya kita memutuskan berhenti di sebuah warung yang lumayan sepi. Seorang pramusaji mendatangi kami, dan menanyakan dengan bahasa isyarat yang tak ku mengerti. Dan setelah beberapa lama, aku tau dia tidak sedang malas bicara. Ternyata dia seorang tuna wicara. Ia memakai bahasa isyarat yang aneh. Dengan wajah yang memelas, ia minta uang seribu ke Andi.

Setelah Andi memberikan selembar ribuan, ia jadi sedikit lebih sumringah ketimbang sebelumnya. Ia terus saja bicara dengan bahasa isyarat yang tak ku mengerti. Kata Andi yang sedari tadi menanggapinya dengan terpaksa, perempuan itu sedang ada masalah dengan bosnya. Ia kena maki-maki bosnya yang sedang mabuk.
Mengerikan benar nasib pramusaji di sini. Mereka hidup dan bekerja sebulan dengan gaji tiga ratus ribu. Ku pikir pekerjaan beresiko macam itu, tidak sebanding dengan penghasilannya. Sehingga mereka harus memelas agar mendapat tip dari pelanggan warung kopi.

Karena merasa bosan dengan curhat dari pramusaji bisu itu, akhirnya kita memutuskan untuk pulang saja. Lagipula mataku juga sudah terasa berat dan sudah tidak lagi tertarik dengan suasana di sini. Dan ternyata tempat ini adalah yang pernah dijanjikan Adib ketika pertama kali mengenalnya di Mukernas Madura. Sudahlah.

Problem catur: tiga langkah mati

Kali ini aku bangun cukup pagi. Ibu dan adiknya Andi datang ke rumah. Namun mataku masih ingin melanjutkan tidur.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh tetangganya Andi yang kemarin mengalahkanku bermain catur.
“Ada problem. Ada problem. Ayo tak kek’i problem. Sekak tiga langkah mati, pokok’e” Ujarnya sembari menata papan catur dan memasang buahnya.

”GJ betul nih orang” Pikirku. Aku hanya membiarkannya dan melihatnya memasang papan catur. “Coba pecahkan. Pokoknya tiga langkah harus mati. Ini berguna, mas. Sampean bisa menjual sekali jalan seribu”.
Seperti ada sihir dari bibirnya yang lucu. Akhirnya aku terpaksa memikirkan papan buah-buah yang sudah dia susun. Aku harus bisa memecahkannya dan membunuh raja dengan tiga langkah saja, sedangkan yang akan ku kalahkan sudah hamper berada di posisi remis.

Sementara aku memikirkan buah-buah catur itu dan mengutak-atiknya, ia menceritakan pengalamannya juara catur di tingkatan kabupaten. Ia juga bercerita soal prestasi juaranya di sebuah radio suasta dengan hadiah uang, papan catur kayu dan papan catur kecil dari magnet. Ia juga bercerita tentang kehebatannya bermain catur di desanya, serta pola latihannya selama ini.

Andi yang setengah terbangun juga membantu memikirkan problem itu meskipun ia sering gagal. Akhirnya ia meninggalkanku sendiri dengan problem yang dibawanya pagi-pagi itu.

Aku gagal memecahkannya, dan dia memberitahuku rahasia bermain catur yang benar, dan sekaligus membuka problem yang tadi sudah dibuatnya. Apakah aku buka stand catur saja ya… hahahaha.

*

Pukul lima sore, aku dan Andi telah tiba di Stasiun Tulungagung Kota. Lagi-lagi gerimis menyertai perjalanan kami. Suasana di Stasiun cukup ramai. Antrean terlihat sangat panjang, dengan wajah orang-orang yang jemu menunggu giliran.

Kali ini kereta tiba pukul enam sore. Sementara sambil menunggu, kita menghabiskan waktu di sebuah warung kopi dekat warung sate. Asap dari bakaran sate menerbitkan rasa laparku yang menggelora. Sore ini kita belum makan apa-apa. Andi kemudian pergi membeli dua bungkus nasi yang katanya akan menjadi bekal kita selama di kereta.

Kita memutuskan menunggu kereta datang di dalam stasiun saja. Kita duduk dibangku kosong stasiun sambil membaca-baca buku yang kami bawa.

Di sebrang stasiun ada sekumpulan bapak-bapak dan ibu-ibu yang sedang bermain bola volley. Mereka nampak bersemangat dan terttawa-tawa. Sementara aku melanjutkan membaca, sementara Andi bertelfon ria dengan seseorang.

Di kereta

Sumpek.com
Kita menaiki kereta Mata Remaja jurusan Malang-Jakarta. Kereta ekspres dengan penumpang yang penuh sesak. Kami sanngat bisa memaklumi kereta ekonomi yang selalu penuh sesak dengan penumpang. Dan ku pikir ini masih Indonesia, jadi sangat wajar bila segala yang ada di sini tidak tertata dengan baik. Terutama soal kenyamanan transpotasi.

Kita tak mendapat tempat duduk sama sekali, sampai akhirnya memilih untuk duduk di dekat pintu. Tak banyak yang bisa ku nikmati dalam perjalanan itu kecuali kenikmatan masokistik a la diriku. Sebap di sepanjang perjalanan, tidak ada pemandangan yang bisa kami nikmati kecuali gelap dan gerimis yang semakin lama semakin menderas. selebihnya hanya jajaran langit gelap dengan bayang-bayang suram ketakutan masa depan. Bukan takut akan miskin, tapi kesanggupan agar sebisa mungkin tidak melakukan kompromi akan hidup.

Menjelang pukul sepuluh malam, kita melakukan spekulasi, gambling di dalam. Aku juga sepakat, sebab mungkin di dalam ada sesuatu yang lebih menarik.

Ternyata tidak seperti yang kita kira. Di dalam hanya kerumitan, dengan penumpang yang tidur saling silang. Wajah-wajah lelah yang sudah jauh tertidur, dan bau keringat busuk khas warga kelas menengah kebawah. Tidak ada pemandangan dan kejadian yang membuatku tertarik. Kecuali sebuah gerbong paling ujung yang gelap gulita. Dari cerita para pengasong, ruangan itu berisikan para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk. Asal tahan dengan kegelapan, dan punya senter, kau bisa tidur didalamnya. Dan ku pikir benar juga. Ruangan itu cukup lapang dan hanya ada beberapa pria saja yang tidur beralaskan koran.

Aku memilih untuk tidak masuk dan membaca diantara gerbong gelap dengan gerbong terang berbangku. Di situ aku menghabiskan waktu membaca catatan perjalanan Che Guevara dan kawannya Alberto. Perjalanan menarik dua dokter gila ke Amerika Selatan dengan menggunakan La Pedrosa kendaraan butut mereka.
Sementara aku hanyut dalam bacaan, sementara Andi sudah jauh tidur di sebuah tempat duduk kosong yang di tinggalkan pemiliknya. Menjelang pukul satu dini hari, mataku sudah semakin berat, ditambah dengan rasa gatal yang menggila di kaki, punggung dan lenganku. Aku menderita alergi yang cukup parah. Entahlah, rasa gatal yang menyiksa. Aku juga masih menunggu obat murah yang ku beli dari toko Andi ini bekerja dan meringankan sedikit rasa gatal di tubuhku. Akhirnya ku putuskan untuk berhenti membaca. Kubakar sebatang rokok untuk sekedar mengusir kantuk dan memandangi sekitar.

Disampingku ada seorang pedangang yang mondar-mandir dengan muka yang sangat mirip dengan AS Laksana. Sedangkan di sampingku, seorang lelaki dengan tato mengerikan di betisnya juga terus mengawasiku dengan curiga. Tapi apa peduliku.

*

Kereta sudah tiba di Stasiun Semarang, Sudah banyak orang tertidur dengan memeluk impian. Ada juga yang sebagian masih terjaga. Semakin malam pemandangan menjadi semakin tragis. Perpaduan antara gelap dan sesak membuatku ingat lori-lori jaman PKI yang dipakai untuk mengangkut orang-orang yang akan di sembelih di pabrik gula. Mereka juga diangkut macam ini.

Menjelang pukul dua dini hari, mataku sudah tidak lagi bisa diajak berkompromi. Sementara aku sudah pindah ke gerbong gelap yang sekarang sudah penuh sesak juga. Andi sudah jauh tertidur disebelah pahaku. Sementara aku terjepit di pintu gerbong karena kehabisan tempat untuk tidur. Rasa kantukku bertaruh dengan lantai kereta ekonomi yang kotornya luarbiasa. Ah, peduli sentan. Aku terkulai diantara kaki Andi dan seorang tua dengan tidur di lantai kereta tanpa alas. Gelap.

Menjelang Subuh

Aku terbangun. Raung kereta menjerit-jerit seperti orang yang sekarat. Jendela sudah sedikit terang dengan cahaya lampu Tuhan. Aku sudah tidak menjumpai Andi, ia sudah pindah ke Koran-koran bekas yang lebih bagus yang sudah di tinggalkan pemiliknya. Sekarang gerbong sudah lumayan lapang. Aku tak tau dimana, tapi yang jelas sudah banyak sekali penumpang yang turun.

Akhirnya segela kopi susu dan sebatang rokok Djarum super menjadikan pagi ini semakin berkesan. Ku lirik celana jeansku. Warnanya sudah sedemikian mengerikan dengan garis-garis coklat. Kubersihkan sekenanya dari kotoran yang melekat. Celana yang sudah direnggut durjananya lantai kereta membentuk satu motif seni yang eksotik tersendiri, namun tidak meninggalkan kesan gembel dan kumuhnya. Rupanya rasa kantuk bicara lebih jauh dan membuatku rela berpelukan dengan lantai kereka yang berbau busuk bercampur karat.

Lantai kereta berbicara lebih jauh tentang lanskap kemiskinan di Indonesia. dari kondisi kebersihannya secara tersirat memberikan gambaran langsung akan kemiskinan penumpangnya. Namun yang tak bisa ku telusuri lebih jauh adalah budaya konsumtif yang tidak sesuai dengan pendapatan mereka sehari-hari.

Terlepas dari itu semua, aku hanya berharap tak di usir di kantor kementrian dan staf kepresidenan. Sebab aku hendak ke sana dan meminta kepastian mentri-mentri dan presiden sudrun untuk menjadi pemateri di dies natalis PPMI di Banjarmasin nanti, sekaligus menghajar mereka dengan data dan fakta.

Di sini sudah ada kontak dengan salah seorang pengurus nasional PPMI yang juga kebetulan sanggup memberikan bantuan tempat singgah dan makanan, serta ongkos kereta pulang. Ah, cuma itu harapan kita nanti. Aku berharap agar semua urusanku di sini berjalan lancar tanpa hambatan, sekalipun rasanya sulit.

*

Dikereta ini, banyak penumpang yang bicara dengan bahasa sunda yang tak ku mengerti. Sorot mata mereka sangat bersahaja, ramah, namun tak meninggalkan kesan waspada terhadap orang di sekitar.
DI sepanjang perjalanan, aku mengamati langit kota yang bagiku sangat tidak menarik, dan memuakkan. Begitu biru langitnya. Se-biru nasib orang-orang lugu yang mempercayakan nasibnya di punggung kota Jakarta yang setiap saat akan menjadi magnet. Tiba-tiba aku jadi ingat wacana pemindahan ibu kota negara ke daerah lain demi pemerataan. Yah, mengapa tidak. Aku setuju dengan hal itu.

*

Sekarang kereta mulai kosong. Penumpang sudah banyak yang turun di jatinegara. Kini hanya tinggal aku dan Andi dan seorang pemulung muda yang memunguti kertas koran alas tidur penumpang, semalam.
Sebentar lagi kami tiba di Senen. Pemandangan khas ibu kota menyambut. Lolong sirine kereta seolah memberikan peringatan dengan menjerit keras di kuping “Ini Jakarta, bung. Jangan macam-macam”.

Ah, kenapa aku ini? seperti orang tolol dan anak dungu yang masih baru pertama main ke ibu kota. Padahal aku sudah beberapa kali kemari untuk beberapa urusan. Namun melankolika drama picisan a la kota baru kurasakan kini dan tidak pernah seheroik dan begitu melankolik seperti sekarang. Begitu meledak-ledak rasanya.

Tapi lagi-lagi kelemahanku menulis membuat semua catatan ini terasa biasa. Seperti gumam kosong yang terus mengutuki. Bahasaku menelusuri gelisah yang hanya sampai di kulit luarnya saja. Tidak mendalam. Aku sendiri gelisah dengan hal ini. Aku takut tidak lagi bisa jujur dalam menulis. Seperti ketakutan yang menderas di otak dan membuat penaku bengkok. Djangkrik.

*

Ah, kota. Gemunung sampah, petak-petak rumah seperti jeritan orang yang sekarat. Gelisahku menjadi-jadi. Sebuah melankolika, dan rasa sentimentil yang lebih parah dari yang Andi rasakan.
Gelisah yang sentimentil. Tentang kota, hidup, dan yang selebihnya aku tak tau.

Aku tiba di Senen.

Markas Tikus Got

Aku tau ini Jakarta. Wajah-wajah masam seperti telah di damprat istri. Gedung-gedung menjulang, dan hawa panas, tentunya.

Perjalanan baru di mulai. Sementara uang kami sudah sangat mengkawatirkan. Aku dan Andi hanya mampu membeli rokok eceran. Itu pun hanya tiga batang. Sisanya kita akai untuk membayar angkot ke Salemba – markas para tikus got. Tikus-tikus pergerakan.

Canggung juga rasanya. Dari kejauhan, sebuah gedung dua tingkat di pertigaan jalan, dengan banyak bendera yang sudah sedemikian akrab denganku. Bukan karena berteman, tapi karena sudah sedemikian sering kita berseteru di kampus.

Sementara aku semakin mendekat. “Oh tuhan, maafkan aku. Please God with me”
Sesampainya, aku harus menyalami beberapa orang berwajah dingin. Mereka tersenyum dan menyeringai macam kuda. Aku bisa membaca dari sorot mata mereka. Dimatanya kita terlihat seperti sebuah komoditi yang bisa di perjual belikan se-enak perut.

Di gedung ini, seerti cerita JR, kader-kader muda dibodohi dengan angan melangit soal pergerakan. Mereka di dongengi soal perlunya kekuatan di cabang. Sedangkan selepas mereka pulang, mereka sibuk bicara soal proyek di sana sini. Tikus got.

Sekarang kupingku di bikin sakit dengan obrolan tentang proyek. Tengik betul orang-orang di sini. Suatu saat semua kebusukan dan kebohongan atas nama perjuangan akan bangkrut. Habis sampai ke akar-akarnya.
Hanya orang bodoh yang bisa terus di tipu. Di ruangan ini, rasanya aku ingin meledak!!

Menjelang malam, ketidaknyamanan berahir ketika Tomi menjemput dan membawa ke wisma Kontras, semacam kontrakan untuk para staf Kontras sendiri. Kontras adalah semacam lembaga yang bergerak di hukum dan HAM. Ia bergerak pada advokasi persoalan-persoalan HAM. Seperti ketika aku dan Andi tiba di wisma Kontras, ada banyak ibu-ibu yang ku kira keluarga si Tomi, dan ternyata dugaanku meleset. Mereka adalah kumpulan petani dari Sulawesi yang dirampas tanahnya oleh tentara, polisi dan pengusaha. Sudah lebih dari setahun mereka berusaha, sampai akhirnya orang-orang yang ada disana mengadu nasib di Jakarta untuk melakukan perjuangan. Sedangkan di Kontras sendiri mereka sudah ada satu bulan. Dan mereka ingin bisa berdemo di depan istana, dan baru terlaksana kini. Mereka berdemo seharian mulai dari jam delapan pagi sampai menjelang magrib.

Aku sendiri turut perihatin dengan nasib mereka. Amarah mereka dan amarahnya bisa kurasakan. Sebab bagaimana mungkin mereka tidak marah kalau apa yang menjadi hak-nya direbut. Tidak ada yang berpikir, kalau tanah mereka di kuasai, apa yang mereka makan? Kalau sekarang, boleh jadi aku sudah sedemikian dendam dengan aparat. Sekalipun seorang kawan pernah mengatakan bila aparat hanya alat. Sedangkan sekarang aku punya asumsiku sendiri tentang aparat – preman bayaran bersenjata yang bisa dibeli asal punya uang. Makelar agar bisa membeli preman adalah penguasa. Anjing betul. Kalau sudah seperti ini, bagaimana kita tak menjadi apatis dengan persoalan negeri ini.

*

Menjelang malam, kita menemui seorang kawan yang juga dari pers mahasiswa jogja yang kebetulan magang di Jakarta. Kita berjanji bertemu di TIM, di sana aku tak seberapa tertarik dengan apa yang dibicarakan. Tubuhku sudah teramat lelah dengan perjalanan seharian ini. Akhirnya perhatianku hanya tercurah dari pagelaran dari Jogja yang membawa pertunjukan komedi yang menggeletik. Lawakan mereka segar, menarik, dan yang terpenting semua yang mereka bicarakan menyinggung persoalan mengutuk penghancuran feodalisme di Jogja. Mengerikan.

Sepulangnya, laparku diobati dengan sepiring nasi uduk yang tak seberapa membuatku kenyang. Untuk menyiasati itu, akhirnya aku minum the banyak-banyak. Istilahnya ku bohongi perutku dengan air.

*

Pagi tiba, aku menyaksikan orang-orang yang sudah bersiap untuk menyamaikan aspirasinya di istana negara. Mereka begitu bersemangat dengan apa yang akan mereka lakukan. Sementara aku dan Andi bersiap untuk gambling yang sebenarnya.

Disepanjang pagi, kita makan di depan kantor Kontras dan menunggu seorang kawan dari UKI (Universitas Kristen Indonesia). 

Namanya Surya, ia bukan dari LPM, tapi dari GMNI. Namun ia adalah satu-satunya kawan yang baik, 
sekalipun masih menurut Andi. Sebab aku sendiri belum melihat itu semua. Mungkin ketidakpercayaanku beralasan. Ini Jakarta, percaya pada orang adalah hal bodoh yang gegabah. Tapi yang bisa ku tangkap, ia senang ketika kita mengajaknya ke staf kepresidenan. Dan tujuan kita ke sana adalah menemui Akuat, salah alumni PPMI dan sekarang sedikit beruntung.

Di sana kita di sambut dengan baik sekalipun tatapan dari security sangat tidak bersahabat. Dari sini aku dapat mengambil kesimpulan sederhana. Bila kemanusiaan itu letaknya di pakaian saja. Selebihnya hanya seonggok daging yang tak berguna.

Sepulang dari staf kepresidenan, aku kami bertiga diajak pulang bersama. Di pinggir jalan, ia memanggil taksi untuk kami kembali pulang. Ia hanya minta untuk diantar rapat, dan ia memasrahkan untuk membayarkan uang dengan memberikan uang secukupnya untuk membayar taxi. Paling tidak sudah ada secercah harapan untuk berhasil mendatangkan presiden gendut dan menjengkelkan itu ke Banjarmasin.

Kita bertiga kembali ke Kontras, yang ternyata di sana sedang ada acara rapat silaturahmi antara pihak kontras dan berbagai elemen pemuda. Namun sayangnya tak banyak yang bisa hadir di sana untuk acara silaturahmi itu karena berbagai alasan. Kami sebagai orang baru dikenalkan oleh Tomi dengan orang-orang kontras. Ternyata acara ini memang harus di tunda lagi sampai hari selasa, dan kita tak yakin bila masih ada di sini atau tidak, sebab kami sudah harus kembali.

Selesai acara santai yang gagal itu, aku mendengar beberapa pandangan dari kawan-kawan papua yang memang selalu menghendaki untuk merdeka. Mereka yang datang di kontras sendiri adalah aktivis dari berbagai tempat. Mereka menceritakan berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan TNI dan brimob. 
Dari mereka aku mendapat pembenaran atas apa yang pernah aku dengar sewaktu aku masih karate.
Sewaktu kita satu kontingen dengan orang-orang dari Brimob, mereka bercerita kepada kami tentang koleksi telinga dari para sparatis di Papua. dan hal itu dibenarkan oleh mereka melalui cerita-cerita mereka yang mengharukan.

Beberapa kawan di sini, terutama dari Papua sangat menghendaki untuk merdeka sendiri. Disamping itu, mereka juga menganggap bila sebaiknya Indonesia dipecah-pecah menjadi beberapa bagian saja yang terdiri dari negara Jawa, jogja, jawa timur. Gila.

Aku tak pernah sampai hati mendengar cerita-cerita mereka yang mengenaskan. Namun aku juga tak dapat membenarkan disintegrasi di Indonesia. Dari sini aku mendapatkan suatu kejanggalan yang mesti perlu kurenungkan baik-baik.

Aku bukan simpatisan OPM, juga TNI. Aku hanya perduli dengan rakyat yang hidup sengsara dan jauh dari layak. Persetan antara OPM atau tentara, yang bagiku semuanya omong kosong berbau tengik. Aku hanya mencari sebuah Indonesia yang berdiri dengan kesatuan, juga kedamaian. Apa yang dilakukan oleh TNI itu bukan bagian dari Indonesia, dimana mereka ditentukan dan dijalankan oleh pemerintah. Sedangkan untuk OPM, aku tidak pernah bersepakat dengan gerakan yang bertujuan untuk kemerdekaan dirinya sendiri. Ditambah lagi dengan banyaknya gerakan perlawanan yang terjadi dibanyak tempat, dan kesewenang-wenangan ekonomi dan berimbas pada segala sisi adalah bukan bagian dari Indonesia.

Menurutku ada semacam tangan-tangan gaib yang bekerja di belakang layar yang melakukan seting untuk agenda busuk internasional. Di pihak pemerintahan, secara tidak langsung sudah disekenariokan untuk menjadi bobrok dengan masuknya antek-antek bangsa kapitalis. Dari pengacauan perekonomian, mereka melacurkan diri dengan mengorbankan kepentingan negara.

Dari kekacauan ekonomi inilah yang berimbas pada segala sektor, diantaranya hukum, dan aturan-aturan mendasar. Krisis kepercayaan adalah output utama yang diharapkan tangan asing dan menciptakan konflik besar atau kecil yang itensitasnya terus meningkat.

Disamping itu, seting yang lain adalah yang menampung mereka dalam sebuah aksi, dimana mereka difasilitasi untuk melakukan perlawanan dan gerakan tidak percaya kepada pemerintah. Namun yang menjadi persoalan pada akhirnya adalah saling hantam antara berbagai kalangan menjadi alternative untuk memecahbelah Indonesia menjadi beberapa bagian yang pada akhirnya bisa dijadikan negara boneka. Dengan seperti itu, kepentingan asing dapat dengan mudah masuk tanpa kesulitan. Dan diantara ketiganya, tidak ada yang pernah tau bila mereka digerakkan dalam setting yang rapi dengan kedok asupan dana berlebih kepada setiap antek gerakan.

*

Menjelang malam, aku dan Andi melenyapkan penat dengan mencari warung makan. Sambil makan, aku hampir meledak dengan menyadari realitas konstalasi politik global yang ada hubungannya dengan wacana merdeka di setiap tempat. Aku kesal se-kesal-kesalnya dengan hal ini. Juga Andi. Namun kita bingung akan melakukan apa. Sampai akhirnya diskusi pindah ke sebuah warung pinggir halte jalan utama.

Diskusi ini berujung pada satu kesimpulan, bila kita harus menyelamatkan PPMI dari intervensi yang hanya akan menunggangi dan menjadikan kita boneka untuk tameng perjuangan yang tidak jelas untuk siapa. Kita juga bicara sedikit dari hati ke hati, semacam curhat, pemanis dan kisah nasib PPMI, masa depan, dan cinta.
Hebat betul si manusia tanpa bokong itu. Dalam sehari, dua orang perempuan Jakarta mencarinya. Gila, dari mana itu dukun hingga dia bisa sehebat itu. Sayangnya, dia menolak keduanya hanya karena sebuah alasan. Cintanya telah tertambat di sebuah kota yang bersahaja yang rencananya akan kita kunjungi sepulang dari Jakarta. Dasar sekjen yang aneh. Kenther.

*

ini malam aku terjaga,
dari detikdetik yang mengalir di wajah gelap seribu tualang
sementara angin membisik, aku rindu rumah,
rindu kota bersahaja yang menampilkan laskap senja dengan warna merah dan orangorang yang berbincang tentang hidup

sementara lukaluka di siram gerimis
- kota mati, gang-gang sempit bisu, juga mimpi yang berterbangan
dimana mesti kulabuhkan resah?
pada sore, kah?
yang menyumbat mulutku dengan kecup paling mesra
pada ilalang, kah?
yang menghadiahkan siluet potret muram orangorang malam

diantara rindu dan keping kenangan yang di bingkai kayu jati sejarah
Jakarta,
bolehkah ku bakar pongahmu dalam ingatan
untuk ku kenang di satu waktu
dan ku ludahi di waktu yang lain

Jakarta, 31 Maret 2011/ 02.01 a.m


Kepulangan

Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Aku bangun bersama kelompok tani dari Sulawesi Tengah, orang yang sudah tidak lagi takut mati. Kabarnya, mereka akan pulang esok. Aku tak pernah sanggup melihat perpisahan yang tanpa hasil. Mereka yang sudah mengadu nasib di Jakarta untuk mempertanyakan nasib ribuan hektar tanah mereka yang dirampas.

Seperti pagi ini, aku tak kuasa melihat seorang dari mereka, Bapak Syarifudin, menceritakan bagimana tanah mereka yang mencapai dua ratus hektar harus di kuasai oleh PT KLS tengik, dimana ia dibacking langsung dengan aparat dan mentri. Perjalanan mereka ke Jakarta adalah upaya terakhir dari mereka sekaligus mempersiapkan diri menempuh jalan yang selanjutnya – jalan ke kuburan. Ia menceritakan padaku detail persoalan ketika tanaman coklatnya sudah berbuah, dan tiba-tiba harus ditebang. Waktu itu, datang dua truk tentara untuk mengamankan, dan yang lebih tidak masuk akal, seorang tua seperti Pak Syarifudin harus melawan sendiri anjing-anjing berseragam doreng itu.

Sebuah ending menyentuh sebelum dia mengakhiri ceritanya padaku: “Sekarang aku sudah tidak lagi bisa menyekolahkan anak. Aku sudah tidak lagi bisa mengobatkan saudara yang sakit parah. Sebab apa? kami sudah tidak lagi punya apa-apa sebagai penopang hidup. Sepulang dari sini, kalau pemerintah tidak mau menyelesaikan persoalan ini, akan ada perang saudara dan konflik berdarah di Morowali. Lebih baik saya mati, ketimbang tidak bisa menghidupi anak istri lagi”.

Aku bahkan tak berani untuk mengatakan selamat perpisahan dan pesan ketabahan untuk mereka. Sebab, mereka sudah melakukan itu lebih jauh sebelum aku tau persoalan ini. Aku tak berani mengucapkan agar mereka sabar, ketika sudah setahun mereka harus hidup tanpa kepastian. Dan aku tak yakin apa aku sanggup menghadapi cobaan seperti yang sedang mereka alami. Maka yang ku persembahkan kini, senyum terbaik dan sorot mata yang akan mereka terjemahkan sendiri apa artinya, sebab ku pikir mereka adalah manusia yang cerdas membaca hidup.

Mereka butuh sesuatu dari sekedar doa, ucapan simpati dan publikasi picisan macam catatan ini. Mereka butuh uluran tangan yang akan merngantar sebuah nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Kemanusiaan yang berdarah-darah.

Mereka tak butuh dari sekedar hiburan yang bernama wisata. Sebab hiburan menarik bagi mereka adalah mengacungkan parang-parang panjang dan sebuah perlawanan. Sesuatu yang akan membuat akhir perlawanan, menang atau kalah, dengan senyum dan batuk darah yang kemudian mengakhiri hidup yang berengsek. Paling tidak seperti itulah hiburan terbaik bagi mereka. Petani di sini tak butuh para mahasiswa hanya sekedar mengepalkan tangan kiri dan menyanyikan lagu darah juang yang klise. Sebab mereka tidak akan pernah percaya pada tangan kiri. Mereka hanya percaya dengan perlawanan, keberanian mati bersama untuk merebut tanah mereka. Aku sendiri pun merasa malu, dan itu ku ungkapkan padanya atas ketidak mampuanku membantu persoalan mereka. Menanggapi hal itu, ia hanya tersenyum manis dan menepuk-nepuk punggungku “Doakan saja. Untuk kebenaran, saya tidak takut pada apapun. Saya akan sahid pada perjuangan saya seandainya tidak ada tanggapan dari pemerintah” ujarnya. Dan tawa itu, aku tak ingin terjebak di luarannya. Sebab aku bisa tau bila Pak Syarifudin dan beberapa kawan lain di sini menyimpan sekam yang sewaktu-waktu akan meledak. Membanjiri tanah Morowali dengan darah pertempuran atas nama hak untuk hidup. Mungkin dia menenertawakanku dengan kehijauanku yang tidak sanggup membantu apapun.

Percayalah. Tidak akan ada yang bisa mengembalikan senyum mereka sebelum mereka kembali mendapatkan haknya yang sudah di rampas pengusaha, aparat, dan pemerintah bebal yang otaknya tak lebih dari sedikit kotoran kancut berbau tengik.

Sebagai pemuda, yang mengikrarkan diri untuk ‘sedikit setia’ pada rakyat. Mereka butuh keberanianmu – nyawamu?!!

Aku jadi menyangsikan dan lantas mempertanyakan. Dimana revolusi yang kerap menggema di kampus-kampus? Aku sendiri menjadi tak yakin, apa perjuangan hidupku nanti hanya sekedar untuk kebahagiaan senyum anak istri, keluarga, uang, link, pekerjaan di lahan yang basah. Lantas bagaimana dengan mereka yang tersingkirkan macam Pak Syarifudin yang akan berdarah-darah? Apa hanya Tuhan yang akan menyertai mereka? Bagaimana dengan keperdulianku? Atau keperdulianmu, kah? Itu pun kalau kau masih punya nyali. Sebap, terakhir kali aku cuma melihatmu sebagai banci.

Seandainya

sementara langit Jakarta begitu biru
juga jalanan kusam dengan lipstik dedaun jatuh
riak jenuh pasang, kelam
kemudian sajak silamku, kubantah sendiri
rasa muak, benci, maki
sekiranya boleh kukencingi kota ini
sudah ku lakukan dari tadi

15.55

Entahlah!
Kalau sekiranya umpatan dan caci maki ini laku ku jual, mungkin sudah bikin rumah aku sekarang. Rasa kesal, muak, benci, dan pikiran dewasa yang justru menjebakku menjadi seperti anak kecil, Ada apa denganku?

Mendadak semuanya seperti sebuah gelombang penat yang tiada surut. Gelisah dan rasa bingung yang hendak sampai pada ubun-ubun. Rasanya, aku ingin meledak saja!!
Tapi memaki siapa, aku tak tau.

*

Petrus Urut

Resah memang kerap di jawab dengan hal-hal yang tak pernah kita duga sebelumnya. Perjalanan rutin seusai makan selalu kita lewati dengan ngopi. Kalau kemarin aku harus minum kopi di pinggir jalanan besar, sekarang aku minum kopi di jalanan gang kecil pinggiran kota. Sebenarnya aku hendak pergi ke jalanan besar, namun tiba-tiba Andi mengajakku untuk kembali. Alhasil kita resmi ngopi di pinggir sungai perempatan jalan.

Acara ngopi masih diwarnai dengan sisa suntuk siang tadi. Kita bicara hanya selintasan dan hal-hal yang perlu saja. Di sela pembicaraan kita, tanpa seorang tua mengawasi sambil sesekali menyeruput kopinya dan menghisap rokoknya. Sampai pada suatu ketika ia mendatangi kami dan tanya-tanya kita kerja dimana. Awalnya aku sangat curiga dengan orang ini. Namun setelah Andi berbincang-bincang dengan dia, barulah aku tau dia seorang tukang pijat urut keliling. Aku segera saja menyandarkan bahuku di pot besar. Sebab aku trauma dengan tukang pijit keliling yang ada di sekitar rumah yang biasanya mangkal di daerah pasar Krian. Tukang pijitnya biasanya suka memijit tanpa diminta, dan pada akhirnya kita sungkan lantas terpaksa harus membayar. Apalagi ini Jakarta, mungkin tukang pijit di sini lebih gila lagi. Ditambah lagi aku juga tak punya uang sepeserpun. mau dibayar pakai apa dia. 

Bersambung...
Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.